Otentik atawa Aseli
|
Mampir ke rumah seorang kawan yang baru mudik dari Palembang, kami disuguh pempek yang maknyus. Jan maknyus. Tetapi tentu maknyus dengan catatan bahwa selera itu pribadi. Saya percaya bahwa pempek yang kami makan sore itu bercitarasa aseli Palembang-karena dibawa dari sana, dan suami teman saya itu urang Palembang.
Perkara apakah pempek dari teman saya itu dibuat dengan tapioka yang mungkin diimpor dari luar Palembang, lain masalah.
Hal itu sama ketika kami membicarakan kain jumputan. Kain ini dianggap sebagai salah satu hasil khas Palembang meskipun tidak mengandung gambar pempek atau Sungai Musi dan Jembatan Ampera.1 Teman kami bercerita bahwa ketika mencari kain tersebut tidak banyak terdapat sediaan di tangan pedagang yang dikunjungi. Di tempat tersebut hanya terdapat satu motif. Si penjual mengatakan bahwa para pekerja sudah mudik menjelang lebaran. Bukan ke OKU, Banyuasin, atau tempat lain, mereka mudik ke Jawa.
Jadi, kain jumputan Palembang itu dibuat orang Jawa di Palembang? Tetapi, tetap jumputan (dari) Palembang, kan?
***
Masalah otentisitas memang serba repot di zaman seperti sekarang yang tidak banyak memberikan sekat-sekat geografis. Gerakan manusia dari satu wilayah ke wilayah lain dengan mudah. Apalagi, dengan keunggulan berbeda di masing-masing wilayah–atau mungkin dapat dibaca sebagai ketimpangan antarwilayah–membuat satu benda dapat lebih murah dibuat di wilayah lain daripada dibuat di wilayah benda tersebut dicipta atau dibutuhkan.
Di sisi lain, wisata yang meskipun kian marak menjadi hal yang sedang ditimbang: apakah tidak cukup kita melihat melalui internet ketimbang mendatangi langsung tempatnya? Suvenir sebagai produk ikutan dari pariwisata pun ikut terimbas. Kita ingin suvenir yang aseli merupakan ciri khas tempat yang kita kunjungi, dibuat di tempat tersebut, dengan bahan dari tempat tersebut, oleh orang dari tempat tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, di Paris terjadi penyitaan besar-besaran atas produk suvenir menara Eifel yang palsu. Produk ini diimpor dari negara lain dan (akan) dijual di sekitar menara Eifel sebagai cinderamata. Mungkin banyak pengunjung yang tidak tahu bahwa benda yang mereka beli dianggap palsu, karena toh merupakan miniatur Menara Eiffel dan dibeli di sekitar menara. Perkara dibuat di Cina, bahkan di beberapa bandara di Eropa dipasang iklan produk Cina, antara lain adalah miniatur menara itu.
Saya sendiri sempat tercenung ketika satu setasiun televisi menyiarkan adanya ekspor keramik delf blue ke Belanda sebagai suvenir. Pasalnya, beberapa bulan yang lalu saya repot-repot mencari dan membawa keramik delf blue dari Amsterdam sebagai suvenir (sebenarnya Amsterdam juga bukan Delf). Jangan-jangan ada di antara gantungan kunci dsb itu yang berasal dari Purbalingga …
Berbagai aspek otentisitas dari cinderamata dan sebangsanya yang terlintas dalam pikiran adalah berkait dengan bentuk, tempat pembelian, produsen, dan budaya.
# Bentuk
Replika tempat kunjungan (ODTW) merupakan aspek yang cukup penting. Karena suvenir merupakan kenangan atas tempat kunjungan baik berupa atraksi maupun daya tarik lain. Oleh karena itu, benda-benda yang mereplika ODTW sering digunakan sebagai suvenir. Miniatur Candi Borobudur, misalnya.
