Warisan Budaya di DIY dan Pengelolaannya (V)
\
Disampaikan pada Pelatihan Internalisasi Keistimewaan DIY bagi Pejabat Administrator (Eselon III). Badan Diklat DIY, 9 Oktober 2024.
Isi
- I. Warisan budaya
- II. Warisan budaya di DIY
- III. Mataram Islam
- IV. Sumbu filosofi dan poros imajiner
- V. Upaya pelestarian warisan budaya
V. Upaya Pelestarian Warisan Budaya
Menurut paradigma yang dianut dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian tidak hanya masalah pengawetan, tetapi dimaknai sebagai rangkaian dari pelindungan, pengembangan, serta pemanfaatan. Paradigma ini nantinya juga diikuti oleh Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, ditambah dengan pembinaan.
Saya mulai dengan cagar budaya, yaitu warisan budaya bersifat kebendaan. Kita tahu bahwa cagar alam adalah tempat pelestarian alam, seperti hutan, binatang, serta batuannya, maka mestinya cagar budaya adalah tempat pelestarian budaya. Akan tetapi, cagar budaya dibatasi sebagai warisan budaya yang bersifat kebendaan saja. Apakah warisan budaya yang non-bendawi, intangible, tidak dilestarikan? Istilah yg digunakan adalah “pemajuan kebudayaan”, seperti judul UU No. 5 tahun 2017.
Terdapat berbagai peraturan tentang Cagar Budaya. Setidaknya, peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya
- Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya
- Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar Budaya
- Pergub DIY No 55 Th 2014 ttg Pengelolaan Cagar Budaya
Menurut pasal 1 Undang-Undang Cagar Budaya, “pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.” Ini berbeda dari pandangan sebelumnya yang lebih kuat dalam pelindungan.
Menurut Pasal 5 UUCB, untuk dapat menjadi Cagar Budaya, suatu objek harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu
- berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
- mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
- memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan
- memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
Sementara itu, lebih detil dengan nilai khusus, pada bagian lain disebut sebagai nilai penting, yaitu bahwa suatu objek harus memiliki setidaknya satu nilai penting, yaitu sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
Dasar-dasar tersebut digunakan dalam penetapan Cagar Budaya, yang prosesnya melalui pendaftaran, kajian, pembuatan rekomendasi oleh Tim Ahli Cagar Budaya, serta penetapan oleh bupati, walikota, gubernur, atau menteri, tergantung pada tingkatnya.
Dari kegiatan pelestarian yang tiga tadi, Pelindungan adalah “upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya.“ (Pasal 1 ayat 23 UUCB).
Sementara itu, Pengembangan adalah “peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian. “ (Pasal 1 ayat 29).
Rantai terakhir, yaitu Pemanfaatan, adalah “pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.” Pemanfaatan ini sekarang digalakkan, selain karena menjadi bagian tak terpisah dari pelestarian, juga dapat menepis anggapan bahwa pelestarian selalu menyulitkan karena batasan-batasan yang seakan membuat objek Cagar Budaya tidak dapat “diapa-apakan”.
Undang-Undang Cagar Budaya membuka peluang partisipasi masyarakat dalam pelestarian (berarti mulai dari pelindungan, pengembangan, serta pemanfaatan). Di sisi lain, skema sederhana seperti ABC (Akademisi, Birokrasi, Community) juga banyak dikembangkan. [z]