Vintage a.k.a. Jadoel

\
Sore kemarin saya bertandang ke tetangga, budhe begitu saya sebut, untuk membantu suatu acara.
Yang menarik perhatian saya adalah gelas-gelas yang digunakan untuk menyuguh minum tetamu. Gelas-gelas ini berasal saya kira tahun 70-an awal 80-an, penuh hiasan berwarna pada sisi luar. Sebenarnya ibu saya, yang seusia dengan budhe tadi, juga saudara-saudaranya (pernah) memiliki gelas macam ini.
Saat bersamaan juga digunakan gelas belimbing, dalam rentang waktu yang lebih lama. Gelas ini demikian populer sehingga sering digunakan sebagai takaran dalam resep masakan: “satu gelas belimbing air…”
Pada masa yang mengikuti gelas ini kelihatan dianggap tidak sesuai zaman. Sudah kuno. Model yang muncul kemudian adalah gelas polos dari warna namun digravir dengan bentuk bunga atau pohon bambu. Gelas model ini menjadi populer.
Kembali ke gelas berwarna-warni tadi. “Piye, Mas, bisa masuk museum? tapi kayane durung bisa ya, kurang kuno?” tanya putra budhe.
Menurut saya, benda-benda ini layak masuk museum yang tepat. Mungkin museum perkembangan desain benda. Di Indonesia belum ada rasanya museum semacam ini, karena kebanyakan museum jika tidak bersifat sejarah suatu organisasi maka kan bersifat etnografi yang berfokus pada objek-objek budaya tinggi, bukan benda keseharian.
Objek di museum juga tidak menuntut kriteria umur tertentu, berbeda dari Cagar Budaya yang mensyaratkan usia 50 tahun (dan masa gaya juga 50 tahun). Objek-objek kontemporer dapat menghuni museum, bahkan pengumpulan objek baru menjadi bahasan dalam museologi. Juga, bukankah dahulu saat membuat museum yang sekarang hebat-hebat itu, orang Barat juga mengumpulkan objek kontemporer dari etnis tertentu, yang masih mereka produksi dan gunakan?
Deposisi objek yang cukup lama ini di dalam koleksi menyebabkan terkesan bahwa museum hanya menyimpan benda lama. [z]