Takbiran
\
Pagi esok hari, mayoritas masyarakat Indonesia akan merayakan Iduladha. Hari raya kali ini dianggap diselenggarakan serempak, meski beberapa kelompok atau masjid telah menyelenggarakan salat id pagi kemarin.
Sebagai malam lebaran, sejak sehabis magrib tadi telah berkumandang suara takbir dari pelantang yang dipasang di atap atau menara masjid. Saya tidak tahu, yang paling keras terdengar dari rumah saya itu dari masjid yang mana. Kadang terdengar suaranya seperti anak-anak, dan semua suara yang saya dengar berasal dari laki-laki.
Setidaknya, sampai lepas jam satu dini hari ini, suara takbir masih banyak terdengar. Rasanya takbiran akan berlangsung hingga menjelang shalat id nanti.
Namun, tidak hanya pelantang di menara atau atap masjid yang digunakan untuk keperluan tersebut. Sekitar jam sebelas malam tadi, terdapat satu mobil yang berkeliling menyuarakan takbir, akan tetapi tidak begitu jelas suaranya. Musik entah apa malah lebih terdengar dari pada takbirnya, dengan suara yang kurang enak dari speaker penggonggong (woofer) yang dipasang pada volume suara yang kelihatannya di luar kapasitas salon.
Meski suara takbir dari masjid sekarang sudah dapat terdengar di seluruh sudut kampung, tetapi tetap lumrah dilakukan di beberapa tempat takbir dengan berkeliling. Tadi terbaca di media x (twitter) bahwa di siang hari beberapa kendaraan lampion tampak berderet di Jalan DI Panjaitan, Yogyakarta, sepertinya untuk bersiapan takbir keliling malam harinya. Lain berita terbaca bahwa Kepolisian di Jakarta menghimbau warganya untuk tidak takbir keliling. Mungkin karena takbir keliling kadang memunculkan gesekan antarwarga di samping tentu rawan akan kecelakaan.
Maka, takbir keliling dapat dianalisis dengan pendekatan-pendekatan sosial juga. Mengapa kelompok-kelompok masyarakat melakukan kegiatan ini menjelang hari raya.
Zaman SD dulu saya juga sempat ikut takbir keliling bersama teman-teman sekolah, berjalan bersama hingga ke dukuh tetangga sambil membawa obor minyak. Waktu itu masjid belum dapat menebar suara takbir dengan kuat karena belum ada listrik di desa kami. Jadi, pilihan berjalan kaki untuk bertakbir memang lumrah.
Tidak jauh dari zaman itu pula, lumrah takbir dikumandangkan melalui radio, terutama beberapa radio Islam. Radio Unisi pernah bercerita bahwa dahulu mereka bertakbir hanya beberapa orang, tetapi direkam dan diputar sambil takbir lagi dan direkam … dengan begitu terdengar takbir itu seperti dilakukan banyak orang.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa illaaha ilallaahu wallaahu Akbar. Allaahu Akbar, wa lillaahil hamd.
Selamat merayakan Iduladha 1445 H.