Yogyakarta: Geografi, Budaya, dan Perubahan Sosial
[]
Disampaikan pada Virtual Study SMA Labschool Kebayoran, 23 Februari 2021.
Yogyakarta merupakan satu nama yang memiliki daya tarik yang cukup besar. Nama ini menjadi salah satu daya tarik wisata utama di Indonesia, daya tarik untuk belajar, dan istimewa…
Yogyakarta dapat berarti dua hal. Yang pertama adalah Kota Yogyakarta yang setingkat kabupaten, serta kedua adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan provinsi. Keduanya merupakan satuan administrasi. Dapat ditambahkan yang ketiga, yaitu nama kota sebagai suatu satuan geografis.
DIY
Provinsi ini terletak di sisi selatan bagian tengah Pulau Jawa, dengan ujung utara wilayah ini berada di puncak Gunung Merapi. Jadi DIY berbagi gunung ini dengan Jawa Tengah. Sisi selatan provinsi ini berada di tepi Samudera Hindia. Luas wilayah ini adalah 3185 km persegi, sekitar sepersepuluh luas Provinsi Jawa Tengah, namun hampir enam kali lipat luas DKI Jakarta.
Secara administratif, DIY terbagi dalam lima wilayah kabupaten/kota. Kelimanya adalah Kabupaten Sleman di sisi utara, Kabupaten Bantul di sisi selatan, Kabupaten Gunungkidul di sisi tenggara, Kabupaten Kulon Progo di sisi barat, serta Kota Yogyakarta di tengah, di antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
Fisiografi
Masing-masing wilayah nyaris memiliki karakter fisiografis yang berlainan.
Bagian utara merupakan kerucut gunungapi Merapi, yang oleh karena itu curam. Dataran aluvial, yaitu endapan sungai, membentang di sisi selatannya hingga melintasi kota Yogyakarta hingga menutupi sebagian wilayah Bantul.
Menerus di sisi selatan adalah dataran fluvial yang merupakan hasil endapan berbagai jenis aliran air. Wilayah ini meliputi Bantul dan sisi selatan Kulon Progo.
Di sisi barat terdapat Pegunungan Menoreh yang merupakan perbukitan dengan potensi air yang kecil, dengan tanah denudasional, artinya terjadi pelapukan dan erosi.
Di sisi timur terdapat pegunungan kapur atau karst, yang tandus. Pegunungan ini merupakan bagian dari Pegunungan Sewu yang membentang hingga ke Jawa Timur. Sisi utara kawasan timur ini terdapat Pegunungan Baturagung yang batuannya berciri gunungapi, dan di tengah terdapat Cekungan Wonosari yang relatif subur. Kota Wonosari terdapat pada bagian ini.
Kondisi tersebut di atas menyebabkan perkembangan kebudayaan yang spesifik di masing-masing wilayah.
Utara yang bergunungapi
Kita mulai dari bagian utara. Bagian ini merupakan kerucut gunungapi Merapi, yang tentu bersifat curam, hingga dataran aluvial yang lebih landai yang membentang di arah selatan, melintasi Kota Yogyakarta hingga menutupi sebagian wilayah Bantul.
Bagian utara, merupakan wilayah Kabupaten Sleman. Gunung Merapi yang terdapat pada bagian ini merupakan sumber batu andesit yang melimpah. Maka di wilayah ini terdapat sangat banyak peninggalan candi dari masa Klasik atau Hindu-Buddha, yang menggunakan batu andesit sebagai bahan bangunan. Sebagai contoh adalah Kompleks Candi Prambanan di sisi timur wilayah Sleman. Candi-candi di wilayah ini umumnya berkembang antara abad ke-8 hingga ke-11.
Masih berkait dengan material batuan, di masa kini tambang pasir menjadi lahan penghidupan banyak orang di sekitar Gunung Merapi, baik di Sleman, Klaten, atau Magelang.
Keberadaan Gunung Merapi juga menimbulkan kebudayaan spiritual. Maka muncul mitos-mitos juga upacara-upacara berkait dengan keberadaan dan sifat gunung api tersebut. Kita tahu bahwa gunung berapi ini sangat aktif, lahar dingin dan awan panasnya merupakan ancaman bagi masyarakat yang tinggal di lerengnya.
Sebagian penduduk mempercayai berbagai mitos misalnya tentang Kyai Petruk, penunggu Gunung Merapi. Warga kadang ada yang merasa diberi tanda olehnya jika gunung itu akan meletus.
Keraton Yogyakarta juga melakukan upacara di gunung tersebut, yang disebut labuhan, dan menunjuk seorang abdi dalem untuk “merawat” Gunung Merapi.
