Mengulik Nilai Kesatria pada Koleksi Museum

Disampaikan pada diskusi “Promosi Museum”, Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, di Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto, 20 Agustus 2025.


Tulisan ini akan menyampaikan “Tujuh belas museum di Bantul dengan beragam kekhasannya dan nilai-nilai kesatria yang dimiliki oleh masing-masing museum”, sebagaimana permintaan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul.  Hal ini tidak mudah setidaknya karena dua hal. Pertama saya belum berkunjung ke seluruh museum di Bantul yang berjumlah tujuh belas itu. Yang kedua adalah karena tidak semua museum sengaja dibuat untuk menampilkan masalah kesatria. Museum Gumuk Pasir, misalnya, agak sulit menemukan aspek ini karena koleksinya umumnya adalah benda alam dan/atau peralatan teknologi.

***

Objek museum dijadikan koleksi dan ditampilkan dalam pameran untuk menyampaikan sesuatu. Jadi jika museum meletakkan satu objek di pameran, hal itu adalah karena terdapat sesuatu yang ingin disampaikan. Yang ingin disampaikan sebenarnya bukan objek itu sendiri. Jika pengunjung masuk ke Memorial Soeharto dan menemukan botol di tempat pamer, semestinya memikir hubungan antara botol tersebut dengan riwayat dan pandangan Pak Harto, jadi ada sesuatu yang ingin disampaikan di situ.

***

Mendefinisikan istilah “kesatria” juga tidak mudah.  Kita diwarisi pemahaman kesatria dari empat golongan atau kasta, yaitu brahmana, kesatria, waisya, dan sudra. Dalam konteks ini, kesatria adalah kelompok bangsawan dan prajurit.

Oleh karena itu, kita mengkonotasikan kesatria dengan prajurit, atau sifat prajurit.

Kesatria adalah watak, bukan wadag. Sering kita mempertentangkan kesatria dengan raksasa atau buta dalam bahasa Jawa. Hal ini karena dalam pertempuran di pewayangan selalu mempertemukan antara kesatria dan raksasa. Namun karena kesatria adalah watak maka terdapat raksasa berwatak kesatria seperti tokoh Kumbakarna. Juga terdapat kesatria dengan watak yang tidak benar, seperti para Kurawa.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

ke.sat.ri.a /kêsatria/
bentuk tidak baku: ksatria, satria

  • n satu dari empat golongan dalam catur warna, yaitu golongan bangsawan dan prajurit
  • n pengayom, penegak, dan pembela kebenaran dalam agama Hindu
  • n orang (prajurit, perwira) yang gagah berani; pemberani

Sumber-sumber nilai kesatria ini misalnya adalah ajaran Astabrata,1 dan Serat Tripama.2 Di Yogyakarta terdapat ajaran “nyawiji, greget, sengguh ora mingkuh” yang sekarang dikukuhkan menjadi salah satu nilai keistimewaan. Beberapa kata kunci sebagai inti sifat kesatria adalah keberanian, kehormatan, kesetiaan, disiplin, serta pengabdian.

Secara umum memang dipahami bahwa kesatria berkonotasi kepada sifat militeristik, keperwiraan. Markas tentara sering disebut dengan “kesatrian”.   Namun, beberapa nilai luhur juga bagian dari kesatria, sehingga terjadi pergeseran dari militer atau strategi perang, ke integritas moral, kepemimpinan, serta kepribadian.

Oleh karena itu, alih-alih mencari objek terkait dengan senjata dan peperangan, tulisan ini juga akan menampilkan museum dengan objek di luar hal tersebut yang masih terkait dengan misalnya integritas moral. Di museum, kita juga dapat menemukan selain objek terkait dengan peperangan, juga pada objek yang terkait dengan integritas moral.

***

Dari tujuh belas museum di Bantul,3 untuk mempermudah pembahasan, dapat dibagi menjadi empat kelompok sebagai berikut.

