Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto
Salah satu museum terbaru di Yogyakarta1 adalah Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto. Objek baru ini memang tidak menyebut diri sebagai museum, tetapi adanya ruang pamer dan berbagai sarana lain sangat mengingatkan kita kepada institusi yang menyelenggarakan pameran dan konservasi ini.
Kompleks memorial ini terletak di sebidang pekarangan yang diceritakan sebagai tempat bekas presiden kedua tersebut lahir dan menghabiskan masa kecilnya. Lokasi tersebut terletak di Dusun di Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, D.I.Y., sekitar dua belas km dari pusat kota Yogyakarta. Pengunjung dapat mencapai lokasi ini dari Jalan Wates KM 10.
Memorial ini masih sangat baru, diresmikan kurang dari dua minggu yang lalu. Sewaktu tadi siang mengunjungi museum ini2 seorang pekerja masih belum selesai memberi warna keemasan pada huruf-huruf prasasti peresmian yang diukir pada sebongkah andesit batu besar. Tertulis tanggal 8 Juni 2013, dengan tanda tangan dua orang, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti, yang merupakan putri Pak Harto, dan H. Probosutedjo adik tiri dari sang tokoh.
Kompleks Memorial
Bangunan-bangunan utama memorial ini adalah satu pendopo yang dihubungkan ke sebuah gedung tertutup di sebelah barat. Satu gedung lain terletak di sisi memanjang di sisi utara kompleks. Saat ini gedung agak panjang tersebut tertutup. Teras yang lebar dipenuhi dengan beberapa pasang meja-kursi tamu yang kelihatannya dipahat dari kayu utuh. Teras adem ini dapat menjadi tempat istirahat pengunjung yang kegerahan karena belum terdapat tumbuhan besar yang merimbun di kompleks ini.
Pendopo menjadi tempat penerimaan dan introduksi. Satu-dua petugas berjaga di meja penerimaan di sudut pendopo. Pengunjung–atau kepala rombongan–harus mencatatkan nama dan kemudian akan menerima kertas untuk memberikan saran dan kesan. Pengunjung berombongan kadang diterima di pendopo ini untuk melihat film pengantar yang diputar pada layar elektronik yang cukup lebar. Layar televisi ini terletak di sisi timur pendopo agak ke utara. Di sampingnya terdapat patung dada Pak Harto memberi hormat dengan pakaian jenderal besar.
Sebenarnya tidak banyak objek atau fitur yang tersisa dari Pak Harto di memorial ini. Di sudut timur laut terdapat sisa pondasi rumah dan satu sumur yang dikatakan oleh penjaga sebagai peninggalan dari masa kecil Pak Harto. Di atasnya, yang sekarang ditanami rumput, dipasang sekitar delapan tonggak dengan papan bening di bagian atas. Papan tersebut mengandung tulisan dalam huruf jawa, bahasa jawa, dan bahasa indonesia, berisi beberapa kata bijak. Ujung tonggak adalah papan bening dengan bentuk serupa nyala api. Terdapat kabel di masing-masing tiang pendek tersebut, jadi kelihatannya ketika gelap ukiran pada papan bening tersebut akan menyala serupa obor.
Gedung di sisi barat menjadi ruang pamer utama (karena di pendopo juga terdapat pameran beberapa panel berisi foto) kompleks memorial ini.
Pameran
Di ruang pamer disajikan berbagai peristiwa yang berkait dengan Pak Harto dengan tulisan, foto, video, suara, serta diorama dan patung. Materi-materi tersebut disusun dalam lorong yang berbelok lima atau enam kali di dalam gedung yang tidak begitu besar. Memasuki gedung dari satu pintu otomatis pengunjung diterima lorong dengan proyeksi gambar sawah berpadi di bagian lantai dan gambaran pita seluloid film melingkari sebagai dinding dan atap lorong.
Video-video terpasang di beberapa bagian ‘pita film’ ini, dengan dipancarkan dari proyektor lcd. Upaya ‘melekatkan’ video yang berukuran relatif kecil–seukuran layar monitor beberapa belas inchi–pada gambaran pita film yang tipis ini merupakan usaha yang berat karena menggunakan proyektor yang mahal dan boros energi.
Pada kelokan lorong-lorong berikut ditampilkan cerita yang terlihat difokuskan kepada tiga hal, yaitu Serangan Oemoem 1 Maret 1949, peristiwa Pembebasan Irian Barat (Operasi Trikora) tahun 1961, serta berkait dengan G-30-S PKI tahun 1965. Tiga hal tersebut mendapat porsi yang besar, meskipun di lorong terakhir juga disajikan foto-foto ketika Pak Harto menjabat presiden hingga peristiwa wafatnya. Sementara itu, cerita tentang keluarga terpasang di luar ruang pamer, yaitu di teras. Pada bagian tersebut silsilah keluarga dan beberapa foto kecil dengan sedikit keterangan.