Tanah yang relatif subur, air mencukupi, membuat pertanian sawah berkembang di wilayah Sleman. Hanya, sekarang harus bersaing dengan pemukiman warga yang semakin menggerus tanah pertanian.
Urban Yogyakarta
Kota Yogyakarta yang berada di sebelah selatan Sleman memiliki kehidupan yang bersifat urban. Sawah dan lahan pertanian sudah sulit ditemukan di wilayah ini. Pemukiman telah merambah ke tebing-tebing sungai yang mengalir di kota ini.
Namun, Yogyakarta kota adalah wilayah “negara” dari kasultanan Yogyakarta. Negara dapat berarti kota. Wilayah ini dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755 untuk mendirikan ibukota baru setelah pecah dari Surakarta. Wilayah ini cukup datar, terdapat dua sungai yang mampu mengalirkan air hujan dengan baik sehingga kota tetap kering. Kraton didirikan di antara kedua sungai tersebut.
Karst yang kering
Kemudian, di wilayah timur atau tenggara, yang sebagian besar masuk ke wilayah Gunungkidul, terdapat pegunungan kapur atau karst, yang tandus. Pegunungan ini merupakan bagian dari Pegunungan Sewu yang membentang hingga ke Jawa Timur. Sisi utara kawasan timur ini merupakan Pegunungan Baturagung yang batuannya berciri gunungapi, dan di tengah terdapat cekungan Wonosari yang cukup subur.
Sebagian Gunungkidul merupakan wilayah karst dengan batuan kapur. Oleh karena itu, wilayah ini dikenal tandus. Berbagai upaya penghijauan telah dilakukan di wilayah ini.
Namun, pemukiman tua justru muncul di wilayah ini. Gua-gua di bukit kapur ini telah dihuni oleh manusia setidaknya 9000 tahun yang lalu, atau sekitar 7000 tahun sebelum masehi. Hal itu didasarkan pada kerangka manusia hasil ekskavasi arkeologis di Gua Braholo.
Berbagai tinggalan lain dari masa Prasejarah ditemukan di Gunungkidul, misalnya menhir di sekitar Sokoliman, dan kubur batu di Gunungbang yang merupakan hasil budaya megalitik. Pada budaya yang lebih tua, berbagai kapak batu paleolitik ditemukan di aliran Kali Oya, menandakan bahwa kawasan Gunungkidul telah dihuni sejak lama.
Perjuangan penduduk untuk hidup di daerah ini cukup berat hingga banyak di antara mereka yang sekarang pergi merantau. Tentu ada yang kenal kuliner bakmi jawa. Para perantau dari Gunungkidul inilah yang membawa kuliner ini ke seluruh negeri.
Penduduk Gunungkidul juga mengembangkan kerajinan. Tinggalan arkeologis berupa alat berburu dan pertanian dari bahan besi, antara lain merupakan temuan dari Kajar. Secara kebetulan, tempat ini masih mengembangkan kerajinan pande besi, hingga ibunda Barrack Obama membuat disertasi tentang ekonomi masyarakat pande besi ini pada tahun 1990-an.
Berbagai upacara berkembang di Gunungkidul, mungkin karena ketergantungan kepada alam sangat besar. Upacara tersebut misalnya adalah rasulan yang diselenggarakan hampir di setiap desa dengan sangat meriah. Para perantau sering memerlukan mudik untuk mengikuti acara tersebut. Terdapat kenduri dan berbagai pertunjukan dalam acara tersebut.
Fluvial di sisi selatan
Kemudian daerah subur di sisi selatan. Sebagian daerah subur ini masuk kawasan Kabupaten Bantul dan Sleman, sebagian berada di Kulon Progo. Sebagian di antara lahan landai itu digunakan sebagai lokasi bandara yang baru, Yogyakarta Internasional Airport.
Kawasan ini adalah dataran fluvial yang merupakan hasil endapan aliran air.
Untuk lahan subur di Bantul, Sleman, sebagian Kulon Progo, pertanian sawah menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Pada tanah yang datar ini dibuat beberapa saluran irigasi untuk mengalirkan air Sungai Progo.
Di sisi selatan Kulon Progo, dataran rendah yang sedikit ini dahulu merupakan rawa-rawa. Tanah ini dikeringkan pada masa Paku Alam V. Tanah ini sulit ditanami secara menerus karena kadang tergenang air, kadang kering sama-sekali. Penduduk kemudian mengembangkan sistem “surjan”, yang mengkombinasi antara tanaman yang tidak memerlukan banyak air dan sawah. Lahan dibuat serupa “gunung dan lembah”. Kombinasi ini seperti motif pada kain tenun bahan pakaian surjan yang dahulu biasa dikenakan.
Sumbu imajiner
Kembali ke peta DIY.