# Tempat
Tetapi, kadang kita hanya menemukan suvenir sebagai ‘barang yang dibeli di tempat tersebut’. Boleh jadi suvenir menjadi produk lain tempat, lain negara dan kemudian dijual di tempat tersebut. ‘Membeli’ itu sendiri adalah pengalaman yang nyata, ditambah dengan lokasi yang otentik akan menyebabkan benda yang dibeli pun menjadi berharga, sebagai bukti dari pengalaman tersebut.
Benda yang dibeli belum tentu berkait dengan tempat, atau tidak ada ciri khasnya karena faktor tempat merupakan hal yang lebih penting. Jadi, masalah otentisitas kadang adalah masalah asal pembelian.
Seorang teman di Belanda yang akan pulang ke Indonesia membelikan titipan keluarganya yaitu tembakau, kopi, teh, dan coklat. Wah, rasanya semua barang tersebut produk Indonesia, setidaknya dalam bentuk bahan baku. Tidak ada perkebunan tembakau dsb di Belanda. Pabrik di Belanda (jika ada) tinggal memodifikasi atau mengemasnya. Masalahnya adalah tidak adanya identifikasi Indonesia pada produk-produk tersebut.
# Produsen
Benda diproduksi oleh orang di tempat tersebut. Boleh jadi bentuk suvenir tidak ‘aseli’ tempat pembelian. Seorang teman yang pergi ke Jepang pernah akan memberi saya oleh-oleh berupa benda elektronik kecil. Tetapi, setelah sampai ke Indonesia, benda tersebut tidak jadi diberikan kepada saya karena terdapat tulisan yang jelas “Made in Indonesia”.
Kaos Dagadu yang terkenal sebagai salah satu suvenir dari Yogyakarta itu mencantumkan tulisan “Aseli Bikinan Dagadu Jogja” pada desain-desainnya. Tidak dinyatakan bahwa kaos-kaos buatan mereka itu digunakan oleh orang Yogya. Untungnya, Dagadu masih setia dengan Yogya sehingga desain-desainnya mengambil aspek dari budaya daerah istimewa ini sehingga dapat menjadi suvenir yang ‘mewakili’ wilayah ini.
# Budaya
Paling komplet, original, dan sulit, menurut saya, adalah apakah suatu barang berasal dari budaya setempat. Benda tersebut bukan benda turistik melainkan diciptakan untuk kebutuhan setempat. Hanya, tingkat keaseliannya masih dapat dilihat secara bertingkat. Apakah memang dibuat di tempat tersebut?
***
Asli dari tempat yang dikunjungi merupakan syarat utama suvenir. Yang penting dibawa dari sono …. Banyaknya toko suvenir haji di berbagai tempat di Indonesia mempermudah para jemaah. Mereka dapat membeli suvenir bahkan sebelum berangkat. Akan tetapi jelas mereka tidak akan bercerita bahwa benda tersebut dibeli di pasar di sini. Bahkan, meskipun dibeli di Arab Saudi, banyak barang seperti parfum, sajadah, dlsb. itu kelihatannya juga bukan buatan Mekah atau tempat lain di wilayah padang pasir itu. Bendanya pun kadang tidak khas Arab Saudi.
***
Jika berkait dengan makanan, apa yang disebut aseli atau khas?
Bagi wisatawan yang datang ke Yogyakarta salah satu olih-olih yang diburu adalah bakpia. Jika ke Semarang, maka lumpia (sering ditulis juga loenpia) akan diburu. Jika dilihat, nama makanan-makanan ini menggambarkan asalnya dari Cina. Untung tidak digugat orang dari Negeri Tirai Bambu itu karena kita ‘mengklaim’ makanan mereka. Entah sengaja untuk membedakan dari aselinya atau tidak dahulu bakpia diberi nama tambahan ‘patuk’ atau ‘pathook’ di belakangnya mengingat pusat produksi yang terkenal berada di kampung di sebelah barat Malioboro itu. Jadi, para penduduk di daratan Asia itu akan sulit mengklaimnya karena ini bukan sekedar bakpia melainkan bakpia patuk. [z]
Baca juga:
Catatan Kaki:
- Jadi ingat ‘batik-instan daerah’ yang secara ‘semena-mena’ mengangkat benda khas daerah ke dalam rancangan batik. [↩]