Sapi
\
Seminggu yang lalu, negeri ini digegerkan oleh persoalan sapi. Bukan karena sapi pada mengamuk, tetapi karena harga dagingnya membuat orang malas berbelanja, meski konon hal tersebut hanya terjadi di wilayah jakarta dan seputarnya.
Di Yogyakarta yang berhati nyaman ini, konon harga daging sapi baik-baik saja.
Di berbagai pasar di Jakarta dan Jawa Barat para pedagang mogok dalam rangka memprotes tingginya harga tersebut. Mungkin juga waktu itu pas tidak ada yang mampu beli, sekaligus tidak ada stok.
Saya mencoba mengingat, seberapa sering makan daging sapi.
Yap. Hari Ahad kemarin saya makan daging ini pada sebuah perhelatan, dalam bentuk bakso. Selain itu, … rasanya saya tidak begitu sering mengkonsumsi daging vertebrata satu ini. Kebutuhan protein terpenuhi terutama dari tahu-tempe, ayam, telur, susu, dan ikan.
***
Juga, rasanya banyak kreasi masakan/bahan makanan yang menggantikan daging sapi. Sekarang sudah diproduksi rendang daun ketela, misalnya. Steak tempe juga sudah dikembangkan. Ingin membuat sop? Kaldu sapi sudah dijual dalam bentuk blok atau serbuk yang dapat dicairkan. Sekali tuang, sepanci terasa daging sapi.
Jadi, mengapa ribut dengan daging sapi yang harganya melangit?
Boleh jadi karena mahal itu. Nilai sosial lebih bermain daripada nilai gizi. Menghidangkan daging sapi (di meja makan atau lebih-lebih bagi tetamu) adalah satu hal yang bernilai sosial tinggi, atau dalam kata yang lebih sederhana: bergengsi. Jadi, meski makanan buffet tidak lagi begitu diminati tetamu pada suatu pesta, namun tetap saja daging sapi dihidangkan dalam berbagai olahan baik di meja buffet atau gubuk-gubuk.
Kemudian ada yang mengambil kesempatan karena mengetahui kebutuhannya secara nasional tetap tinggi. Kira-kira… [z]