Keberadaan Gunung Merapi dan Laut Selatan (Samudera Hindia) di Yogyakarta ditanggapi secara simbolik. Terdapat garis imajiner yang terhubung di antara keduanya, melewati keraton di kota. Di kota pula, keberadaan keduanya dipertegas dengan adanya tugu di sisi utara dan bangunan yang disebut Panggung Krapyak di sisi selatan.
Garis ini sedang diupayakan untuk mendapat pengakuan sebagai Warisan Dunia dari Unesco.
Sebagai pangkal selatan dari garis ini, terdapat Kawasan Parangkusumo di dekat pantai terkenal Parangtritis. Seperti di utara, yaitu di Gunung Merapi, di titik selatan ini pun Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara labuhan setiap tahun bertepatan dengan peringatan bertahtanya sultan.
Stratifikasi sosial
Melanjutkan tentang keraton.
Seperti telah disebut, terdapat keraton di tengah kota Yogyakarta yang berdiri tahun 1755. Lembaga ini sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Berbagai unsur sosial budaya dipengaruhi oleh keberadaan keraton sehingga menciptakan bentuk-bentuk khas, termasuk stratifikasi sosial.
Mengacu kepada keraton, maka terdapat golongan bangsawan, yaitu mereka yang memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan sultan, golongan abdi dalem, yaitu mereka yang menjadi pegawai keraton, serta masyarakat selebihnya. Sultan berada pada puncak stratifikasi sosial ini.
Para bangsawan dan abdi dalem memiliki ciri yang membedakan dari masyarakat kebanyakan, seperti gelar kebangsawanan. Mereka juga diatur untuk boleh atau tidak boleh mengenakan pakaian motif tertentu, memiliki kewajiban terhadap keraton, serta biasanya masih memelihara bahasa dan tata krama tertentu.
Pakaian yang khas para abdi dalem, tentu merupakan sesuatu yang”tidak sengaja” dipertontonkan ketika mereka pulang atau pergi ke kraton. Mereka jelas membawa tanda-tanda bahwa mereka adalah orang dari lapisan sosial tertentu.
Di masa lalu, para bangsawan tinggal pada kompleks bangunan tertentu yang disebut dalem, yang terletak di sekitar keraton, baik di dalam maupun di luar benteng.
Interaksi sosial di antara masyarakat cukup cair, orang bisa menikah antarstrata meski untuk menikahi putri sultan tentu ada tata cara yang harus ditempuh. Strata lebih bawah tentu akan merasa segan atau sungkan pada strata di atasnya. Mereka misalnya akan berbicara dengan bahasa yang lebih halus, mendahulukan yang statusnya lebih tinggi untuk berbagai hal, tidak duduk di barisan depannya atau di tempat yang lebih tinggi, misalnya.
Yogyakarta yang dinamis
Jika tadi kita membicarakan hal-hal yang lebih bersifat tetap, tradisi, sekarang kita bicarakan perubahan. Ada banyak faktor penyebab perubahan pada suatu masyarakat, namun kali ini kita batasi tentang pariwisata dan pendidikan.
Pariwisata yang mengubah
Yogyakarta, karena budaya dan kemudian karena alamnya, menjadi daerah tujuan wisata yang cukup menonjol di Indonesia. Pariwisata telah berkembang di Yogyakarta sejak masa Kolonial, dan akhir-akhir ini sangat intensif.
Jika mulanya hanya objek-objek menonjol yang menjadi daya tarik, seperti keraton, Malioboro, dan Candi Prambanan, maka sekarang sudah masuk ke desa-desa. Di Sleman misalnya, setiap kecamatan membuat setidaknya satu desa wisata, yang sayangnya belum tentu berhasil berkembang.
Akhir-akhir ini terdapat puluhan objek wisata yang berkembang akibat mengait dengan media sosial, yaitu objek wisata yang instagramable.
Akibat dari pengembangan pariwisata adalah munculnya beberapa hal sebagai berikut.
- Atraksi (objek/daya tarik, termasuk makanan, kesenian)
- Akomodasi (hotel, wisma)
- Amenitas (restoran, toko cendera mata, fasililitas ibadah)
- Aksesibilitas (transportasi)
- Para pekerja wisata (formal, informal)
- Para wisatawan (dalam negeri, luar negeri)
Mau tidak mau, perkembangan dan interaksi di antara komponen-komponen tersebut akan berpengaruh terhadap berbagai hal, termasuk perilaku.
- Apropriasi/memantas-mantas (lebih ramah, lebih tradisional)
- Peningkatan kemampuan (bahasa asing, media sosial)
- Perubahan gaya hidup (dalam komunikasi, transaksi, pakaian)
- Cara hidup/mata pencaharian (pendapatan dan kualitas hidup)
- Interaksi dalam masyarakat (keluar dari ikatan tradisional)
- Nilai-nilai dalam masyarakat (lebih permisif)
Pendidikan yang unggul
Faktor pengubah rona Yogyakarta berikutnya adalah Pendidikan.
