Nyadran
Semua tempat di Jawa, mungkin, minggu-minggu ini sibuk dengan nyadran. Ritual ini dilakukan menjelang bulan puasa yaitu pada bulan ruwah. Acara umumnya adalah pergi ke makam.
Ada beragam cara untuk melaksanakan nyadran. Umumnya orang menyempatkan diri pergi ke makam keluarganya. Mereka membersihkan makam dan berdoa. Kadang disertai tabur bunga atau bahkan ada yang membakar kemenyan.
Di Yogyakarta, rasanya juga di beberapa tempat lain, umum orang membuat apem pada saat nyadran. Menurut tradisi, keluarga tidak boleh pergi ke makam sebelum membuat apem. Sebenarnya tidak hanya apem yang dibuat, namun juga nasi ketan dan kolak ketela. Sebagian apem diberi lapisan daun dadap srep. Para warga dapat membuat sendiri-sendiri di rumah. Namun karena dianggap repot–dan tidak setiap orang biasa membuat apem, di samping mungkin tidak memiliki wajan khususnya, maka beberapa kampung mengorganisir warganya untuk membuat apem bersama. Lebih praktis lagi, orang dapat memesan atau membeli apem di pasar. Maka, penjual apem yang terkenal itu di Pasar Ngasem, hari-hari ini kebanjiran order. Orang harus mengantri cukup panjang di depan lapaknya untuk mendapatkan apem.
Mengapa apem? Saya gelagepan juga ditanya sewaktu menghadiri suatu acara ngapem. Saya tahu bahwa ada yang menghubungkan istilah ketan, kolak, dan apem, dengan kata-kata arab, namun saya pikir itu hanya karena dicari penafsirannya. Mungkin makanan-makanan itu sudah ada jauh sebelum mendapatkan pengaruh arab. Apem, misalnya, mungkin merupakan makanan impor kita dari india selain martabak karena di sana terdapat dijumpai makanan yang mirip dan bernama appam!
***
Salah satu acara nyadran yang saya saksikan, di sebuah desa, dimulai pukul 09.00 tepat. Acara diawali dengan pembacaan ayat suci al Quran, diikuti sambuatan kepala dusun sebagai wakil panitia. Acara ‘dihentikan’ sejenak karena panitia membagikan minum dan nasi kotak. Setelah selesai makan, kira-kira, sambutan dilanjutkan oleh Pak Camat. Kemudian, pengajian oleh kyai setempat yang dimulai kira-kira pukul sepuluh pagi dan memakan waktu kurang lebih setengah jam. Setelah itu, dilaksanakan acara inti yaitu tahlil yang dipimpin oleh kyai setempat yang lain. Tahlil diakhiri pukul 10.40 disusul dengan pembagian keranjang berisi makanan kepada para seluruh hadirin bahkan anak-anak yang berkerumun. Sebagai akhir acara, pak kyai yang tadi berceramah kembali tampil membaca doa.
Sebelumnya, para warga telah datang sejak pagi, boleh jadi sebelum jam delapan. Mereka tidak hanya warga setempat namun juga dari desa lain. Beberapa juga merupakan undangan khusus. Mereka yang datang membawa uang sumbangan yang diberikan kepada panitia–ada meja penerima sumbangan. Yang datang kadang juga membawa keranjang berisi makanan ‘standar’, atau kardus berisi makanan kecil. Mereka yang membawa makanan ini akan diberi kembali satu keranjang makanan. Umumnya mereka membawa lebih dari satu keranjang, biasanya tiga. Keranjang-keranjang inilah yang akan dibagikan kepada hadirin.
Makanan untuk isi keranjang ini seperti umumnya masyarakat di tempat tersebut menyiapkan makanan untuk berbagai keperluan seperti kenduri dan ater-ater. Nasi, lauk daging ayam, peyek-krupuk, tempe kemul, jangan kentang, jajan pasar, dan sebangsanya.
Panitia juga membagikan keranjang makanan kepada orang-orang tertentu, umumnya orang terpandang di masyarakat. Keranjang ini langsung diantar ke rumah. Konon makanan keranjang yang untuk ‘punjungan‘ itu dipesan secara khusus sehingga isinya lebih ‘baik’.
***
Pak kyai tadi menekankan nilai religi dari acara nyadran ini, juga masalah kontroversi yang berkembang di masyarakat. Namun hal-hal itu tidak menjadi fokus perhatian saya kali ini.
Saya mencoba mengamati dari sisi lain. Yang pertama menarik bagi saya adalah kenyataan bahwa para warga mengenakan pakaian terbagus mereka. Bahkan, rasanya hanya saya yang bersendal jepit meski sudah kuusahakan agar tidak mengenakan sandal seperti yang bermerek swallow. Agak bagus dikit, karena akan bertemu dengan orang lain dalam situasi agak formal.
Berangkat dari itu, saya melihat nyadran juga bernilai ekonomi dan sosial. Dari sisi ekonomi, nyadran membuat seluruh warga berbelanja sejumlah bahan makanan demi dapat membawa tiga keranjang makanan ke makam. Masing-masing keranjang dapat berharga 15-20 ribu rupiah. Belum lagi terdapat acara makan bersama sehingga masing-masing rumah tangga mendapat jatah untuk membuat beberapa kardus makanan berat.
Tetangga saya pun panen pada bulan ruwah seperti ini, karena ia berjualan keranjang bambu.
Nilai ekonomi juga terlihat dari sumbangan yang diberikan oleh warga, di tempat penyelenggaraan–karena sebagian sumbangan juga sudah dikeluarkan dan dikelola oleh warga untuk penyelenggaraan. Pada acara kali ini terdengar diumumkan bahwa sumbangan mencapai delapan juta rupiah.
Nyadran juga sering membuat adanya perjalanan mudik. Mudik saat nyadran sering kali tidak dapat ditawar dan warga di perantauan merasa harus melakukannya di samping mudik lebaran. Meski tidak seheboh mudik lebaran, mudik saat nyadran pun dapat bermakna ekonomi bagi warga. Mereka yang mudik dari kota sering mendatangkan tetes rupiah pada keluarga atau warga desa.
***
Nilai sosial terlihat dari kehadiran semua warga ke kompleks makam, bahkan warga dari desa lain dan para tetamu undangan. Pada jalan masuk ke tempat acara, berderet para tokoh masyarakat menyambut tamu. Di samping ucapan selamat kepada penyelenggara dan warga pada umumnya, Pak camat berpidato tentang program dari instansinya juga menghimbau akan kerukunan warga.
Nyadran keluarga, yang diselenggarakan oleh keluarga, pun, dapat merekatkan hubungan sosial. Orang kemudian tahu silsilah keluarga. Pada saat nyadran seorang kolega saya bertemu dengan saudaranya yang belum dikenal karena mendatangi makam yang sama. Dan mereka yang mudik tadi, akan menjalin lagi tali temali persaudaraan dengan keluarga besarnya yang mungkin telah lama terpisah.
***
Begitu (dulu). [z]