Disampaikan pada Sarasehan 54 tahun Barahmus DIY, di Aula Rumah Sakit Mata Dr. Yap, Yogyakarta, 7 Agustus 2025.
Pengantar
Penataan pameran tentu tidak asing bagi pengelola museum. Akan tetapi penataan pameran sering terpinggirkan dalam aktivitas pengelolaan museum. Kadang museum tidak mengubah pameran untuk sekian lama, baik secara minor, yaitu sebagian kecil, maupun mayor: pembaruan pameran. Jika pun ada, pengubahan itu sering tidak melalui kajian terlebih dahulu.
Pada perkembangannya, kunjungan ke museum tidak semata-mata karena pameran. Mungkin alasan kunjungan untuk melihat pameran tersebut lama-kelamaan menjadi sekunder, digantikan misalnya mengikuti program publik yang diselenggarakan. Museum kemudian juga terlihat berfokus pada program-program publik yang lebih mudah untuk dikelola sebagai suatu event.
Paparan ini akan meliputi perlunya kita membenahi pameran, kendala, serta cara-cara pembenahannya.
Mengapa kita perlu membenahi pameran museum kita?
Pertama adalah tuntutan Standardisasi (1). Pada borang Standardisasi yang dimuat pada Permendikbudristek nomor 24 tahun 2022 tentang Pelaksanaan PP Museum memuat pertanyaan (8.6.) “Apakah museum membuat kajian pameran tetap?” dan (8.7.) “Apakah museum melakukan program perubahan pameran tetap secara berkala?” Asesmen standardisasi dari Kementerian menggunakan borang ini dilakukan setiap tiga tahun (disebut “evaluasi” untuk asesmen kedua dan seterusnya), sehingga perubahan tata pamer dapat terjadi setiap tiga tahun.
Jika kajian belum pernah dibuat, misalnya karena pameran telah dibuat sebelum implementasi PP Museum (Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2015), maka semestinya dibuat kajian yang tentunya akan berdampak pada perubahan tata pamer.
Kedua adalah alasan museologis (2). Pameran merupakan sarana komunikasi utama museum. Pameran merupakan andalan, curahan perhatian dan sumber daya museum, bahkan, sekarang terdapat kecenderungan pengumpulan objek adalah untuk dipamerkan. Oleh karena itu, pameran harus dapat secara efektif menampilkan (nilai dari) objek kepada pengunjung. Pameran juga digunakan untuk menarik perhatian pihak-pihak di luar museum, termasuk untuk menjalin kerja sama.
Ketiga (3) adalah karena adanya persaingan dengan objek kunjungan lain. Objek-objek itu sekarang berkembang, mungkin sesama museum, galeri, event, Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) lain, juga mal. Bukan karena persamaan topik museum, tetapi persaingan dapat terjadi karena museum lain sudah memperbarui pameran sehingga lebih menyedot perhatian publik.
Kapan, atau pada saat apa kita harus melakukan pengembangan tata pamer?
Berikut adalah beberapa tanda bahwa museum harus memperbaiki pameran.
Dari sisi kunjungan, terdapat penurunan jumlah pengunjung (1). Museum juga tidak menarik sasaran tertentu misalnya tidak ada lagi rombongan sekolah, atau tidak ada pengunjung berulang (repeater).
Dari tampilan, komponen pameran terlihat usang (2), misalnya gambar dan warna pada grafis memudar. Prasarana pameran rusak atau tidak ada sentuhan teknologi dan gaya baru.
Secara formal, perbaikan tata pamer juga perlu dilakukan saat (3) tidak ada perubahan pameran cukup lama. Beberapa museum tidak mengubah pameran sejak awal didirikan. Kadang tidak masalah jika pameran tersebut masih relevan, atau memang sengaja dibiarkan sebagai bagian dari sejarah museum. Seperti telah disebut tadi, standardisasi mengisyaratkan untuk pembaruan pameran secara berkala karena selalu ada kajian sekurang-kurangnya tiga tahunan.
Dari sisi edukasi, perubahan tata pamer perlu kita lakukan saat kita tahu bahwa (4) pesan dari pameran tidak tersampaikan, tentu berdasar survei yang dilakukan terhadap pengunjung. Mungkin juga karena pameran masih menggunakan pendekatan satu arah, kurang interaktif, tidak partisipatif, tidak membawa multimakna, kurang melibatkan pengunjung. Materi juga tidak relevan dengan perkembangan zaman atau ilmu pengetahuan. Salah satu indikasinya adalah bagian pameran tersebut dilewati oleh pengunjung dengan cepat.
Dari sisi alur cerita, kita perlu memperbaiki pameran saat tahu bahwa (5) narasi tidak terpadu, melompat-lompat, tidak ada alur. Narasi kurang didukung objek, atau sebaliknya terdapat banyak objek namun tidak ada narasi. Pameran juga tidak mengakomodasi pendekatan dan pemikiran baru (misalnya inklusivitas).

Kita harus mulai dari mana?
Kemudian, bagaimana cara memperbaiki tata pamer? Mengubah pameran museum tidak selalu mudah Harus mulai dari mana? Harus seperti apa? Teknik seperti apa yang digunakan?
