Coblos
\
Tertarik juga untuk menulis tentang pemilu yang sedang berlangsung tahapannya. Tentu tidak tentang para calon yang sedang berkontestasi untuk nanti ditentukan oleh rakyat beberapa minggu mendatang.
Yang menarik perhatian saya adalah poster-poster yang dipasang di sepanjang jalan. Kali ini bukan foto caleg, foto ketua partai, foto keluarganya, tetapi satu hal kecil: gambar paku.
Pemilu di Indonesia, kecuali yang dilaksanakan tahun 2009,1 dilakukan dengan cara mencoblos gambar logo partai atau gambar orang calon yang berada pada kertas suara. Pencoblosan tersebut umumnya menggunakan paku seperti yang dijual di toko bangunan sebagai “paku usuk”.
Di poster-poster tadi, baik yang berukuran A32 dan dipaku pada batang pohon, atau yang sebesar gaban dipasang pada papan komersial di pinggir jalan utama, sering dicantumkan nama calon dan gambar paku pada nama tersebut, atau tepatnya pada kolom sebelahnya yang mencantumkan nomor urut. Biasanya digambarkan pula kertas suara robek berlubang pada ujung paku tersebut, atau diberi gambar bintang bersegi banyak, menandakan tempat tersebut yang menjadi fokus.
Saya ingat pelajaran Antropologi Sosiologi di SMA dulu3. Dalam studi mengenai evolusi agama, James Frazer melihat bahwa masyarakat mengembangkan magi pada tahap awal. Sebutnya, manusia primitif cenderung menggunakan magi untuk mengendalikan lingkungan dan mengatasi ketidakpastian sebelum berkembang menuju agama dan ilmu pengetahuan yang lebih kompleks.
Ia membagi magi dalam dua kategori: magi imitatif dan magi kontagius. Magi imitatif melibatkan keyakinan bahwa tindakan atau representasi simbolis dari suatu peristiwa dapat mempengaruhi peristiwa tersebut. Sementara itu, magi kontagius melibatkan keyakinan bahwa benda yang pernah terhubung dengan seseorang dapat mempengaruhi orang tersebut melalui suatu hubungan simpatetik.
Nah, saya pikir pemunculan gambar paku pada poster-poster caleg tadi mirip dengan magi imitatif yang menurut Frazer telah dipraktikkan masyarakat sejak lama. Dengan memberi gambar paku pada nama caleg, dengan kertas berlubang, diharap pemilih nanti juga melakukan hal yang sama, mencoblos dengan paku nama yang dimaksud pada kertas suara.
Jadi, kita sedang “disihir” oleh para caleg, agar mengikuti kemauan mereka hanya dengan gambar paku… [z]
Catatan kaki
- Tahun 2009, pemilihan dilakukan dengan contreng bukan coblos, yaitu mencontreng–bagi saya lebih familier dengan istilah centang–pada nama atau gambar yang dipilih. [↩]
- Rasanya pada pemilu kali ini saya belum menemukan materi cetak kecil-kecil yang dahulu sering dibagi, seperti stiker. [↩]
- Diajarkan oleh Pak Amin Sundoro. Semoga beliau dalam rahmat-Nya. [↩]