Tanpa ada benda asli yang dipamerkan, sebenarnya cerita yang disajikan sudah banyak dikenal. Hanya, di ruang pamer ini cerita disajikan ulang dengan kemasan yang lebih artistik dan selera kekinian.
Untuk menyajikan cerita tentang para Jenderal korban G-30-S PKI, misalnya, dibuat patung-patung yang melayang, juga foto-foto yang diukirkan pada papan bening seperti akrilik. Foto yang ada juga bukan hanya dibingkai dan ditempelkan ke dinding dengan keterangan panjang, melainkan ditata sedemikian rupa dan dengan tidak terlalu banyak kata. Foto dalam kumpulan itu akan berbicara sendiri.
Fakta
Diresmikan tanggal 8 Juni 2013
Terletak di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Menempati pekarangan bekas tempat lahir HM Soeharto
Sayang banyak foto yang dicetak dengan teknik digital itu menggunakan resolusi rendah.
Di ruang pamer juga terasa penggunaan teknologi terkini dengan komputer dan proyektor meskipun kelihatannya baru sebatas memproyeksikan gambar dan video. Belum terlihat adanya layar sentuh misalnya yang dapat digunakan oleh pengunjung misalnya untuk memilih hal yang ia ingin tahu lebih lanjut.
Meskipun demikian, aspek interaktif juga disajikan. Pengunjung dapat berdiri di sebidang layar yang berisi animasi para mahasiswa berdemonstrasi. Tiba-tiba di salah satu bagian layar, gambar pengunjung akan muncul. Trik ini akan dapat menahan pengunjung untuk sedikit berlama di dalam ruang pamer dan memberi kesan keterlibatan kepada mereka. Pengunjung juga akan mendapatkan sesuatu untuk dibawa pulang, entah kenangan atau foto yang mereka buat.
Membaca makna
Dari penampilan kompleks ini terlihat adanya penggambaran Pak Harto sebagai anak petani (dengan adanya patung penggembala kerbau dan replika sawah di belakangnya), seorang muslim yang baik (dengan mushola yang terlihat dari jauh sebelum pengunjung memasuki kompleks dan dua relief Pak Harto sedang shalat, juga penggunaan nama HM–Haji Muhammad), tokoh militer (dengan patung besar Pak Harto dalam seragam jenderal besar, juga penggunaan ‘Jenderal Besar’ pada nama memorial, dan tiga cerita utama di ruang pamer), dan seorang Jawa (dengan bangunan joglo dan beberapa kata-kata mutiara Jawa yang dikutip).
Pesan tentang anak petani ini ditekankan lagi dengan suasana sawah (gambar sawah berpadi di lantai dengan suara kaki melangkah di lumpur sawah) di lorong pengantar di ruang pamer. Penghargaan FAO atas hasil upaya pertanian di era pemerintahan Pak Harto menjadi puncak aspek agraris ini, yang ditunjukkan dengan foto besar di lorong terakhir.
Meskipun demikian, terdapat banyak tanda-tanda lain yang cukup menarik untuk ‘dibaca’. Misalnya, mengapa menggunakan dinding pagar yang tinggi dengan gapura berpintu yang besar. Juga, mengapa terdapat puluhan tanaman bonsai yang diletakkan di halaman depan.
Panduan
Hal yang perlu segera ditambahkan di memorial ini barangkali adalah panduan bagi pengunjung, baik berupa tanda-tanda, label, atau liflet dan buku. Minimnya tanda yang mengarahkan membuat pengunjung kebingungan akan apa yang harus dilakukan. Tanda untuk memberi tahu alur pengunjung akan sangat membantu pengunjung menikmati cerita yang disajikan, selain untuk menemukan pintu masuk …
Bahkan, belum terdapat petunjuk arah jalan dari jalan Yogyakarta-Purworejo menuju kompleks memorial ini. Kami harus bertanya dua kali selepas masuk jalan aspal di samping Universitas Mercu Buana.
Sekarang ini, panduan dilakukan oleh seorang petugas di meja penerimaan. Ia meneriakkan melalui pengeras suara apa yang harus dilakukan oleh pengunjung. Juga, kadang diceritakannya mengapa terdapat patung pengembala kerbau di tempat tersebut, juga adanya petilasan di bagian belakang kompleks.
Tanda-tanda yang disediakan lebih berupa larangan: untuk tidak membawa masuk kendaraan, tidak memarkir kendaraan, tidak membuang sampah, atau mengharuskan pengunjung membuka alas kaki sebelum naik ke pendopo (artinya larangan menggunakan alas kaki ….).
Kompleks ini penuh simbol berkait dengan upaya mengenang Pak Harto. Hal ini tentu membutuhkan interpretasi bantuan agar pengunjung dapat memahami apa yang dimaksud oleh Memorial. Label yang cukup dan buku panduan akan sangat membantu.
[z]
Disinggahi