Biasanya, museum akan membentuk tim pengembangan. Namun tidak semua museum memiliki kemampuan untuk membentuk tim karena sumber daya yang terbatas. Meski demikian, setidaknya museum perlu membuat rencana pengembangan yang di dalamnya terdapat tahapan sebagai berikut.
Evaluasi > perencanaan > pelaksanaan > evaluasi
Hal ini mirip dengan rumus POAC dalam manajemen. Namun karena pameran sudah terjadi, maka evaluasi menjadi tahap pertama, untuk kemudian di ujung akhir juga terdapat evaluasi lagi.
Setelah evaluasi tadi, maka tahap berikutnya adalah merencanakan pengembangan konten: tetapkan tujuan pengembangan, tentukan audiens utama, tinjau koleksi dan cerita yang bisa dikembangkan, rancang pengalaman pengunjung pameran.
- Baca juga: Membangun Storyline
Menyusul tahap berikutnya adalah tahap Pelaksanaan Pekerjaan. Di tahap ini dilakukan penataan pameran, yang mungkin inkremental (sedikit demi sedikit dan terus bertambah), melakukan uji coba, dan memilih prioritas. Setelah itu tentunya melakukan evaluasi berkala, kembali lagi ke tahap awal.
Apa kendala yang mungkin terjadi dalam pengembangan tata pamer?
Seringkali SDM menjadi alasan utama. Museum sering tidak memiliki cukup tenaga teknis untuk melakukan penataan pameran (1). Solusinya antara lain adalah dengan kolaborasi, rekrut relawan, atau membuat perubahan sederhana.
Kendala berikut adalah (2) pendanaan. Untuk “mengejar” kekinian, umumnya memerlukan pendanaan yang besar, misalnya untuk memasang instalasi imersif yang memerlukan dana hingga ratusan juta rupiah. Maka kita berharap ada pendanaan dari pemilik, sponsor, donatur; atau kita buat buat tata pamer yang sederhana, sehingga murah, namun memenuhi keperluan yang kita tetapkan.
Keterbatasan koleksi (3) juga dapat menjadi kendala. Banyak museum yang memiliki koleksi terbatas. Untuk itu diperlukan upaya pengumpulan objek baru, reorientasi visi-misi, peminjaman, dan/atau replikasi.
- Baca juga: Pengembangan Koleksi Museum
- Baca juga: Pengembangan Koleksi Museum Bertema Biologi
Tempat/sarana pameran (4) juga bukan hal yang tidak mendatangkan masalah. Tempat sering terbatas untuk pengembangan pameran, terutama jika kita menggunakan bangunan yang sudah ada. Untuk itu perlu memaksimalkan ruang, rambah ke fasilitas lain. Tentu hal ini kasuistis, berbeda antarmuseum.
Mengatasi kendala
Telah disinggung di depan tentang kendala dan beberapa cara mengatasinya. Jika dibahas tersendiri, maka kendala dapat kita upayakan tereliminasi dengan pengembangan SDM, koleksi, dan sarana-prasarana, dengan mengembangkan aspek manajerial dan mencari pembiayaan. Kerja sama dapat dilakukan untuk pembiayaan dan hibah (sponsor, donasi), riset, magang (kurasi, tata pamer, teknologi digital), membangun pendekatan berbasis komunitas.
Kendala juga dapat dieliminasi dengan membuat prioritas: identifikasi mana yang paling kritis, dan mana yang paling mungkin dilakukan dengan kondisi yang ada.
Berikut adalah beberapa kunci untuk menentukan prioritas dalam melakukan pengembangan tata pamer museum. Sebagian hal terkait dengan aspek artistik dari tata pamer.1
- Evaluasi atas kondisi pameran
- Elemen pamer: adakah yang rusak atau usang?
- Pencahayaan: apakah memadai?
- Koleksi: apakah mudah dilihat dan aman?
- Narasi: apakah sudah jelas dan menarik?
- Tata letak: apakah mudah dipahami?
- Tentukan Tujuan
- Apakah untuk meningkatkan pemahaman pengunjung?
- Apakah untuk meningkatkan daya tarik visual?
- Apakah untuk menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan?
- Apakah untuk meningkatkan kenyamanan atau alur kunjungan?
- Identifikasi sumberdaya
- Apa sumber daya yang tersedia atau dapat diupayakan?
Penutup
Penataan (ulang) pameran untuk mengembangkan museum merupakan sinergi dari aspek artistik, tujuan, serta sumber daya. Aspek artistik akan terkait dengan pengalaman pengunjung, terutama pengalaman indrawi, aspek tujuan terkait dengan fungsi komunikasi museum yaitu apakah pesan tersampaikan dengan baik dan fungsi konservasi yaitu apakah objek terlindungi, sementara itu aspek sumber daya akan menentukan seperti apa tindakan yang mungkin dilaksanakan dalam penataan pameran. [z]
Catatan kaki
- Topik ini nanti akan disampaikan oleh Ki Hajar Pamadhi pada sesi kedua. ↩︎