Soto, kuliner nasional
Rasanya, semua orang Indonesia mengenal soto, makanan yang utamanya adalah sayur dengan kuah kaldu, atau mungkin terbalik: kuah kaldu dengan sayur di dalamnya. Biasanya juga disertakan daging, baik itu daging ayam atau daging sapi.
Rasanya juga, soto dapat ditemui di sembarang tempat di Indonesia. Di Yogyakarta, makanan ini lebih mudah ditemui daripada makanan yang dianggap khas, yaitu gudeg. Di sembarang penggal jalan biasanya terdapat penjual soto, baik yang menggelar jualannya dalam restoran, warung, warung tenda, maupun yang berkeliling dengan gerobak dorong.
Soto juga mudah ditemui nyaris sepanjang waktu. Di pagi hari, para kita dapat menemui penjual soto daging ‘biasa’ di pinggir-pinggir jalan. Agak siang sedikit, warung-warung dan restoran soto buka hingga sore, atau hingga ‘soto habis’. Di malam hari, soto a la Jawatimuran mendominasi lagi pinggir jalan dengan tenda-tendanya. Larut malam, setelah pukul sebelas memang sulit menemukan lagi penjual soto.1
Dari hanya memperhatikan nama-namanya, kita dapat meraba kekayaan kita akan kuliner yang satu ini.
Indikasi geografis dan sebaran
Sebaran soto yang merata dari Sabang sampai Merauke (mungkin), bisa dilihat dari nama-nama soto: soto aceh, soto padang, soto bandung, soto betawi, soto pekalongan, soto kudus, soto semarang, soto sukaraja, soto blora,2 soto lamongan, soto madura, soto banjar, soto makassar ….
Ragam lokal juga terlihat dari beragamnya nama: soto, sroto (Banyumas), taoto/saoto (Pekalongan), atau coto (Makassar). Dengan ragam material yang mirip, kita juga dapat menjumpai makanan yang bernama timlo, yang digemari para putri Solo itu. Bahkan, salah satu buku resep makanan di Indonesia yang berjudul Soto, memasukkan rawon, makanan berkuah hitam dari Jawa Timur itu.
Indikasi geografis tersebut tidak sekedar berhenti pada nama. Soto dari masing-masing wilayah tersebut memiliki keragaman antara lain dalam komposisi bahan. Akan tetapi, kelihatannya hal tersebut tidak banyak berlaku bagi indikasi ‘sub-geografis’.
Di Yogyakarta misalnya, terdapat nama-nama (penjual) soto dengan indikasi sub-geografis semacam itu. Setidaknya ada Soto Kadipiro (dari kawasan Kadipiro), Soto Mlati (dari daerah Mlati, Sleman), Soto Sawah (karena di dekat sawah). Tidak terdapat perbedaan konten yang mencolok di antara soto-soto tersebut.
Termasuk kategori terakhir ini adalah: soto ambengan (Jl. Ambengan, Surabaya), soto sulung (Jl. Sulung, Surabaya), Soto Lombok (Jl. Lombok, Malang), dan Soto Bangkong (Bangkong, Semarang).
Sebagian nama jenis soto tersebut adalah nama diri warung. Sebagian menjadi nama jenis soto. Soto sulung, misalnya, dapat ditemui di Stasiun KA Tugu, Yogyakarta, tanpa merujuk kepada suatu tempat di Surabaya sono. Kita juga dapat menemukan soto tersebut di buku-buku resep masakan.
Ragam materi penyusun
Bahan penyusun soto sangat beragam, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat kompleks seperti soto sukaraja. Saking sederhananya, soto tipe minimalis sering dinyatakan secara sinis sebagai ‘rendaman kubis’.
Keragaman soto juga diindikasikan dengan kandungan material tambahan, seperti soto lenthuk (sebangsa perkedel berbahan ketela pohon) dari Gunungkidul, atau soto kriuk(potongan gorengan berasa ayam) yang dapat dijumpai di salah satu stasiun di ibukota.
Mie, sulur kaya karbohidrat itu juga menjadi materi penting dalam makanan ini, sehingga muncul soto mi (yang di kompleks FKUI Salemba diberi tambahan indikasi geografis Bogor menjadi soto mi bogor). Mi kuning sangat dominan dalam soto mi tersebut. Sementara, di wilayah Bogor juga populer nama soto kuning, yang memberi kunyit baik pada kuah maupun pada daging.
Soto juga dibedakan berdasarkan kandungan dagingnya, terutama soto ayam dan soto sapi. Di warung-warung soto Jawa Timuran juga terkenal soto babat, yang menggunakan materi jeroan sapi bertekstur itu. Sementara itu, di wilayah Kudus, Jawa Tengah, dikenal soto kerbau, berkait dengan budaya masyarakat yang secara tradisional menghindari penyembelihan sapi.3
Salah satu kuliner Jawa Timur yang terkenal adalah rujak cingur. Makanan ini adalah rujak yang juga menggunakan materi daging dari bagian mulut sapi di samping buah-buahan sebagaimana umumnya. Akantetapi kombinasi semacam itu belum cukup. Di Banyuwangi konon terdapat rujak soto, percampuran antara rujak cingur dan soto babat!
Perkara percampuran ini rujak soto tidak sendirian. Bagi saya, soto sukaraja itu juga campuran, yaitu antara soto dan pecel!
Aspek teatrikal
Perangkat berjualan juga dapat dilekatkan pada nama soto. Muncullah misalnya soto kwali, yang menggunakan kuali sebagai tempat kuah soto, meski rasanya lebih berfungsi sebagai aksesoris daripada serius sebagai tempat mempersiapkan makanan ini.
Tidak hanya soto kuali yang menampilkan wadah tembikar dalam warungnya. Angkringan, atau perangkat portabel berupa pikulan untuk berjualan soto juga sering disertakan sebagai aksesori meskipun mereka membuka warung secara menetap.
Mengenal ‘soto gebrak‘? Di Jakarta terdapat beberapa warung soto yang juga menampilkan menambahkan efek teatrikal berupa suara khas dalam penyajiannya. Si peracik soto selalu meletakkan botol kecap dengan keras di atas meja sehingga menimbulkan bunyi keras: “braaak”.
Di Surabaya terdapat ‘soto kalkulator‘ yang bukan karena kecempelungan alat hitung elektronik itu. Para pelayan menghitung harga yang harus dibayar oleh pembeli secara ndremimil dan dalam tempo yang cepat seperti kalkulator.
Entah, apakah efek-efek ini berhubungan dengan rasa soto …
***
Masih menyimpan pertanyaan: soto rumput (Boyolali), soto ranjau … Juga soto dengan nama orang: Soto Pak Soleh, Soto Bu Cip, Soto Pak Marto … Atau soto pisah dan soto campur. [z]
Baca juga
Catatan Kaki
- Saking populernya soto, makanan yang satu ini–bersama rawon–bahkan dituduh menjadi penyebab banjir di Surabaya. metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/21/1/124631/Pramono-Yakin-Kuah-Soto-dan-Rawon-Pemicu-Banjir [↩]
- Soto blora dilengkapi dengan klethuk, gorengan getuk ketela yang dipotong dadu [↩]
- Jika kata “soto” merupakan pengaruh dari Cina, cou-dou, maka konon itu dapat berarti “babat”. [↩]