Perubahan Fisik dan Fungsi Bangunan di Kawasan Kotabaru
[]
I. Kotabaru, Kawasan Kolonial
Kotabaru adalah salah satu kawasan di Indonesia yang berkembang secara khas. Wilayah ini direncanakan untuk hunian masyarakat kolonial. Sejarah pemukiman ini dimulai ketika pada tahun 1917 residen Yogyakarta meminta sebuah wilayah di sebelah timur Sungai Code kepada Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Kawasan tersebut akan digunakan untuk pemukiman orang-orang Eropa yang sudah semakin banyak berdatangan di kota ini.
Secara umum, kawasan Kotabaru yang juga disebut dengan Nieuwe Europeesche villa-park dapat digambarkan sebagai berikut. Kawasan ini berpusat pada sebuah tempat terbuka di bagian tengah, yang sekarang menjadi Stadion Kridosono. Dari tempat ini, lima jalan utama menyebar ke barat daya, utara hingga timur. Di bagian selatan, seruas jalan pendek menghubungkan Kotabaru dengan Stasiun Kereta Api Lempuyangan. Di bagian utara hingga berhampiran dengan lembah Sungai Code di barat, terdapat rumah-rumah tinggal. Di bagian barat daya terdapat fasilitas peribadatan berupa dua buah gereja, yaitu Nieuw Wijk Katholieke Kerk (sekarang Gereja St. Antonius) dan Gereformeerde Kerk (sekarang Gereja HKBP) dengan beberapa fasilitas pendukungnya.
Di bagian tengah, dari barat hingga timur terdapat bangunan-bangunan sekolah di antara rumah-rumah tinggal. Sekolah-sekolah tersebut antara lain adalah Europeesche Lagere School (sekarang SD-SD Ungaran) di bagian barat, Algemeene Middelbare School(SMU 3), Normaalschool (SLTP 5), Christelijk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (SMU Bopkri I), serta di ujung timur adalah Keuchenius School dan Lands Jong School (sekarang ditempati Universitas Duta Wacana). Selain rumah tinggal, di Kotabaru juga didirikan berbagai sarana sosial. Di bagian timur terdapat rumah sakit Petronella yang sekarang merupakan RS Bethesda. Pemerintah juga menempatkan rumah sakit tentara (sekarang RS DKT), magazijn van oorlog, dan pos polisi di bagian timur Kotabaru.
Dari segi fisik, Kotabaru mencitrakan hunian kolonial yang telah berusaha berakomodasi dengan lingkungan setempat, baik lingkungan budaya maupun lingkungan fisik. Oleh karena itu, gaya bangunan lama di Kotabaru menunjukkan gaya percampuran antara Eropa dengan gaya setempat. Akomodasi dengan iklim misalnya ditunjukkan dengan langit-langit tinggi, meskipun bangunan kecil, pelubangan yang banyak (jendela, pintu, dan lubang angin), atap genting yang tidak terlalu curam. Dalam pengaturan tapak pun, rumah-rumah di Kotabaru memiliki kekhasan, yaitu menyisakan bagian depan dan belakang atau seringkali samping, sebagai ruang terbuka.
Para pemukim di Kotabaru pada masa awal, umumnya adalah para pegawai tinggi Belanda, seperti para administratur pabrik gula yang banyak terdapat di Yogyakarta. Pada masa awal kemerdekaan, wilayah ini juga bersejarah karena beberapa bagian kawasan atau bangunannya memiliki peran penting. Kemudian, pada masa sekarang, wilayah ini berada di tengah kota Yogyakarta, di lintasan yang menghubungkan simbol-simbol kota seperti kraton-Malioboro-Bulaksumur, sehingga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
II. Asesmen Perubahan
Perubahan orientasi nilai kawasan ini menyebabkan perubahan fisik kawasan Kotabaru. Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada bangunan-bangunan di Kotabaru, dilakukan pengamatan pada bagian fasad. Bagian ini dipilih karena penelitian dapat dilakukan secara cepat serta bagian fasadlah yang mewarnai kawasan dengan menonjol.
