Sejarah Istri-Istri Utama

\
Keraton Yogyakarta menyelenggarakan pameran temporer berjudul “Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta”, Oktober 2024 hingga Januari 2025. Pameran tersebut diselenggarakan di Gedhong Kapa hingga Sarangbaya, di dalam kompleks Kraton.
Saya nonton pameran ini bersama Pak Suranto, ahli konservasi kayu dari Fakultas Kehutanan UGM. Kami memenuhi undangan dari penyelenggara kepada Barahmus DIY. Kebetulan hanya kami berdua yang sempat datang.
Pameran ini diawali dengan menyajikan secara imersif naskah-naskah lama tentang wanita. Salah satu yang saya lihat adalah kutipan dari Serat Paniti Sastra. Pada label di ruang ini, teks menyatakan tentang karya sastra babad abad ke-20 sering menampilkan wanita sebagai “picisan dan subordinat”.
Pada bagian-bagian berikutnya disajikan tujuh permaisuri dari HB I hingga HB X. Masing-masing permaisuri ditampilkan siluet profilnya–tentu karena tidak ditemukan foto permaisuri di masa awal sejarah Kraton, dengan keterangan pendek tentang sosok beliau. Tajuk topik menjelaskan sisi menonjol dari masing-masing tokoh, dan objek-objek yang terkait dengan topik tersebut ditampilkan dalam pameran. Misalnya, jika dinyatakan bahwa permaisuri tersebut mengembangkan kesenian, maka ditampilkan alat musik.
Menurut rekaman saya, dalam pameran ini setidaknya terdapat sosok GKR Kadipaten (HB I), GKR Sultan (HB II), GKR Kencono (HB III), GKR Kencono dan GKR Hageng (HB VI), GKR Kencono (HB VII), dan GKR Hemas (HB X). Selain itu ditampilkan pula putri sultan yang menjadi permaisuri di Surakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Juga dimunculkan seorang putri sultan yang menjadi nenenda RA Kartini, dan seorang lain yang menjadi panglima kavaleri pasukan Diponegoro.
Di luar itu tentu ada teks pengantar pameran, tentang mengapa istilah parama iswari diambil. Pengantar ini ada pada dinding selasar penghubung antara ruang pamer di Gedhong Kapa dengan bagian belakang Sarangbaya. Istilah parama dan iswari sudah ada pada masa Jawa Kuno dalam istilah prameswari yang nanti mungkin menjadi kata permaisuri. Dijelaskan pada salah satu panel bahwa secara etimologis “parama berarti linangkung atau berkelebihan, iswari berarti luhuring estri atau perempuan utama“.
Pada akhir pameran, pengunjung disuguhi kursi (dengan meja) dari HB VIII yang biasanya digunakan oleh permaisuri. Dengan itu pengunjung diminta berefleksi sesuai teks penutup: “Bagaimana perempuan dalam benakmu?” [z]