Nonton Suara-Suara Antroposentrik
\
Suara manusia, kata Pak Heddy, merupakan benda juga, karena ada udara yang dimampatkan, bertemu dengan bibir, dan seterusnya. Suara juga dihasilkan dengan getaran, merambat melalui udara dan menggetarkan gendang telinga kita.
Apakah kita dapat melihat suara?
Mungkin tidak. Akan tetapi Museum Sonobudoyo mempertunjukkan suara dalam pameran bertajuk “Sabda Raya”. Pameran ini digelar di Gedung Saraswati (eks Koni), dibuka 5 Juni yang baru lalu.
Berikut adalah penangkapan saya sebagai pengunjung, yang kebetulan mendapatkan panduan, dampingan, dari para kurator yang bertanggung jawab atas materi pameran ini. Kunjungan dilakukan bersama dengan teman-teman Museum UGM sehingga memang lebih seru mendiskusikan baik topik tematiknya maupun teknik presentasi.
***
Pameran ini dimulai dengan cerita bahwa dahulu suara alam membersamai manusia, dan keselarasan diupayakan agar semua dapat berjalan. Suara kodok diimitasi agar hujan turun. Ruang ini diberi judul “Bunyi Mula-Mula”.
Ruang berikutnya dengan judul “Bunyi dan Spiritual” melanjutkan cerita tentang nada suara yang bersama manusia itu, ternyata dapat atau digunakan untuk menyelaraskan diri manusia dengan alam atau dengan dewata. Bunyi-bunyian dapat merestorasi diri manusia sehingga kembali kepada fitrahnya sebagai bagian dari alam. Dalam bahasa kuratorial, disebutkan bahwa bunyi-bunyian dapat mengarahkan jiwa untuk dapat tenang atau di sisi lain, bersemangat. Doa permohonan juga disampaikan dengan perantara bunyi.
Dalam topik berjudul “Tutur Macapat”, nasihat pengajaran disampaikan dengan bunyi yang diatur sedemikian rupa, baik kata (guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan, misalnya) maupun nada (lantunan) yang mengatur tinggi rendah dan panjang suara kata. Pengaturan itu akan berdampak pada suasana gembira, sedih, dan sebagainya, sesuai dengan sebelas jenis tembang macapat dalam khazanah budaya Jawa. Kadang dengan ditingkah bunyi dari peralatan musik, nilai-nilai disampaikan dengan suasana yang sudah ditentukan menurut tembang yang dipilih.
Mengatur suara menjadi bagian penting dari musik, sehingga menjadi nada. Satu alat dapat memunculkan satu atau lebih bunyi, dan pada beberapa peralatan dilakukan pembakuan sehingga muncul serangkaian bunyi dengan selang teratur pada satu alat. Penyelarasan di antara peralatan tersebut mestinya dilakukan jika akan dimainkan dalam satu ansambel. Cerita tentang penyelarasan ini disampaikan pada ruang dengan topik “Bunyi yang Diiramakan”.
Bukan hanya aturan nada yang dibekukan dengan pembakuan seperti terlihat di dua ruang sebelumnya, suara juga kemudian dibekukan. Aspek teknologi berkelindan dengan aspek seni, sehingga muncullah rekaman-rekaman yang membuat suara terbekukan secara menetap–kecuali kasetnya nggleyor dan membuat suara rusak–dan kemudian dapat didistribusi secara meluas. Aspek komersial menumpang pula, dengan komodifikasi suara yang umumnya adalah musik atau lagu ini. Ruang dengan topik “Rupa Bentuk Bunyi”. Beragam teknologi penyimpanan suara ditampilkan, mulai dari piringan hitam (yang bukan vinyl melainkan shellac alias sirlak), kaset, hingga perangkat digital.
Ruang berikutnya sedikit menjeda. Setelah di ruang-ruang sebelumnya pengunjung diharap menjaga ketenangan, sepertinya di ruang dengan judul “Kata Kota Kita”. Artwork kota Yogyakarta, konon adalah kawasan Kotabaru–tetapi ada menara gauk plengkung Gading–digantung terbalik di tengah ruang. Ruang dengan maket putih itu dilengkapi dengan suara-suara kota, yang malah melesapkan suara manusia. Suara kendaraan menjadi dominan. Obrolan dari pengunjung yang berfoto dengan maket itu menjadi pelengkap dari tampilan ruang ini.
Tiga tabung yang digantung berada pada ruang berikut. Masing-masing tabung menyampaikan arsip suara dengan tiga tema tertentu. Pengunjung diminta masuk ke dalam tabung hitam tersebut dan mendengar berbagai suara, sambil membaca label yang tertempel. Saya lupa dengan judul ruang ini.
Pameran diakhiri dengan video mapping gambar-gambar abstrak dengan suara-suara musik yang diharap dapat menjadi ending, coda, buntut, dari kunjungan.
***
Suara tentu dihasilkan dari berbagai hal, sebagaimana disampaikan dalam pameran. Manusia berinteraksi dengan suara-suara itu, termasuk menghasilkan dengan perangkat tubuhnya. Atas suara-suara itu, manusia mengatur dan mendayagunakan untuk kepentingan dirinya: penyembuhan, mengundang hujan, bahkan hingga menjadi komoditas. Akhirnya, manusia juga menjadi korban dari suara yang ia ciptakan. Gemuruh suara kota yang ia bangun justru menenggelamkannya.
Renungan memang diperlukan untuk hal ini, apakah kepentingan kita atas suara justru membuat kita senyap. [z]