Dalam pengamatan, dibuat penilaian bangunan-bangunan tersebut, yaitu meliputi 1) lima kategori tampilan fisik: a) asli, dengan perkiraan bagian tersebut belum berubah, b) berubah sebagian kecil, c) berubah banyak akan tetapi unsur-unsur Kotabaru masih terlihat, c) berubah total tetapi bangunan baru masih diusahakan selaras dengan rona Kotabaru, dan d) berubah total tanpa mempedulikan lagi keselarasan dengan rona Kotabaru.
Dilakukan juga pengkategorian atas dasar 2) fungsi, yaitu: a) asli, dalam arti masih merupakan hunian atau fasilitas umum yang telah ada sejak awal, b) bertambah, berarti selain digunakan sebagai hunian juga digunakan untuk aktivitas lain, dan c) berganti, yaitu tidak lagi digunakan sebagai hunian. Kategori berikutnya adalah 3) jumlah lantai, yaitu: a) satu lantai, b) dua lantai, c) tiga lantai d) lebih dari tiga lantai. Peninjauan jumlah lantai ini berdasar asumsi bahwa dahulu semua bangunan di wilayah Kotabaru hanya memiliki satu lantai.
Masing-masing metode tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cara pengumpulan data semacam ini adalah dapat dilakukan dengan cepat. Akan tetapi, metode ini diikuti oleh beberapa kelemahan, yaitu karena dilakukan secara sekilas maka tingkat ketepatan menjadi berkurang. Kriteria kualitatif yang digunakan juga dapat menimbulkan keraguan: bagaimana sebenarnya sebuah bangunan yang disebut ‘asli Kotabaru’ dan dapat digunakan sebagai tolok ukur keaslian, serta apakah suatu perubahan dapat ditolerir sehingga dapat dimasukkan ke dalam berubah sebagian atau berubah banyak. Hal ini juga ditambah dengan kenyataan bahwa bangunan-bangunan di Kotabaru dibangun dalam rentang waktu yang cukup panjang dan didasarkan pada berbagai keperluan sehingga istilah ‘asli Kotabaru’ dapat memiliki bermacam-macam pengertian. Perubahan atau penambahan fungsi juga sering tidak terlihat dari penampilan fisik.
Dari penilaian cepat (rapid assessment) yang dilakukan pada bulan Agustus 2000 (Yogyakarta Heritage Trust/Yayasan Pelestarian Warisan Budaya Yogyakarta dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY), didapat hasil sebagai berikut.
1 | Tingkat keaslian | |
a. | Asli | 76 |
b. | Berubah sebagian kecil | 48 |
c. | Berubah sebagian besar | 40 |
d. | Berganti selaras | 72 |
e. | Berganti takselaras | 65 |
2. | Fungsi bangunan | |
a. | Hunian | 157 |
b. | Hunian dan lainnya | 26 |
c. | Bukan hunian | 117 |
3. | Jumlah lantai bangunan | |
a. | Satu lantai | 218 |
b. | Dua lantai | 65 |
c. | Lebih dari dua lantai, | 11 |
Jika dilihat dari data di atas, tinggal seperempat bagian dari total bangunan di Kotabaru yang diperkirakan masih menggunakan fasad asli serta seperempat lagi sudah mengalami modifikasi. Hampir separuh selebihnya, bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan baru. Hanya saja citra kawasan masih diuntungkan dalam pembangunan baru tersebut, karena separuh dari pembangunan tersebut masih diusahakan selaras dengan citra Kotabaru.
