Penasaran dengan Pasar

\
Kita akrab dengan pasar meski mungkin sudah jarang mengunjunginya. Kita berbelanja di pasar bentuk lain, yang disebut dalam bahasa Inggris: minimarket hingga supermarket, bahkan hypermarket. Sekarang, kita berbelanja juga di market place, pasar virtual melalui Internet.
Pasar memiliki sejarah panjang. Museum Sonobudoyo menampilkan riwayat ini dalam pameran temporer “Pasar: A glimpse into the past, looking onward to the future”. Pameran yang disebut Abhinaya Karya ini digelar tanggal 3 Juni hingga 13 Juli 2025, di Gedung Pameran Temporer Saraswati, Jalan Pangurakan, Yogyakarta. Lokasi pameran terletak tidak jauh dari Pasar Beringharjo, di sebelah selatan KM 0.
Saya kebetulan nonton pameran ini saat pembukaan, mewakili Departemen Arkeologi FIB UGM yang salah satu objeknya dipinjam dalam even ini. Di awal ruang pamer sempat ngobrol dengan para penata pameran, sementara menjelang keluar sempat pula berbincang dengan Mbak Rina, kurator pameran.
***
Menurut penangkapan saya, pameran ini menampilkan pasar dalam tiga babak. Pertama adalah prapasar yang menggunakan metode barter. Kedua adalah pasar yang merupakan tempat dan menggunakan uang (dan kemudian nantinya jenis “token” ini juga dijualbelikan sebagai saham) sebagai sarana pertukaran. Yang ketiga adalah pasar virtual, market place yang tempat fisik sudah tidak penting (lagi) sebagai sarana bertemu antara penjual dan pembeli..
Pada masa prasejarah, diperkirakan orang-orang mencukupi kebutuhan atas barang yang tidak dia miliki dengan model barter, menukar dengan barang yang dimiliki. Manik-manik, kapak perunggu, dan moko–meski objek “genderang perunggu” ini mungkin diproduksi masa Kolonial, bahkan sampai sekarang–diperoleh dan dipergunakan untuk tukar-menukar. Hal ini dapat dijumpai pada topik “Menimbang Nilai Menukar Makna”.
Masa berikutnya, yaitu Klasik dan Islam, muncullah uang dalam berbagai bentuk. Topik “Pasar pada Masa Kerajaan” menggarisbawahi pergeseran dari barter ke pasar dan penggunaan uang. Pasar juga menjadi terorganisir, menjadi bagian dari simbol budaya sebagai implementasi dari konsep mancapat.
Pemerintah Kolonial kemudian menguatkan pasar karena menjadi sumber pendapatan. Pasar dibangun tertata dan dikelola oleh dinas pasar. Topik “Pasar dan Bayang-Bayang Kolonialisme” menyatakan hal ini. Berbagai jenis pasar kemudian dikenali. Uang tentu menjadi semakin kuat sebagai sarana transaksi.
Dari sisi sejarah dan budaya, pasar tidak hanya menjadi tempat terjadinya transaksi komoditas, tetapi juga transaksi budaya. Komoditas dari berbagai tempat mengalir ke masyarakat, membuat menyebarnya benda-benda dari beragam wilayah. Berbagai budaya juga berkembang di seputar pasar, seperti perjudian dan, jangan lupa, klenik. Topik ini tertampil pada bagian “Pasar: Sebuah Ruang Multikultural”.
Perkembangan pasar pada masa kini ditampilkan pada topik “Perdagangan Barang dan Jasa Masa Kini”. Pasar fisik sudah tidak riuh lagi–ilang kumandhange, seperti ramalan Jayabaya–dan aktivitas berpindah ke dunia maya. Saya rasa topik ini adalah babak ketiga dari perkembangan pasar, memotret kondisi kemini dari pasar.
Pameran ini menambahkan dua topik lain, yaitu perdagangan saham dan pengelolaan keuangan, yang sekarang menjadi semakin mudah di era digital. Akan tetapi, kemudahan ini juga berarti bahwa uang sekarang mudah lenyap menguap, apa lagi setelah menjadi virtual yang takberaga itu.
***
Pameran ini tentu penting. Bagi publik, terjadi penambahan informasi dan pemahaman tentang perkembangan pasar, dan tidak kalah penting adalah pesan tentang bijak mengelola keuangan. Bagi museum, pameran temporer semacam ini dapat menjadi sarana untuk berhubungan dengan lembaga lain (dalam hal ini setidaknya para mitra dan sponsor), juga menyadarkan museum tentang objek apa yang ada dan tidak ada di koleksinya. [z]