Yogyakarta mendapat sebutan Kota Pelajar karena di tempat ini berdiri beberapa perguruan tinggi sejak awal (bahkan sebelum) Kemerdekaan. UII mendahului berdiri (1945), dan kemudian disusul UGM (1949). Berikutnya dapat disebut Akademi Seni Rupa Indonesia (1950), Akademi Seni Musik Indonesia (1956), Akademi Seni Tari Indonesia (1963), yang kemudian tahun 1984 bergabung menjadi Institut Seni Indonesia. IAIN yang kini menjadi UIN Sunan Kalijaga (1951), dan IKIP Yogyakarta yang sekarang menjadi UNY (1964).
Perguruan-perguruan tersebut pada masa silam telah menjadi perguruan terkenal di Indonesia yang membuat para orang tua mengirim anaknya untuk belajar di Yogyakarta.
Di tahun 1970-an, angkutan umum di kota Yogyakarta bahkan diberi nama “Kol Kampus”, menggunakan mobil Mitsubishi Colt yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang. Hal ini menandakan bahwa kampus menjadi sentral pada masa itu. Angkutan umum pertama ini melayani warga kampus daripada kegiatan komersial seperti perdagangan.
Namun, tantangan yang dihadapi sekarang membuat julukan Kota Pelajar ini dipertanyakan. Kota bergerak ke arah komersial yang dianggap tidak selaras dengan pendidikan. Yang menonjol bukan gedung-gedung universitas, melainkan mal, hotel, apartemen. Pariwisata juga berkembang pesat, sebagaimana telah disebut di depan, menenggelamkan aura pendidikan kota ini.
Ongkos hidup, dengan kondisi tersebut menjadi semakin naik. Harga tanah semakin mahal, apartemen, kos eksklusif, kafe dan restoran bertebaran menggantikan rumah kos dan warung-warung yang dahulu mencatu mahasiswa.
Sementara itu, perguruan tinggi muncul di berbagai daerah di Indonesia, bahkan rasanya di Jawa nyaris semua kabupaten memiliki perguruan tinggi. DKI Jakarta memiliki jumlah perguruan tinggi dan pelajar yang lebih banyak, Bandung banyak menyetor PT pada perankingan internasional.
Biaya pendidikan mestinya juga semakin mahal di kota ini.
Secara faktual, Yogyakarta masih memiliki sangat banyak lembaga pendidikan. Terdapat 127 Perguruan Tinggi di tahun 2019, dengan lebih dari 400 ribu mahasiswa. Bandingkan dengan jumlah penduduk yang 3,7 juta jiwa, maka jumlah itu cukup signifikan.
Banyak perguruan tinggi di Yogyakarta juga masih menjaga kualitas dengan baik. UGM, meski sering berebutan dengan UI dan ITB, masih menduduki ranking teratas dalam dunia pendidikan di Indonesia. Universitas ini bahkan pernah menduduki posisi enam belas besar dunia di bidang humaniora dan seni.
Pada daftar 200 besar PT di Indonesia versi Unirank tahun 2021, 13 di antaranya berasal dari Yogyakarta. Hal itu berarti sekitar 10 persen dari keseluruhan PT di Yogyakarta masuk ranking.
Beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta tidak memiliki prodi dengan akreditasi C, semua A atau B. Hal ini menunjukkan kualitas yang masih baik.
Fasilitas kota tidak hanya gedung perguruan tinggi yang menunjang keberadaannya sebagai Kota Pelajar. Terdapat banyak lembaga studi, penerbit, toko buku, perpustakaan, yang mendukung.
Sementara itu, akomodasi untuk mahasiswa sebenarnya masih dapat terjangkau. Masih banyak rumah kos dan warung yang “harga mahasiswa”.
Tentu sulit mendapatkan pembenaran hanya dengan membandingkan fasilitas kota. Barangkali, perlu ditambahkan lagi satu parameter, yaitu budaya. Pelajar datang ke Yogyakarta bukan hanya tertarik pada ilmu-ilmu yang ditawarkan oleh perguruan tinggi, tetapi juga dengan masyarakatnya, dengan budayanya. Para orang tua ingin pendidikan yang menyeluruh bagi anak-anaknya, bukan hanya keilmuan tetapi juga perilaku dan sosial/budaya.
Sebagai tambahan, tidak sedikit dari mereka yang datang ke Yogyakarta akhirnya lebih memilih untuk menetap setelah lulus dari pendidikan yang ditempuh, daripada kembali ke tempat asal. [z]