Memotret adalah Menonton
\
Menjadi fenomena di masa kini, bahwa setiap ada acara tertentu digelar, terutama berkait dengan seni dan budaya, berkerumun orang mengacungkan kamera. Para penonton yang ingin menikmati acara tersebut boleh jadi agak terganggu. Hal ini juga yang menjadi salah satu sebab banyak museum melarang pengunjung memotret pameran.
Dapat dikatakan sekarang semua orang memiliki kamera. Dari yang canggih hingga yang sederhana di telepon genggam. Terdapat juga konvergensi digital yang memungkinkan viewing, editing, dan sharing dengan mudah. Maka, tidak heran di setiap suatu event digelar selalu terdapat para pemotret, dari amatiran hingga profesional. Yang profesional, barangkali dapat dimaklumi, ini kan profesi mereka–yang darinya mereka mendapat duit. Yang amatiran, seperti saya?
Rasanya, mendapatkan gambar yang bagus bukanlah tujuan utama dari para pemotret amatir, yang datang sebagai turis. Jika menghendaki gambar yang bagus, kita dapat memperolehnya dari para pemotret profesional.
Saya pikir, para pemotret amatir bin turis mencoba memperpanjang usia penikmatan pengalaman mereka. Dahulu mereka hanya dapat menikmati suatu event onsite, di situ pada waktu itu, tetapi sekarang pengalaman itu dicoba diperpanjang hingga sampai di rumah, bahkan hingga dipamerkan ke orang lain secara langsung maupun melalui jejaring sosial.
Jadi, bukan perkara mendapatkan foto yang bagus untuk kemudian menjadi bahan dokumen, bahan analisis, dan sebangsanya. Akan tetapi lebih merupakan aktualisasi dari pengalaman (atau mengalami peristiwa) menonton suatu acara.
Mungkin.
Mungkin juga di masa mendatang terdapat larangan untuk memotret pada acara tertentu. Di acara-acara wisuda biasanya terdapat larangan untuk memotret–karena sudah disediakan pemotret profesional. Bayangkan jika masing-masing wisudawan memiliki seorang yang mendampinginya sebagai pemotret. Tentu akan riuh barisan didepan panggung oleh para pemotret. [z]