Pengembangan Konten Media Sosial Bertema Warisan Budaya
[]
Versi teks dari materi yang disampaikan dalam “Sharing Session: Konten Kreator Vlog Warisan Budaya Majapahit”, diselenggarakan oleh Mandala Majapahit se-Indonesia, 9 April 2021. Saya berterima kasih kepada penyelenggara, pembicara lain (Mas Irwan dan Mas Tito Suryawan), dan para peserta yang inspiratif.
Sebagai “Generasi X”, saya tidak terampil dan berpikiran seperti pembicara lain yang kelihatannya memang lahir digital. Saya lebih “old-school” dalam bermedia sosial, tidak telaten membuat video, dan lebih mengandalkan blog yang mengutamakan teks. Maka, saya akan membahas masalah ini dengan memberikan pandangan yang lebih superfisial dalam beberapa poin sebagai berikut.
1. Media Sosial
Perkembangan teknologi dan sosial sekarang sampai kepada pemanfaatan media sosial sebagai sarana berhubungan dengan sesama. Media sosial tidak saja digunakan untuk “ngobrol” berbincang antarindividu, tetapi sudah menjadi sarana komunikasi yang lanjut seperti menjalin hubungan, pemasaran, dan pembangunan citra. Para pengguna media sosial dapat saling berinteraksi, membangun isi bersama, serta berbagi.
Hal ini semestinya juga ditangkap untuk pelestarian warisan budaya. Bukan hanya jumlah pengguna yang semakin membesar, berbagai kemugkinan juga membuat media sosial akan efektif untuk pelestarian. Beberapa di antaranya adalah sifat partisipatoris, inklusif, serta repositoris.
2. Partisipatoris
Internet dan khususnya media sosial memungkinkan berkembangnya budaya partisipatoris. Semua orang dapat menjadi produsen atau kontributor atas pengetahuan kumulatif. Sebagian pengguna memang memanfaatkan Internet untuk mencari sesuatu, tetapi lama-kelamaan mereka juga menyetor banyak hal, baik disadari maupun tidak. Web 2.0 memungkinkan warga untuk ikut membangun pengetahuan yang kemudian disebut user-generated content.
Berbagai aplikasi yang dikembangkan berbasis Internet juga merupakan media sosial, tempat para warga Internet, disebut netizen, saling memberi komentar dan review atas berbagai hal. Jika ingin menggunakan suatu produk, netizen akan melihat dahulu review warga lain sebelum memutuskan. Review ini dilakukan oleh sesama warga, yang mungkin sebaya, atau sesama milenial, sebagai peer reviewer.
- Baca juga: Museum Virtual untuk Generasi Milenial
3. Inklusif
Internet ini juga membuat target yang dapat dijangkau oleh aktivitas-aktivitas pelestarian warisan budaya menjadi lebih banyak. Pelestarian sendiri sekarang juga bersifat inklusif, melibatkan dan ditujukan untuk sebanyak mungkin warga.
Aspek partisipatoris dan inklusif ini juga merupakan dasar dari pengelolaan warisan budaya. Wiki merupakan contoh kolaborasi-partisipatif yang dapat dilakukan oleh warga Internet untuk bekerja sama membangun pengetahuan.
4. Terbarukan
Dengan partisipasi publik, dan kemudahan pengelolaannya, media sosial membuat kabar-kabar terbaru dapat muncul, kadang real time (pada waktu yang sama). Media utama (mainstream) sering mengalami jeda dalam menyampaikan berita karena prosesnya (editing, cetak atau siar), sementara media sosial dapat digunakan oleh warga untuk menyampaikan berita pada saat itu juga melalui fasilitas Internet pada smartphone mereka.
5. Repositori
Aspek lain yang luar biasa dari Internet (dan media sosial) adalah kemampuan untuk menstrukturkan, menyimpan, dan mendiseminasi gagasan. Dengan menuliskan pada blog, misalnya, gagasan yang muncul dengan ruwet dan tidak jelas di pikiran, dapat dibuat lebih tertata. Gagasan itu yang mungkin sudah ditata itu dapat tersimpan dan terawetkan, juga dapat dibaca oleh warga lain. Pada gilirannya, warga mungkin akan menanggapi langsung atau menjadikannya seabgai sumber inspirasi.
6. Para pemangku
Dalam pemanfaatan kemajuan teknologi informatika ini, berbagai stakeholder dapat mengambil peran masing-masing untuk pelestarian warisan budaya. Dalam hal ini dapat diidentifikasi tiga stakeholder, yaitu lembaga pelestarian, kreator konten, serta publik.
Lembaga pelestarian, yang umumnya dimiliki oleh pemerintah, dapat memberikan akses kepada publik, baik berupa data maupun akses fisik agar dapat mengembangkan konten media sosial mereka. Lembaga-lembaga ini juga dapat menggairahkan perkembangan media sosial dengan misalnya membuat lomba dan penghargaan kepada konten terkait dengan warisan budaya. Tentu, lembaga pelestarian juga dapat (atau malah harus) bermedia sosial. Lembaga-lembaga semacam ini memiliki cukup banyak sumber daya untuk mencipta konten dan mendiseminasinya.
Kreator konten, yaitu para netizen yang sengaja mengembangkan konten seperti vlogger, blogger, atau yang lain, perlu mempelajari teknik-teknik pembuatan konten dan kemungkinan untuk memanfaatkan media sosial dalam menyampaikan konten yang dibuatnya.
Salah satu yang perlu dipegang oleh para kreator konten ini adalah “menjadi orisinal”. Jika mereka adalah masyarakat, maka pengalaman dan pandangan masyarakat selayaknyalah yang muncul dalam konten.
Para kreator konten juga perlu memanfaatkan data yang diseminasi oleh instansi, baik instansi penelitian maupun instansi pelestarian. Hal ini akan dapat memperkaya konten, dan mengontrol agar dapat menyajikan informasi yang “benar” dan dapat diterima masyarakat.
Publik juga dapat membuat konten sendiri, memanfaatkan konten yang telah dibuat, berinteraksi dengan konten-konten tersebut. Mereka juga dapat berinteraksi dengan pembuat konten, dan dengan publik lain yang dijembatani dengan media sosial.
7. Kerjasama
Kerjasama di antara ketiga pihak, yaitu lembaga pelestarian, kreator konten, dan publik sangat diperlukan untuk dapat mengembangkan materi-materi yang dapat bernuansa pelestarian (pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan), dapat bersinergi untuk mendatangkan hasil yang lebih optimal dengan memaksimalkan potensi dan kekhasan masing-masing.
Berbagai kesulitan yang dialami oleh masing-masing stakeholder diharap dapat diatasi dengan kerjasama. Institusi pelestarian, yang umumnya memiliki kendala dalam mengelola konten-konten digital karena berbagai batasan, namun memiliki keleluasaan dalam pendanaan dan data. Warga yang pencipta konten biasanya memiliki kreativitas, namun terbatas dalam pendanaan dan data. Sementara publik memiliki kekhasan sebagai penikmat dan juga pembuat konten yang bersifat sukarela. Sifat-sifat ini dapat dikolaborasikan untuk menghasilkan konten yang berguna untuk pelestarian dan tentunya untuk publik.
Kerjasama juga akan dapat menghilangkan berbagai gesekan atau hambatan, dan mencipta kesepahaman untuk bersama-sama melakukan pelestarian warisan budaya. [z]
Baca juga: website museum