  1. Museum sejarah, terdiri atas: (1) Museum Pleret, (2) Museum Bantul Masa Belanda, (3) Museum Muhammadiyah, (4) Memorial H.M. Soeharto, dan (5) Museum Padepokan Sumber Karahayon.
  2. Museum seni, terdiri atas: (6) Museum Rumah Garuda, (7) Museum Taman Tino Sidin, dan (8)  Museum & Galeri Musik Andi Bayou.
  3. Museum budaya, terdiri atas: (9) Museum Wayang Kekayon, (10) Museum Wayang Beber Sekartaji, (11) Museum Tani Jawa Indonesia, (12) Museum Kolong Tangga, (13) Museum History of Java, dan (14) Museum & Galeri Keris Sanggar Keris Mataram.
  4. Museum iptek dan pendidikan, terdiri atas: (15) Museum & Factory Chocolate Monggo, (16) Museum Gumuk Pasir PGSP, dan (17) Museum Lab Sejarah UPY.

Dalam praktiknya, museum sebenarnya tidak membagi diri secara mutlak semacam ini. Museum seni, misalnya Taman Tino Sidin, juga adalah museum sejarah yang merekam riwayat hidup Pak Tino Sidin.

Pada museum sejarah, aspek kesatria antara lain terlihat oada pandangan tokoh terkait filsafat maupun peristiwa-peristwa dalam sejarah. Di (1) Museum Memorial Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto antara misalnya buku yang dibuat oleh Pak Harto dan dibagikan kepada keluarganya waktu itu, yang berjudul “Butir-Butir Budaya Jawa”. Dengan mengumpulkan dan memilih berbagai nasihat dalam budaya Jawa, buku tersebut berisi pandangan Pak Harto tentang filsafat atau etika. Ajaran moral juga semestinya dapat dikulik pada tinggalan di (2) Museum Padepokan Sumber Karahayon, yang terfokus pada tokoh lembaga ini di masa lampau.

Beberapa museum sejarah menampilkan tokoh sejarah yang terkait dengan peperangan, misalnya Sultan Agung di (3) Museum Pleret.

Di (4) Museum Muhammadiyah terdapat boneka miniatur pesilat Tapak Suci, bagian dari organisasi Persyarikatan Muhammadiyah, yang memperagakan beberapa jurus. Sebagian gerakan dan nama jurus diambil dari alam, seperti Jurus Harimau. Cukup menarik bahwa jurus silat ini diambil dari sifat alam, yang mengingatkan kita pada Astabrata tadi.

Objek-objek keseharian dari masa lalu, seperti yang dimiliki oleh (5) Museum Bantul Masa Belanda, boleh jadi juga memiliki simbol nilai atau terkait dengan peristiwa tertentu di masa lalu yang menggambarkan aspek kesatria.

Museum seni menampilkan sifat kesatria melalui keteladanan tokohnya. (6) Museum Taman Tino Sidin, misalnya, museum ini sebenarnya perpaduan antara museum seni dan museum sejarah, yang berisi tentang sejarah Pak Tino dan tentu karya seni Pak Tino. Dari sejarah sendiri kita tahu peran Pak Tino Sidin saat pesawat VT-CLA itu jatuh di Ngoto, pada waktu itu Pak Tino menggerakkan pramuka untuk membantu. Pesan sifat kesatria ini mungkin dapat juga ditemui pada museum seni-quasi-sejarah seperti (7) Museum Musik Andi Bayou, yang dilihat dari namanya mestinya akan bercerita tentang beliau juga. Mungkin pengunjung dapat melihat aspek kesatria pada penciptaan lagu oleh Pak Andi Bayou.

Selain dari tokoh seniman, aspek kesatria juga dapat muncul dari karya seni yang ditampilkan di museum. Pak Nanang dari (8) Museum Rumah Garuda menciptakan wayang golek Kiai Gardala yang merupakan proses kreatif dari simbol Garuda Pancasila. Dengan demikian terdapat simbol-simbol kesatria juga di situ.

Pada museum tema budaya, objek-objek budaya yang menjadi koleksi juga memuat simbol atau menarasikan kepemimpinan, etika, dan nilai-nilai kesatria lainnya. Keris koleksi (9) Museum & Galeri Keris Sanggar Keris Mataram, misalnya, mengandung banyak simbol-simbol dalam filsafat Jawa, baik terkait dengan fungsinya sebagai senjata maupun simbol lain sebagaimana digambarkan dalam berbagai bagian dari keris. Objek naratif seperti wayang beber di (10) Museum Wayang Beber Sekartaji, atau wayang kulit dan wayang golek seperti di (11) Museum Wayang Kekayon, (12) Museum History of Java, memiliki nilai budaya yang digunakan untuk menyampaikan ajaran moral. Sejalan dengan ini, terdapat pula berbagai objek naratif di (13) Museum Anak Kolong Tangga seperti teater boneka yang juga digunakan untuk melakukan kegiatan pendidikan.