III. Pembahasan
Fungsi kawasan ini sudah bergeser dari dominan hunian menjadi bercampur dengan kegiatan bisnis. Hal ini juga diakibatkan dari berkembangnya daerah di utara dan timur laut Kotabaru, yaitu daerah Bulaksumur dan daerah Jalan Solo. Oleh karena itu, bangunan-bangunan di Kotabaru kemudian berkembang mengakomodasi kebutuhan bisnis. Pada masa awalnya kawasan Kotabaru digunakan untuk tinggal para pejabat atau pengusaha yang memiliki pabrik di luar kota, seperti terlihat dari tulisan ‘Huize Beran’ pada salah satu bangunan, maka kini para penghuni melakukan usaha di rumahnya di Kotabaru atau bangunan-bangunan tersebut sepenuhnya digunakan untuk melakukan usaha bisnis.
Jika dilihat dari lokasinya, perubahan fungsi (dan bentuk) menjadi tempat berusaha terutama terdapat di jalan-jalan utama di Kotabaru, seperti Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Suroto, Jalan Yos Sudarso, I Dewa Nyoman Oka, serta Jalan Abubakar Ali. Hal ini dapat dipahami karena di jalan-jalan tersebut terdapat banyak orang yang melintas dan menghubungkan wilayah-wilayah utama di Yogyakarta.
Sementara itu, perubahan fisik yang masih berkaitan dengan fungsi hunian tersebar hampir merata di seluruh kawasan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa di kawasan yang masih kental mempertahankan citra hunian tidak digunakan untuk fungsi lain. Papan-papan nama, yang relatif kecil, sering menandai perkembangan fungsi rumah-rumah tersebut.
Perubahan lain yang terjadi adalah pembuatan bangunan-bangunan baru pada beberapa lahan kosong. Hal ini terjadi misalnya pada sepanjang tepi Sungai Code di bagian barat kawasan. Pada sekitar akhir tahun 80-an atau awal 90-an, pinggir sungai tersebut digunakan untuk merelokasi para pedagang bunga dari sebelah utara Hotel Garuda. Hal ini ikut mengubah citra kota taman (garden city) yang mendasari perencanaan kawasan Kotabaru pada masa awal, yang memberikan cukup banyak ruang terbuka dan mempertimbangkan p(em)andangan ke arah lembah Code. Bangunan-bangunan baru ini umumnya berlantai dua, berderet-deret tepat di pinggir jalan, berfungsi sebagai toko bunga, dan oleh karena itu memiliki fasad yang jauh berbeda dengan yang umum terdapat di Kotabaru.
IV. Penutup
Akhirnya, melihat cukup banyaknya perubahan yang terjadi pada kawasan Kotabaru, perlu segera dilakukan tindakan-tindakan pelestarian. Jika tidak, maka Yogyakarta dikhawatirkan akan kehilangan satu kawasan yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana sebuah perencanaan dapat dilakukan, untuk dibandingkan misalnya dengan perencanaan-perencanaan kawasan perumahan pada masa sekarang. [z]
Rujukan
Dingemans, L.F. 1926. Gegevens over Jogjakarta 1926 A. Djogjakarta: H. Bunning.
Junawan, Muhammad 1998. “Kota Baru: Pola Pemukiman Masyarakat Belanda di Yogyakarta tahun 1899-1936”, Skripsi Sarjana, Jurusan Arkeologi, Fak. Sastra UGM, Yogyakarta.
Sumijati As dan Inajati A.R. 1996. “Kawasan Kota Baru: Alternatif Pengembangan Pariwisata di Yogyakarta”, Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora III. Yogyakarta: Panitia Dies Natalis ke-50 Fakultas Sastra UGM dan BPPF Fakultas Sastra UGM, hal. 394-400.
Surayati-Supangat dan Rita M. Setianingsih 1995. “Kota Baru: Kajian Awal tentang Kawasan di Yogyakarta”, Berkala Arkeologi, hal. 180-3.
Sektiadi, 2002.
Untuk situasi terbaru, silakan hubungi otoritas setempat seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY atau Dinas Kebudayaan DIY dan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Baca juga: Ruang Terbuka Publik