Bijak mengelola alam

\
Tadi, saat saya menunaikan tugas untuk berbicara tentang kemerdekaan pada warga RT di desa, saya kepentok dengan istilah yang biasa saya ucapkan di lingkungan kampus: “tidak sustainable“. Akan tetapi, saya salah ketika menduga bahwa audiens tidak paham dengan istilah itu. Begitu saya kemukakan bahasa campuran itu, seorang tetangga yang petani atau tukang batu itu menyahut: “ora ngoman-omani.”
Ya. Saya rasa itu adalah kata tepat untuk menggambarkan etika orang desa dalam menggunakan sumber daya alam. Mereka tidak akan menguras habis tanpa sisa untuk orang lain, yang dalam bahasa mereka adalah ora ngoman-omani, tidak membagi kepada yang lain.
Kearifan ini berarti tidak serakah, mengambil semua, tidak merasa bahwa merekalah yang memiliki hak atas keseluruhan sumber daya. Ada hak orang lain juga untuk menikmati. Orang lain yang berarti para tetangga, bahkan mungkin orang lewat.
Orang lain juga berarti anak-cucu keturunan mereka nanti.
Mereka tidak risau dengan keperluan mereka sendiri. Pun anak-cucu mereka, karena percaya adanya etika.
Berbeda halnya dengan ‘orang sekarang’. Semua sibuk mengumpulkan harta untuk diri mereka, yang dibayangkan sanggup menjamin kehidupan anak-cucu tujuh turunan. “Investasi” menjadi kata kunci yang sering muncul di ruang publik, di samping “eksploitasi” yang lebih populer dalam kajian akademik tentang lingkungan.
Demi investasi, perumahan-perumahan dibangun dengan mengorbankan tanah pertanian. Apartemen dan hotel tinggi didirikan tanpa memperhitungkan sustainabilitas dari sisi ketersediaan air tanah. Para pemilik uang ramai-ramai membelinya. Bukan untuk ditempati, ditinggali, melainkan berharap agar dapat dijual lagi kelak dengan harga tinggi. [z]