Bertani à la Ibu-ibu
Ibu si genduk dan kolega-koleganya di sekitar rumah lagi sibuk. Bukan arisan atau yang lain, melainkan ‘bertani’. Pemerintah mengintroduksi KWT, Kelompok Wanita Tani, kepada mereka. Saya tidak mengikuti dengan rinci apa itu dan apa kegiatan KWT. Yang saya tahu, aparat telah menjelaskan di kelompok PKK dan kumpulan pengajian ibu-ibu. Sementara itu, ibu-ibu juga melakukan kunjungan ke KWT di kecamatan lain yang dipandang berhasil.
Yang menarik bagi saya adalah komentar seorang tetangga. Gender tetangga ini kebetulan adalah laki-laki. Ketika istrinya bersemangat bercerita hal KWT itu, yang memanfaatkan pekarangan untuk bertani, ia berkata: jika mau, ambil di sawah, ada banyak sayur-sayuran … Bener juga… Lingkungan kami adalah petani. Nyaris semua tetangga adalah petani, baik pemilik sawah, penggarap, maupun buruh. Perkara sayur dan penanamannya bukan masalah bagi mereka.
***
Sedikit mencermati apa yang ibu-ibu itu (akan) lakukan, saya berpikir mungkin terdapat satu-dua hal tentang ‘petani ibu-ibu’ ini.
1 Menambah waktu produktif. Para ibu juga dapat menghasilkan sesuatu untuk membantu ekonomi keluarga. Hanya, sebenarnya semua ibu-ibu itu juga bekerja, baik di sawah maupun di pasar.
2 Memanfaatkan lahan atawa menambah ruang produktif. Tertulis di spanduk salah satu KWT: “Manfaatkan pekarangan sebagai lumbung pangan keluarga.” Dulu Presiden Soeharto konon berpesan, “Manfaatkan setiap jengkal tanah di desa dan di kota.” Pesan ini tertulis pada header rubrik menanam hortikultura majalah kesayangan saya sewaktu SD dahulu, Si Kuncung.
Yak, beberapa tetangga tidak punya cukup lahan untuk pertanian, dan halaman rumah yang sempit. Tetapi, sebagian lain masih memiliki lahan menganggur yang cukup luas sehingga rasanya tenaga para ibu saja tidak cukup untuk menangani. Jadi, heran juga melihat seorang tetangga menyiapkan lahan di depan rumahnya yang sempit untuk tanaman sayuran ‘KWT’, sementara di belakang rumah terdapat ratusan meter tanah kosong …
3 Memanfaatkan barang bekas dan sampah. Ibu-ibu kan penguasa rumah, mereka tahu barang mana yang masih digunakan atau akan dibuang. Para ibu di lingkungan kami ini terkesan dengan kelompok tani wanita yang telah didatangi karena mereka menggunakan barang bekas sebagai pot tanaman, hal yang selama ini kadang tidak terpikir. Para ibu dari desa saya kemudian bersemangat untuk mengelola lingkungan rumah mereka …
4 memperindah lingkungan. ‘Potisasi’ tanaman sayur kelihatannya menjadi hal utama, baik dengan polybag, kantung bekas minyak goreng, atau ember rusak. Mengapa juga harus dengan pot jika tanah dapat ditanami dengan mudah? Menghemat pupuk dan air? Memudahkan perawatan? Mungkin.
Mungkin juga potisasi adalah bagian dari memperindah lingkungan tempat tinggal. Dulu lingkungan sekitar rumah ditanami bebungaan. Berbeda dengan tanaman sayur, bebungaan sering ditanam dalam pot. Jadi, para ibu yang sudah terbiasa menanam bunga dalam pot sekarang akan mudah berganti dengan tanaman sayur.1
Berkaitan dengan hal ini, saya berusul kepada istri saya untuk menanam bunga yang juga bernilai sayur atau obat untuk KWT ini.2 Namun katanya sudah ditentukan dari sono bahwa salah satu tanaman yang harus para ibu tanam di lingkungan kami adalah merica. Konon, tanaman merambat ini cocok dengan tanah di lingkungan kami–meskipun seumur-umur belum pernah melihat tetangga menanam tanaman bumbon ini!
***
Kegiatan semacam ini mestinya customized bagi setiap lingkungan, atau bahkan bagi setiap ibu-ibu. Fokus kegiatan kelompok di kota tentunya berbeda dari kelompok di desa. Jika tujuannya subsisten, mencukupi kebutuhan sendiri dengan lumbung pangan keluarga itu, tentu akan bagus jika terdapat keragaman tanaman di antara para tetangga. Jika tidak, rumah tangga sekampung akan memasak terong atau sawi secara bersamaan …3
Berikutnya, pendampingan terus menerus juga diperlukan, karena kegiatan ibu-ibu ini terlihat hanya sampingan. Terdapat kemungkinan akan terjadi kegagalan karena kurang ‘profesional’ juga karena faktor ‘hangat-hangat tahi ayam’ sebagaimana lazimnya suatu proyek.
***
Memikir ulang hasil cermatan yang saya sampaikan di atas, saya menduga bahwa ini adalah semacam pertanian gaya ibu-ibu, atau pertanian feminim, atau apalah yang sebangsanya. (Mmm. Besok pagi ternyata Hari Kartini.) [z]
Catatan Kaki
- Juga dengan para-para untuk meletakkan kantung tanaman. Kelihatannya bukan untuk efisiensi tempat dan memudahkan perawatan tanaman, melainkan lebih ditujukan untuk memajang! [↩]
- Setelah saya inventaris, setidaknya kami telah memiliki tanaman kenikir (Cosmos caudatus), cikra-cikri (Polyscias fruticosa (L.) Harms), pandan (Pandanus amaryllifolius), lempuyang (selain untuk jamu, daun muda sangat enak untuk urap mentah, temu kunci (Boesenbergia pandurata), lidah buaya (Aloe vera), begonia, mangga, jeruk, rambutan, salam, melati (yang biasa dicampur pada teh) … yang semua dapat dikonsumsi baik sebagai bahan pokok maupun bumbu. Memang, penanganannya belum intensif, asal tumbuh saja. [↩]
- Dasa Wisma mungkin perlu direvitalisasi untuk hal ini. Setiap sepuluh rumah hanya perlu satu pohon belimbing wuluh, misalnya … [↩]