Narasi peperangan di masa lalu, yang pasti disampaikan pesan-pesan moralnya, juga dapat muncul di (14) Museum Tani Jawa Indonesia di Candran, Imogiri, yang memiliki jaran kepang (kuda lumping). Meski di museum ini jaran kepang dikaitkan dengan ritual nini thowong, jaran kepang juga digunakan dalam budaya jawa untuk menyampaikan narasi tentang pertempuran, misalnya yang dilakukan oleh Raden Panji—cerita yang sangat populer—dan kadang peperangan antara penguasa Demak, Sultan Hadinegoro, dan Aryo Penangsang. Jadi, tarian jaran kepang juga merupakan tarian keperwiraan.

Pada museum bertema Iptek dan pendidikan akan tidak mudah mendapatkan nilai-nilai kesatria pada pamerannya. (15) Museum Lab Sejarah UPY masih menyampaikan simbol-simbol pada budaya masa lalu yang dapat mengandung nilai kesatria, namun untuk museum yang lebih murni teknologi seperti (16) Museum Gumuk Pasir dan (17) Museum & Factory Chocolate Monggo, akan lebih berliku mencarinya. Museum-museum ini dapat menyampaikan nilai melalui cerita tentang para ahli yang berada di balik teknologi yang dipamerkan, misalnya tentang kesungguhan mereka atau cerita-cerita lain yang relevan di balik penemuan dan penggunaan teknologi tersebut.

***

Mengapa museum perlu menampilkan ajaran moral kesatria ini?

Dari sisi edukasi, museum yang tujuannya antara lain adalah pendidikan, memiliki kesempatan untuk menyampaikan berbagai aspek seperti sejarah objek, identitas budaya, termasuk nilai moral khususnya tentang kesatria. Untuk tujuan penelitian, museum dapat memperkaya data tentang bentuk objek, teknik pembuatan, dan penggunaan objek-objek yang terkait, seperti peralatan perang atau peralatan teknologi dan budaya yang lain.

Dari sisi pengelolaan, eksplorasi pada tema kesatria pada pameran museum akan membuka peluang kerja sama. Antarmuseum atau dengan lembaga lain dapat dijalin hubungan yang mendasarkan pada aspek nilai moral kesatria ini. Masing-masing museum memamerkan objek bertema kesatria, dan sekolah, misalnya, menggunakan untuk pembelajaran dengan mengunjungi museum yang berbeda untuk melihat kekayaan tema ini.

Ketersediaan objek dengan topik kesatria di setiap museum juga dapat digunakan oleh pemerintah Kabupaten Bantul untuk mendukung slogan “Bantul Bumi Satriya” yang baru saja dicanangkan. Museum dapat bersama-sama mempromosikan museum untuk dikunjungi dengan mengusung tema ini. Panduan bagi wisatawan kemudian dapat diterbitkan untuk memberikan petunjuk perjalanan menelusuri jiwa kesatria yang tersimpan pada ketujuh belas museum di Bantul. Panduan ini dapat berupa liflet, buklet, dilengkapi dengan peta museum dan objek dengan makna kesatria yang akan ditemui.

Masalahnya adalah kadang-kadang museum tidak mudah menemukan nilai kesatria di balik koleksinya. Museum perlu melakukan riset dan menemukan objek yang terkait dengan kesatria dan mengidentifikasi aspek kesatria mana yang terkandung. Setelah itu,  masalah berikutnya adalah bagaimana mengelola nilai yang sudah ditemukan itu, bagaimana menampilkannya kepada publik, dengan cara apa, dan pada sisi yang mana. Setelah itu, museum juga perlu mengembangkan cara untuk mendorong publik agar dapat menggunakan nilai-nilai yang ditemukan itu. [z]

Catatan Kaki

  1. Astabrata berati “delapan sifat kepemimpinan ideal”, yang bersumber dari filosofi India dengan delapan dewa dan kemudian disadur menjadi delapan sifat alam. ↩︎
  2. Serat Tripama adalah sastra Jawa karya Mangkunegara IV, memuat ajaran moral ksatria yang mencontoh Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Suryaputra (Adipati Karna). ↩︎
  3. Saat ini, terdapat tujuh belas museum yang bernaung di bawah Forum Komunikasi Museum Bantul. ↩︎