Rumah Kalang dan Pemiliknya
\
Disampaikan pada webinar Edukator Museum Kotagede, 22 November 2022
Dalam kesempatan ini dibicarakan rumah kalang di Kotagede yaitu tentang sebaran dan para pemiliknya, kekhususannya secara arsitektural, serta nilai penting dari bangunan-bangunan ini untuk dilestarikan.
Kotagede, untuk waktu yang lama berada sedikit terpisah dari Yogyakarta. Sawah-sawah baru hilang mungkin duapuluhan tahun belakangan yang membuat kawasan ini tidak lagi terpisah. Namun, posisi di kelokan jalan lingkar memperlihatkan bahwa Kotagede memang berada di pinggir. Dahulu sebelum Yogyakarta berkembang sebagai kota kerajaan, keramaian sepertinya berporos utara-selatan, ke Pleret hingga mungkin Imogiri.
Kerajaan Mataram dimulai saat Sutawijaya mendapat hadiah alas Mentaok dari Demak, setelah perseteruan legendaris antara Arip Penangsang dan Sultan Hadiwijaya yang terekam pada kesenian-kesenian di Jawa Tengah-Yogyakarta. Tahun1582, pemerintahan dibangun di Kotagede. Salah satu penerusnya, penguasa keempat, adalah Sultan Agung, yang berusaha memindah ibukota ke Pleret, namun baru dapat membuat kraton sementara di Kerta. Amangkurat I baru berhasil memindah ke Pleret, 1646. Perpindahan tersebut tidak lantas mematikan Kotagede. Sebagai keraton memang sudah tidak banyak bekas yang berdiri, tetapi kota dengan pasar tetap berkembang. Van Mook mencatat bahwa Kotagede merupakan salah satu pusat ekonomi di Indonesia.
Tinggalan-tinggalan Kotagede dapat dibagi menjadi empat, yaitu bangunan dan struktur dari masa pemerintahan Mataram Islam, bangunan tradisional Jawa yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru kota, bangunan kalang yang akan kita bicarakan nanti, dan bangunan indis dan jengki, yang lebih modern.
Pada mulanya, pemukiman orang kalang berada di luar tembok kota, yaitu di seberang barat Kali Gajahwong yang menjadi batas barat Kota Kotagede. Sejak tahun 1905 mereka diperbolehkan tinggal di timur sungai. Maka kita dapat melihat Omah Dhuwur dan Dalem Proyodranan di sisi timur sungai.
Penampilan bangunan Omah Kalang di Kotagede sebagai rumah tinggal yang penghuninya berstatus orang kaya didukung dengan pembuatan dinding, dan tiang yang dikerjakan dengan material yang bagus dan teknik tinggi, serta pemberian hiasan pada interior, antara lain berbentuk sulur. Secara ekspresif, kondisi itu menunjukkan keinginan para pemiliknya untuk membuat bangunan itu nampak indah, sebagaimana layaknya bangunan-bangunan istana. Kemegahan Omah Kalang ditunjukkan pula dengan adanya kaca patri, aplikasi jendela atas, dan unsurunsur barat lainnya.
Yang paling mencolok dari rumah kalang adalah ornamentasi. Dari tepi jalan, rumah-rumah ini terlihat jelas memiliki berbagai ornamen yang mencolok. Penggunaan unsur ini ditafsirkan sebagai pemberitahuan bahwa mereka adalah orang-orang yang berstatus. Dahulu mereka tidak mendapatkan tempat di kota, namun ketika status ekonomi mereka berubah, mereka menyampaikan pesan keberadaan mereka.
Selain ornamentasi, mereka menggunakan bahan-bahan yang baik untuk menyusun bangunan. Tegel bermotif, kaca patri, kaca etsa, tiang-tiang cor, rasanya adalah barang yang mahal pada waktu itu. Tidak banyak orang menggunakannya terutama dengan pilihan yang sangat luas. Bukan hanya satu-dua motif, tetapi terdapat banyak motif misalnya dalam ornamentasi tegel.
Jika kebanyakan materi adalah hasil “pabrik”, yang tentu merupakan prestise tersendiri pada masa lalu, kekriyaan terlihat antara lain dari ukiran-ukiran kayu. Ukiran menjadi hal yang kustom, juga memperlihatkan kemampuan tinggi. Beberapa tiang bulat berhias bukanlah besi cor melainkan tiruannya dari kayu.
Di sisi lain, rumah-rumah kalang juga menggunakan dasar bangunan tradisional jawa, terutama berupa dalem. Beberapa pihak menyatakan bahwa penggunaan unsur bangunan yang lengkap ini menunjukkan bahwa orang kalang ingin menunjukkan posisi terhormat mereka.
Dari sisi pelestarian, bangunan-bangunan rumah kalang yang khas ini memiliki beberapa nilai penting. Dari sisi sejarah, bangunan-bangunan tersebut terkait dengan perorangan dan kelompok yang dapat diidentifikasi dalam sejarah. Dari sisi ilmu pengetahuan (arsitektur, arkeologi), bangunan dapat menjelaskan masalah seni, teknologi, dan fungsi tertentu. Dari sisi kebudayaan, beberapa bangunan mungkin masih digunakan untuk melaksanakan kegiatan. Sementara itu, dari sisi nilai budaya, dapat dicari misalnya fungsinya dalam penguatan kepribadian bangsa.