Healing di Rawa Pening
\
Fenomena alam di Kabupaten Semarang ini disebut Rawa Pening. Saya yakin nama itu tidak berhubungan dengan pening atawa pusing, meski mungkin bikin pusing juga. Air yang sepertinya terus surut, membuat luas danau ini tidak lagi seperti dulu. Bukan dulu sekali seperti pengetahuan ahli geologi dan geomorfologi, tetapi juga dulu sepengingat orang. Permukaan air konon juga dipenuhi dengan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes).
Bagi saya, Rawa Pening cukup lekat ke ingatan meski tidak pernah secara langsung mendatanginya, hanya karena terletak di dekat kota Ambarawa, yang dalam budaya setempat disebut sebagai Mbahrawa. Kebetulan salah satu simbah saya tinggal di Mbahrawa.
Bacaan-bacaan saya dahulu juga sering membahas Rawa Pening. Mungkin karena saya besar di Provinsi Jawa Tengah dan tentu bacaan-bacaan disuplai dari Semarang, dekat dengan rawa ini. Mulai dari judul yang masih saya ingat, “Pening di Rawa Pening” yang membahas tentang enceng gondok. Kemudian tempat-tempat wisata seperti Bukit Cinta yang sempat populer akhir tahun 80-an. Kemudian, seorang teman, yang asalnya Mbahrawa, membuat skripsi tentang timbunan sampah kulit kerang yang ditinggalkan oleh para nelayan Rawa Pening. Ia mencoba menstudi Kjokkenmoddinger melalui analogi etnografi.
Salah satu yang sering dibahas tentang Rawa Pening adalah asal-usulnya dalam arti legendanya. Naga Baruklinthing cukup populer dalam folklor masyarakat Jawa. Cerita rakyat ini kelihatannya muncul lagi di Ambarawa, pada salah satu atraksi wisata, restoran dengan view ke Rawa Pening. Mereka membuat patung naga dan memasang banyak kelinting, bel logam.
Di sekeliling Rawa Pening sekarang memang banyak tempat wisata, atau atraksi dalam istilah teknis pariwisata. Lokasi di lembah membuat sekelilingnya, dari mana pun, mendapatkan view atau arah pandang yang bagus dengan danau kecil ini sebagai fokus. Rawa Pening kemudian menjadi sarana healing, kata anak sekarang.
Biar tidak pening lagi[z]