Jejer: Ruang Ekspresi Kaum Difabel

\
Saya merayakan International Museum Day, dengan mengunjungi pameran. Bukan pameran museum, melainkan pameran lukisan. Saya rasa terdapat banyak prinsip yang sama, antara pameran lukisan dan pameran di museum, yang kadang memamerkan lukisan juga.
Kebetulan pameran ini menarik, yaitu memajang karya lukis para penyandang difabilitas, atau lebih biasa disebut disabilitas. Pameran tersebut bertajuk “Jejer”,1 diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta. Dengan kemasan Suluh Sumurup Art Festival, pameran diselenggarakan untuk ketiga kalinya. Kali ini pameran berlangsung dari tanggal 15 hingga 23 Mei 2025.
***
Kaum difabel menjalani hidup, memandang dunia, dan berekspresi dengan cara yang mungkin berbeda dari non-difabel. Berkait dengan hal tersebut, terdapat berbagai poin penting dari pameran karya kaum difabel. Berikut ini adalah sebagian di antaranya.
Hidup dengan cara berbeda memungkinkan mereka menemukan teknik-teknik yang sesuai bagi mereka, termasuk dalam berekspresi seni. Karena keterbatasan fisik atau sensorik, banyak seniman disabilitas mengembangkan metode sendiri: menggunakan kaki, mulut, atau alat bantu adaptif, menciptakan seni dengan pendekatan teknis yang inovatif.
Dunia juga boleh jadi dilihat secara berbeda oleh mereka sehingga terekspresikan berbeda pula. Seniman difabel sering kali melihat, merasakan, atau mengalami dunia secara berbeda dari mayoritas—baik secara visual, sensorik, kognitif, maupun emosional. Perbedaan ini bisa melahirkan cara ekspresi yang tidak konvensional, mematahkan norma estetika umum, dan memperkaya lanskap seni rupa. Seorang tunanetra mungkin menciptakan karya berbasis tekstur atau bunyi, yang membuka kemungkinan baru dalam cara kita menikmati seni.
Pameran merupakan sarana inklusivitas dan emansipasi yang memungkinkan mereka mendapat kesempatan yang sama untuk berekspresi dan menampilkan diri di depan publik. Seperti juga pada kondisi sosial secara umum, dalam dunia seni suara yang dominan juga sering berasal dari kelompok yang punya akses: secara ekonomi, sosial, dan fisik. Sementara itu, seniman difabel—dengan segala keterbatasan dan hambatan struktural—sering kali terdorong ke pinggir. Maka, menempatkan karya seni difabel dalam ruang seni bukanlah semata apresiasi estetika, melainkan juga memberi ruang bagi yang selama ini tersingkir.
***
Beberapa aspek tersebut di atas terlihat pada pameran ini, setidaknya pada pernyataan-pertanyaan di buku katalog pameran yang dibagikan secara digital (disebut “e-katalog”) kepada pengunjung. Buku digital ini pun dibuat dalam dua versi, yaitu versi umum dan versi netra, yang saya duga ditujukan kepada mereka yang memiliki difabilitas tertentu dalam penglihatan.
Sebagai aspek inklusivitas pameran ini, Kepala Dinas Kebudayaan DIY dalam sambutan pada katalog tersebut menyatakan bahwa pameran ini berada pada tempat yang representatif. Komitmen pemerintah, menurutnya, adalah memastikan bahwa paktik-praktik seni harus berdasar pada aksesibilitas dan inklusif. Sejalan dengan hal ini, Kepala Taman Budaya menyatakan bahwa kegiatan ini ditujukan untuk memberi ruang pelaku seni disabilitas
untuk berkarya, juga merupakan perwujudan partisipasi penuh dan kesamaan kesempatan penyandang disabilitas dalam bidang seni rupa.
Para kurator pameran menyatakan bahwa seratus tiga puluhan karya yang dihadirkan “menggarisbawahi seni visual sebagai platform yang mampu mewadahi kegelisahan, keresahan, dan aspirasi penyandang disabilitas.” Hal-hal yang dalam keseharian tidak selalu mendapat tempat dan kadang menjadi penghalang, dalam pameran ini diberi ruang yang luas sehingga menampung beragam ekspresi dari para penyandang disabilitas.[z]
Catatan Kaki
- Ditulis “Jéjér” pada judul baik pada pameran maupun katalog, yang membuat saya bingung mencari artinya. Jêjêr (dengan ê seperti pada kata “seperti” ) dapat berarti berdiri tegak, sementara Jèjèr (dengan e seperti pada kata “bebek”) berarti bersanding. [↩]