Tempe
Bahan makanan yang satu ini sulit saya tinggalkan. Minggu kemarin saya harus bersepeda lebih dari tujuh kilometer untuk mendapatkan dua potong tempe (disebut ‘tempeh’ ) dari sebuah toko Cina di kawasan Nieuwmarkt, seputaran pusat kota Amsterdam.
1
Diapakan saja, tempe selalu enak bagi saya. Goreng, bacem, bacem goreng, besengek, sambel tempe, sambel tumpang, kering tempe … Tempe nyaris kedaluwarsa, semangit, justru menambah rasa. Tempe busuk pun (tidak sekedar berjamur karena tempe memang berjamur, ini benar-benar busuk) masih berguna untuk menambah rasa dan aroma pada sayur bobor dan oblok-oblok.
2
Mungkin yang sedikit mengganggu cuma status sosial tempe. Dulu konon Bung Karno pernah menggunakan istilah ‘bangsa tempe’ untuk mental melempem. Mungkin hal itu muncul karena dalam kategori sumber protein, tempe memang murah meriah dibandingkan dengan telur dan sumber-sumber hewani lain.
Saya berprasangka, jangan-jangan tempe hanya populer di Jawa, tempat sumber protein hewani mahal. Di luar Jawa, yang protein hewani masih melimpah ruah, mungkin makanan ini dipandang sebelah mata. Sejawat di milis dosen UGM menceritakan hal serupa: seorang temannya dari luar Jawa menyatakan bahwa mereka tidak akan menyentuh tempe selama masih ada sumber hewani lain.1
jangan-jangan tempe hanya populer di Jawa, tempat sumber protein hewani mahal
- Baca juga: Kuliner Kepepet
3
Kedelai memang menjadi bahan pengganti daging dalam kuliner vegetarian dan kuliner ekonomis. Namanya juga pengganti, mungkin oleh karena itu kelasnya pun tidak setara. Di Solo ada kuliner terkenal, sate kere. Sate ini tidak terbuat dari bahan daging melainkan: tempe gembus, tempe dari ampas kedelai, sisa pembuatan tahu!
4
Tempe memang bukan makanan elite. Di Amsterdam pun, harganya hanya sekitar 1,30 Euro sepotong, seberat 400 gram. Ukurannya kira-kira sebesar ‘tempe plastik’ di Pasar Ngasem. Sebagai perbandingan, teh celup secangkir sekitar 2-2,5 euro …2
Tempe juga tidak disebut di lagu jenaka Wieteke van Dort, “Geef Mij Maar Nasi Goreng”. Lagu yang mengisahkan seorang Indo yang merindukan berbagai makanan Indonesia ketika kembali ke Belanda yang makanannya ‘parah’. Tempe juga tidak ada di daftar lima puluh makanan terenak versi CNNGo yang votingnya lewat facebook menempatkan rendang [daging!] sebagai makanan nomor wahid.
5
Selagi saya masih sakau jika tidak bertemu tempe seminggu saja (lebay!), rupanya hal ini berbeda dengan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ibu Mari Elka Pangestu. Sewaktu membicarakan perlunya kuliner sebagai andalan promosi wisata, akhir tahun 2011 yang lalu, beliau secara spontan hanya teringat rendang, sate, nasi goreng, dan cendol. Tidak tempe. Padahal sejarawan Ong Hok Ham yang juga pandemen kuliner itu, menyatakan tempe sebagai sumbangan Jawa kepada dunia.
6
Proses emansipasi tempe pun terus berjalan. Dilakukan modernisasi dengan menstandarkan jamurnya dan higienitas prosesnya, sehingga muncul tempe ‘pabrikan’ macam Pedro Sujono di Yogyakarta. Ada juga berbagai percobaan untuk menggabung dengan kuliner yang lebih dahulu ‘berkelas’ hingga dihasilkan makanan hibrid macam tempe burger. FTP UGM kalau tak salah sekitar 10-15 tahun yang lalu pernah membuat tempe generasi kedua, yang rasa dan aroma tempenya sudah sama sekali hilang.
7
Bagi saya sih, tempe paling sederhanalah yang paling nempel di lidah: tempe garit goreng dengan bumbu garam dan bawang. Apa lagi jika tempenya nemu yang masih tradisional, terbungkus rapat menggunakan daun pisang atau daun jati. [z]
Baca juga:
Catatan Kaki
- Jadi ingin tahu, apa makanan keseharian mahasiswa perantau di Yogyakarta, apakah tertempekan atau masih bertahan dengan telur-daging. Kalau di Bonbin FIB sih pasti tidak lupa tempe kemul Yu Par atau Yu Narti. [↩]
- Daging ayam yang murah, seperti sayap atau paha, seharga sekitar 2,80 euro per kilo di toko milik orang dari Timur Tengah. Harga ayam panggang utuh adalah 4,5 euro per ekor (buah? wong sudah tidak punya ekor) sementara filet ayam lebih mahal. Mungkin daging ayam lah yang murah bukan tempe yang mahal. [↩]