Dirundung Perundungan
/
Perundungan. Kata ini rasanya baru terdengar oleh saya kemarin pagi, pada judul berita di layar televisi. Saking barunya, meski sudah ada laman tahun 2010 yang menggunakan kata ini, agak sulit menemukannya menggunakan google. Mesin pencari ini menyaran “perundingan”, “peruntungan”, dan “perundangan”..
Jika kata perundungan berkata dasar “rundung”, maka saya sudah mengenalnya sejak SMP ketika membaca roman Tak Putus Dirundung Malang karya pujangga besar Sutan Takdir Alisyahbana. Menurut kamus,
rundung /run·dung/ v, merundung /me·run·dung/ v 1 mengganggu; mengusik terus-menerus; menyusahkan: anak itu ~ ayahnya, meminta dibelikan sepeda baru; 2 menimpa (tt kecelakaan, bencana, kesusahan, dsb): ia tabah atas kemalangan yg telah ~ nya1
Dari satu sumber saya dapat bahwa “perundungan” sama dengan “harrashment” yang biasa kita terjemahkan dengan “pelecehan”. Kali ini, dalam berita televisi itu, kata tersebut dikaitkan dengan bullying pada MOS atau masa orientasi sekolah, atau resminya sekarang MOPD alias Masa Orientasi Peserta Didik. Lalu, apa padan kata di-bully? Dirundung? Dirundungi?
Orientasi dan Perploncoan
Senin kemarin adalah hari pertama anak-anak masuk sekolah. Tahun ajaran baru, biasanya diwarnai dengan pengenalan sekolah. Malangnya, acara tesebut sering menjadi arena bullying atau perundungan itu tadi.
Berbagai praktik ditengarai sebagai upaya perundungan. Intinya adalah merendahkan siswa baru. Mereka harus melakukan sesuatu, mengenakan sesuatu, berperilaku tertentu, yang bersifat melecehkan dan menekan. Atau ditekan dengan bentakan. Apa yang dilakukan atau dikenakan dapat membuat malu, seperti kaos kaki berbeda warna, atau pita kucir berlebihan.
Panitia yang mengharuskan ini-itu umumnya adalah para senior, dengan legalitas sekolah tentunya. Jika memang berniat saling mengenal, mengapa mereka tidak mengenakan atribut yang sama, minimal papan nama yang sama bentuk, besar, dan isi. Barusan ditayang di televisi Mendikbud memegang papan nama seorang siswa peserta perundungan yang bertuliskan nama neneknya.
Mendikbud Anies melarang perundungan dan menghimbau pemda untuk mengawasi MOPD. Meski begitu, sepertinya tetap ada upaya bullying itu. Diberitakan bahwa pengawas independen mendatangi sekolah, ditayang juga pendapat murid dan orang tua murid korban perundungan.
Namun, pihak sekolah selalu bilang: tidak ada perundungan. “Anda lihat sendiri, anak-anak bergembira, tidak tertekan.”
Baiklah jika itu yang menjadi ukuran. Tetapi jika memaksa tanpa terasa, atau justru anak-anak merasa takut untuk terpaksa, atau malah senang hati untuk terpaksa, sehingga gembira saja?
MOS, OPSPEK, dan sebangsanya, cenderung merupakan tradisi belaka. Seorang pejabat Kemendikbud menyatakan bahwa salah satu kesulitan memberantas perundungan adalah karena beban sejarah bagi sekolah. Mereka melaksanakan karena sudah bertahun-tahun kegiatan tersebut ada di sekolah.
Anak-anak ini dapat menjadi pendendam sebagai salah satu reaksi. Atau terpatri dalam benak bahwa nanti mereka juga akan melakukan hal yang sama jika kelak menjadi senior. Atas nama tradisi, bukan edukasi.
Re-orientasi Orientasi
Perlu pemberdayaan agar acara tersebut tepat sasaran: memberikan orientasi dunia baru kepada siswa baru, bukan merendahkan mereka dengan menjadikan subordinasi para senior dengan perintah-perintah tidak jelas tujuannya. [z]
Catatan Kaki
- http://kbbi.web.id/rundung [↩]