Uang Bagus
|
Kehebohan menjelang perayaan lebaran tidak saja urusan harga sembako yang naik dan masalah transportasi mudik sekaligus jalurnya yang dipertanyakan kesiapannya. Urusan yang kelihatannya remeh ternyata juga dapat menjadi masalah besar: penukaran uang baru, dalam arti uang yang masih bagus, bukan yang baru keluar dari percetakan.
Tradisi memberi uang kepada anak-anak pada saat lebaran bukan sekedar memberi uang nominal. Agaknya para orang tua tidak enak jika memberi uang lusuh meski untuk anak-anak. Meski mereka toh tidak akan meneliti uang seperti pedagang uang yang akan menukar dolar kita, namun senyum anak-anak menerima uang baru itu dirasa sangat menyenangkan.
Maka, menjelang lebaran orang-orang ramai antre di beberapa kantor bank untuk ‘membarukan’ uang. Uang yang sudah lusuh atau agak lecek ditukar dengan uang yang masih kinyis-kinyis. Uang itu masih ‘berbau uang’ dan bukannya berbau terasi. Di pinggir Jalan P. Senopati, Yogyakarta, juga ramai orang menjajakan uang baru bagi mereka yang malas antre di Bank Indonesia.
Biasanya para penukar hanya menukar dalam jumlah sekedarnya. Akan tetapi secara akumulatif ternyata besar juga. Terlihat di berita-berita bahwa di beberapa kota penukaran sehari dapat mencapai 4-5 milyar. Konon, BI Pekanbaru menyiapkan 70 milyar untuk penukaran angpau lebaran kali ini …1
***
Guru ekonomi saya sewaktu SMA dulu, semoga beliau dirahmati Allah, mengatakan bahwa terdapat hukum “bad money drives out good money”. Uang jelek mengusir uang bagus. Kita akan mengeluarkan uang jelek untuk keperluan transaksi, sementara uang bagus kita simpan. Maka, yang beredar senyatanya adalah uang jelek.
Akan tetapi, tentunya tidak jelek-jelek amat. Suatu ketika uang akan mampir ke bank. Uang yang secara fisik jeleknya tidak ketulungan akan dimusnahkan dan bank akan mengganti dengan uang bagus. Oleh karena itu, uang yang beredar tetap layak untuk dibawa dan dipertukarkan.
Dikaitkan dengan uang lebaran tadi, barangkali ungkapan guru saya tersebut benar jika anak-anak eman-eman membelanjakan uang baru mereka dan memilih menyimpannya … Bagi bank sendiri, penukaran uang ini menjadi kesempatan untuk menarik uang jelek dan mengganti dengan uang bagus. Jadi, uang bagus ada di masyarakat meski mungkin tidak dibelanjakan.
***
Suatu kesempatan saya pergi ke suatu pulau kecil berjarak dua puluhan jam dari ibukota provinsi menggunakan feri penyeberangan. Tidak terpencil sekali, kapal milik Pelni menyinggahi pelabuhan dua kali setiap pekan dan setiap hari terdapat penerbangan dari satu bandara kecil. Ibukota kabupaten berada di pulau tersebut sehingga terdapat keramaian pasar yang lumayan. Waktu itu uang yang saya bawa bukanlah uang baru, akan tetapi di tempat tersebut tetap paling ‘nggantheng‘. Setiap mendapat kembalian dari penjual, selalu uang kluwus …
Mungkin tidak ada tradisi memberi angpau uang baru di tempat tersebut …
***
Satu insiden kecil terjadi sewaktu saya dan beberapa teman pergi ke kompleks Candi Borobudur dengan menumpang mobil minibus. Sewaktu menerima uang parkir dari seorang teman yang mengemudi, si embak di loket parkir nyeletuk: “Wonge bagus kok dhuwite elek…”
Aiyah! Apa hubungane, Mbak? [z]
Catatan Kaki
- http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=62505. Update: orang BI yang diwawancara salah satu televisi, 26 Juli 2013, mengatakan bahwa BI menyediakan 9,7 trilyun rupiah untuk seluruh Indonesia. [↩]