Eksekutif
[]
Saya senang Stasiun Tugu antara lain karena ada wifi gratis sembari menunggu kereta. Di tempat yang bukan merupakan habitat saya ini, pikiran sering kemana-mana di samping badan pun juga sedang akan kemana-mana. Maka, biasanya di stasiun ada banyak hal yang muncul di kepala untuk ditulis dan dibagi di blog.
Kali ini melintas di pikiran saya mengapa kelas kereta api di Indonesia disebut eksekutif, ekonomi, dan bisnis. Di Belanda rasanya ada kelas 1 dan 2 pada setiap rangkaian kereta reguler. Memang ada kereta antarnegara yang lebih mewah, yang entah apa nama kelasnya. Pada sepur Sprinter yang berjarak dekat itu terdapat kelas satu di bagian depan gerbong dengan warna kursi merah, sementara kelas dua berkursi biru terletak di belakangnya, kadang pada gerbong yang sama.
Memperhatikan pembagian kelas kereta itu, saya ingat bahwa dahulu sewaktu di SMP diajari adanya trias politika. Gagasannya adalah memisahkan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kira-kira, ketiganya berarti pembuat (peraturan), pelaksana, dan pengawas.
Berbeda dari trias politika yang menempatkan masing-masing pihak secara setara, maka trias kereta merupakan perbedaan kelas. Perbedaan ini tercermin dalam fasilitas yang didapat. Jika duduk dalam gerbong kereta eksekutif, misalnya, maka tempat duduk lebih nyaman (di depan tertulis kapasitas lima puluh penumpang per gerbong). Kereta eksekutif juga dapat sampai lebih cepat ke tujuan ketimbang jenis lain, karena mendapat prioritas. Kereta ekonomi akan menepi di stasiun dan mempersilakan kereta ini lewat jika kebetulan akan menggunakan satu penggal rel yang sama.
Kelihatannya begitu. Namun, kereta yang saya tumpangi ini ternyata juga pernah berhenti di salah satu stasiun, menunggu kereta ekonomi lewat. Mungkin kereta yang berpapasan itu lebih dulu masuk ke jalur.
jug gicak gicuk gicak gicuk …
kereta berhenti …
***
Pembagian tiga ini juga terjadi pada moda angkutan pesawat terbang. Namun, sekarang konon banyak maskapai penerbangan yang menghilangkan kelas eksekutif dan hanya berujung pada kelas bisnis. Mungkin kini para eksekutif sudah tidak semakmur dulu sehingga tidak lagi mampu numpang di kelas yang diperuntukkan bagi mereka.
Bis juga sering mencantumkan tulisan “eksekutif”, pada bodi samping. Tidak tahu, apakah hal itu benar-benar penunjuk kelas atau hanya gaya-gayaan. Saya juga belum tahu apakah juga ada bis kelas bisnis, sementara di jalan sering berseliweran bis bertulis “ekonomi ac”.
Eh, tapi ternyata masing-masing kelas kereta itu masih terbagi dalam empat sub-kelas. Menurut mbak-mbak yang melayani penjualan tiket di Gamawisata, perbedaannya hanya pada masalah posisi gerbong pada rangkaian.
***
Nah, pertanyaannya adalah kenapa yang tertinggi disebut eksekutif, yang menengah adalah bisnis, dan terendah adalah ekonomi. Yang terakhir ini lebih mudah dipahami karena mungkin berkait dengan kata ekonomis yang berarti ngirit. Namun, perlu diingat bahwa Fakultas Ekonomi biasanya merupakan fakultas ‘elite’ di suatu kampus.
Berkait dengan eksekutif, mungkin pernah suatu ketika para eksekutif menempati pucuk piramida sosial kita, baru disusul oleh para pebisnis. Di tahun ’80-’90-an dulu ada radio di Yogyakarta yang menyapa pendengarnya dengan sebutan “eksekutif dan intelektual muda”. Entah sekarang, sudah lama saya tidak mendengarkan radio. Tentunya sapaan “eksekutif” di situ adalah dalam konotasi baik. Sapaan dan predikat semacam itu tentu dalam tujuan menyanjung. Namun, belum tentu menggambarkan kenyataan.
Jika ada iklan lowongan pekerjaan sebagai “sales executive” “executive marketing“, berarti yang dibutuhkan adalah mereka yang langsung melakukan pemasaran dan bertemu konsumen.
***
Secara historis, pemisahan kelas gerbong sudah terjadi sejak kereta api dikenalkan sebagai transportasi penumpang. Menurut penelitian teman saya, Riris Purbasari, waktu dia bikin skripsi dahulu, pada masa Kolonial orang kulit putih mendapat tempat tersendiri di ruang tunggu. Saya tidak tahu bagaimana di kereta, apakah di gerbong tersendiri, atau malah kereta yang berbeda, dan apa nama kelasnya, jika ada. [z]