Pelang Jalan Malioboro
Lama tidak melintas Malioboro, ternyata pernah ada diskusi publik yang hangat tentang papan nama jalan legendaris tersebut.1 Tentu hal ini berarti (bagi masyarakat Yogya) hingga muncul banyak perhatian atas penggantian papan nama tersebut. Konon sekarang papan nama jalan sudah dikembalikan lagi.
Konon pula, pemerintah setempat akan mengganti lima ratusan nama jalan, yang berarti akan mengganti pula papan namanya. Setidaknya seribu papan nama, yang akan memiliki dampak besar bagi identitas kota.2
*
Piranti jalan, seperti papan nama jalan rupanya cukup menarik untuk diperbincangkan. Dari banyak segi. Papan nama jalan tidak sekedar papan pemberitahuan tentang nama jalan tersebut, melainkan di dalamnya terlibat banyak hal.
Identitas, misalnya. Para pengkritik papan baru di Malioboro rata-rata merasa bahwa papan yang lama cukup sesuai dengan identitas kawasan Malioboro, juga lebih luas lagi, dalam konteks Yogyakarta. Lebih menggambarkan ‘jiwa kawasan’, mungkin begitu.
Seperti dimuat di berbagai situs, papan nama jalan tersebut memang ngepop, ala anak muda. Pilihan font atau jenis huruf, penggunaan warna pelangi …
*
Font3 merupakan salah satu sarana identitas yang kuat. Tetapi, apa ya font yang pantas untuk Kota Yogyakarta? Berlin misalnya, menggunakan font yang cukup khas, menarik hati peminat grafis.4 Beberapa orang lantas membuat font yang mirip dengan yang digunakan kota tersebut.
Pemilihan font tidak hanya berkait dengan identitas. Bayangkan, jika biar terkesan kuno kemudian menggunakan old english atau gothic malah susah dibaca. Menurut hemat saya, aspek keterbacaan merupakan hal yang penting bagi papan nama. Mestinya ada aturan di Kementerian Perhubungan atau sebangsanya, tentang pemilihan huruf, ukuran, penempatan, dan sebagainya untuk tanda lalu lintas. Itu jika papan nama jalan termasuk tanda lalu lintas.5
Tentu pemilihan jenis huruf dan ukuran bukan satu-satunya yang harus dilakukan. Masih banyak lagi: apakah harus condensed (dimampatkan), atau malah ekspan (dimelarkan). Atau suka-suka. Jika terlalu nama terlalu panjang ya dimampatkan, jika terlalu pendek ya diperlebar, yang penting ukuran papan sama besar. Perlu dipikirkan pula, apakah menggunakan huruf besar semua, huruf kecil semua, atau besar kecil.
*
Berikut gambaran papan nama di Malioboro dan seputarnya, setelah meramban di Internet secara cepat.
Jika saya perhatikan, huruf yang digunakan berganti menjadi gendut setelah diperbarui (dengan tiang besi cor malioboroan). Font yang digunakan Kelihatannya arial bold yang di-condense dengan faktor berbeda-beda menyesuaikan antara panjang nama dan papan. Gendut dan kondens rasanya menjadikan papan nama lebih sulit dibaca. Bandingkan dengan papan-papan lama. Hurufnya memang amburadul, tidak rapi, tetapi lebih gambang dibaca.
Tetapi, kenapa harus arial? Kondensasi, pemampatannya beda-beda lagi …
Papan Jl. Pasar Kembang yang baru, yang hurufnya gendut berdempetan itu, dibuat dengan kertas lekat scotchlite yang memantulkan sinar, baik tulisan maupun latar hijaunya. Dua hal ini, pemilihan huruf dan material, membuat papan nama menjadi lebih sulit dibaca di malam hari jika terkena sinar dari arah tertentu.6
*
Pihak tertentu semacam konsultan grafis, yang mempelajari jenis-jenis font atau huruf seperti dari ISI perlu dilibatkan dalam merancang papan nama jalan. Pekerjaan mereka mulia dan menurut saya cukup sulit. Oleh karena itu, tulisan ini diakhiri dengan segenap hormat kepada mereka. [z]
*Foto-foto dari berbagai situs di Internet.
Catatan Kaki
- Seperti diberitakan regional.kompas.com/read/2012/09/02/15394131/Papan.Nama.Baru.Malioboro.Menuai.Kontroversi [↩]
- solopos.com/2012/09/26/pengembalian-nama-jalan-332635 [↩]
- Apa istilah tepatnya? Font, jenis huruf, typeface, atau … Karena saya awam, saya gunakan istilah itu dulu. [↩]
- Dapat dibaca di sini [↩]
- Saya membaca papan baru sebagai “Mal Boro”. [↩]
- Mungkin gambar contoh yang lama tidak pas untuk bandingan. Mestinya tulisan itu juga dibuat dengan scotchlite. [↩]