Narasi, Objek, dan Kemandirian Museum
\
Disampaikan pada Seminar Nasional “MUSEUM MEMBENTUK CORE MEMORY JATI DIRI GENERASI PENERUS BANGSA”, diselenggarakan oleh Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, 24 November 2022.
Monumen dan museum memang sering terkait dengan masa lalu. Mungkin monumen dan museum, melalui objek-objek yang dikoleksi, akan mengingatkan kita akan asal usul kita. Museum juga dapat mengingatkan akan upaya yang telah dilakukan untuk membuat kita dalam kondisi dan posisi sekarang, seperti museum-museum bertema sejarah perjuangan. Kadang lembaga ini ada yang menganggap sebagai kontrol-z di keyboard kemanusiaan kita, jika ada masalah, mungkin kegagalan, kita kembali ke museum untuk me-restore. Pengunjung akan terbantu ingatannya dengan mengunjungi monumen dan museum. Kontak dengan objek fisik ini akan sangat bermakna.
Dengan mengingat ini akan terjadi refleksi. Mungkin ini yang digariskan dalam definisi museum yang baru beberapa bulan lalu dikeluarkan oleh ICOM.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi memiliki berbagai layer makna historis karena berada pada bangunan bersejarah juga, artinya bangunan yang digunakan untuk berbagai keperluan dan terdapat berbagai peristiwa di sepanjang riwayatnya. Sebagai museum, bangunan monumental itu sendiri memiliki riwayat yang menarik, yang merupakan bagian dari Kota Taman Menteng, digunakan untuk Konsulat Inggris, jika tidak salah, tempat tinggal pejabat Jepang, hingga terjadi peristiwa yang kita ingin ingat, yaitu perumusan naskah proklamasi. Riwayat gedung ini tidak berhenti sampai di situ, tetapi berlanjut hingga sekarang. Sebelum menjadi museum digunakan untuk perpustakaan nasional, juga kedutaan besar Inggris.
Di museum ini, tentu selain bangunan cagar budaya, yang utama disuguhkan adalah objek-objek koleksi yang disusun pada narasi tertentu.
Narasi itu merupakan pilihan yang kemudian dilembagakan oleh museum. Apa yang hendak kita ingat, atau kita ingin ingat, itu yang dipilih oleh museum untuk dilestarikan dan ditampilkan kepada publik.Fungsi politis, aspek sosial dari museum antara lain adalah mendayagunakan memori itu untuk membentuk jati diri. Dalam hal ini, perjuangan dalam detik-detik persiapan proklamasi, sepertinya, yang ditekankan agar dapat diterima oleh pengunjung untuk kemudian menjadi sarana refleksi atau upaya-upaya internalisasi lain, yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk-bentuk mungkin perilaku tertentu. Nanti pengunjung akan memproduksi perilaku tertentu itu.
***
Pada bagian ini, mari kita coba diskusikan dengan modal apa yang telah saya sampaikan di atas, bahwa mengelola museum sangat tidak mudah, terutama untuk museum bertema sejarah. Ketika sejarah bukan menjadi arus yang menonjol, maka dapat dipastikan aspek ini tidak banyak mendapat perhatian.
Posisi sebagai BLU, misalnya, membuat gamang karena harus pandai-pandai menari di antara tugas mulia museum untuk melayani bangsa, antara not-for-profit dan harus mencari upaya agar dapat bertahan dan tentu berkembang.
Dari yang saya sampaikan tadi, museum menjadi tempat untuk memproduksi narasi-narasi tertentu. Dalam kaitan dengan publik, maka harus ada yang diproduksi agar ada sesuatu yang dinikmati oleh publik. Mungkin istilah produksi dan konsumsi tidak pas untuk museum yang lebih terkait dengan edukasi. Tetapi intinya adalah mesti ada sesuatu yang dihasilkan oleh museum, dan ini nanti yang akan diterima oleh publik.
Jika kita mengikuti apa yang terjadi pada suatu produk komersial, maka harus ada produksi yang konstan, terus menerus. Jika berhenti berproduksi maka tentu akan selesai. Perkaranya, apakah produk kita itu akan itu-itu saja, atau adakah produk-produk baru yang dapat kita tawarkan. Kita tahu beberapa barang konsumsi yang saat ini kita nikmati itu sebenarnya bukan produk baru. Mungkin hanya diberi tambahan sedikit kandungannya, kemudian diberi nama baru. Motor diberi strip baru, kemudian dilepas dengan nama tambahan sehingga terkesan berbeda.
Lingkup produksi museum antara lain adalah pameran, riset, publikasi, dan berbagai aktivitas. Sebagai produk yang ditawarkan, apakah pameran itu-itu saja, tidak pernah berubah sejak museum didirikan.
Pada bagian bertahan dan berkembang dari sisi pendanaan, saya rasa museum-museum sudah atau sedang memetakan, dari produk itu mana yang dapat diberi beban tugas keekonomian. Artinya, mana yang dapat diberi tugas untuk sebagai sumber dana untuk dapat menjalankan fungsi museum. Apakah pameran? Apakah riset? Publikasi? Atau aktivitas-aktivitas yang dapat diikuti oleh publik.
Tentu hal ini memerlukan sumber daya yang mencukupi juga.
Salah satu pertimbangan yang mestinya digunakan adalah bagaimana agar tetap terjaga hak publik untuk dapat mengakses informasi dan menikmati sejarah mereka secara inklusif. Penggunaan media sosial dapat menjadi sarana untuk diseminasi informasi yang diproduksi oleh museum, meski perjumpaan dengan objek nyata sulit digantikan.