Tetumbuhan di Toponimi Kepurbakalaan Lumajang

\

Terdapat banyak toponim berasal dari nama jenis tetumbuhan di Lumajang. Menelusuri jejak kepurbakalaan yang tersisa di kabupaten ini, ternyata menemukan berbagai toponim dengan asal tumbuhan. Secara umum, nama suatu kepurbakalaan diberikan sesuai dengan nama tempat kepurbakalaan tersebut berada atau ditemukan, bukan nama saat dahulu digunakan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada hubungan antara nama kepurbakalaan dengan “makna”-nya di masa lalu. Kebetulan, nama tersebut disematkan oleh orang sekarang, entah penduduk di sekitar kepurbakalaan, atau arkeolog yang meneliti.

***

Cangkring, nama salah satu sungai yang berada di sisi luar benteng Biting. Cangkring adalah tumbuhan besar berduri yang juga disebut dadap duri,  Erythrina fusca. Di dalam Situs Biting sendiri terdapat nama Blok Duren, Blok Salak, dan Blok Randu.

Biting merupakan situs arkeologi di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono. Situs Biting memiliki luas 135 hektar dan dikelilingi sungai di setiap sisinya, yaitu Sungai Ploso di sebelah barat, Sungai Bondoyudo di utara, Sungai Badung (Winong) di timur, dan Sungai Cangkring di sebelah selatan. Biting sendiri merupakan istilah setempat untuk menyebut benteng. Situs Biting yang ini dari masa Majapahit akhir dan diduga berlanjut hingga Mataram Islam, merupakan satu-satunya bekas benteng lokal di Jawa.

Pasrujambe. Di Desa Pasrujambe, Kecamatan Senduro, Prasasti Pasrujambe. Prasasti itu sendiri berada di Dusun Munggir. Saya tidak tahu arti kata “pasru”, tetapi jambe cukup dikenal, yaitu pinang, atau Areca catechu L. Akan sangat menarik jika “pasru” berasal dari kata pasuruhan, tempat suruh, atau sirih (Piper betle), karena kedua tanaman ini pada beberapa budaya kerap menjadi satu, sirih pinang, yang punya makna penting.

Prasasti Pasrujambe terdapat sejumlah dua puluh buah, berupa batu-batu bulat alam yang di atasnya terdapat tulisan-tulisan pendek dengan huruf dan bahasa Jawa kuno. Penelitian Pak Karto (M.M. Soekarto Kartoatmodjo) dari Balai Arkeologi Yogyakarta menghasilkan penanggalan tahun 1459 M, saat Majapahit dikuasai Bhre Wengker.

Tinggalan lain dari Pasrujambe adalah batu bergambar motif surya mirip dengan Surya Majapahit, tetapi penelitian Kuswanto dkk menyatakan kurang lengkap sebagai Surya Majapahit. Batu ini sekarang berada di Museum Daerah Kabupaten Lumajang.

Jatiroto, adalah nama pabrik gula yang dibangun pada masa Kolonial. Jati adalah nama pohon yang biasanya tumbuh di lahan berkapur, Tectona grandis. Roto, atau rata, mungkin karena sudah diratakan (ditebang), berukuran sama, atau merata yaitu terdapat dalam area yang luas. Konon pabrik gula ini semula bernama Ranupakis. Ranu berarti danau, dan pakis adalah tumbuhan yang juga disebut paku (paku-pakuan, pakis-pakisan).

Pabrik Gula Djatiroto, yang sekarang masih beroperasi, didirikan oleh  perusahaan Belanda HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) pada awal abad ke-20. Pabrik ini memiliki tiga “sister pabrik” yang terletak tidak sangat jauh namun berada di Kabupaten Jember.

Randuagung, adalah nama candi yang ditemukan di Desa Randuagung, Kecamatan Randuagung. Randu adalah tumbuhan penghasil kapuk (kapuk randu), Ceiba petrandra. Agung berarti besar, mungkin dahulu terdapat pohon randu yang besar. Di Lumajang juga terdapat toponim Tegalrandu, berarti tanah tegalan dengan pohon randu.

Candi ini tersisa bagian bawah (batur).Foto lama memperlihatkan bangunan (candi induk) yang lebih tinggi dan adanya batur di depan pintu. Terdapat pula pagar candi  dengan gapura.  ((Balai Arkeologi DIY, 2018. hlm. 2)) Diperkirakan candi bata ini telah berdiri sebelum Majapahit

Di desa yang terletak di Kecamatan Klakah tersebut juga terdapat reruntuhan bangunan yang disebut Candi Tegalrandu.

Kunir, adalah nama salah satu kecamatan di Lumajang. Di tempat ini ditemukan reruntuhan candi yang dahulu disebut sebagai Candi Kunir, tetapi sekarang disebut Candi Kedungsari berdasar nama desa tempat candi berada. Kunir dapat berarti tanaman rimpang Curcuma domestica yang dalam bahasa Indonesia disebut kunyit. Toponim Kunir terdapat pada daftar kunjungan Raja Hayamwuruk dari Majapahit.

Pajarakan adalah nama salah satu situs di Kecamatan Randuagung. Pada masa Kolonial, Pajarakan pernah menjadi salah satu distrik dari Afdeeling Kraksaan. Jarak adalah tanaman perdu, Ricinus communis L. Tanaman ini terkenal karena konon bijinya mengandung minyak yang dapat dieksploitasi.

Tidar

\

Tidar, bukit kecil di selatan Kota Magelang, bukanlah yang asing bagi saya. Sekitar empat puluh tahun yang lalu saya tinggal di lembahnya, beberapa ratus meter dari bukit tersebut, atau dalam bahasa Jawa disebut gunung. Mendaki ke atas Gunung Tidar sekali saat itu, menjumpai tonggak kecil dari semen, barang kali setinggi dua meter, yang berada di semak-semak dan rerimbunan pohon.

Waktu itu rasanya Gunung Tidar belum menjadi tujuan wisata seperti sekarang. Saya masih naik dari lapangan Gelanggang Remaja, melalui jalan setapak. Sekarang akses yang mudah terdapat di sisi timur, di sisi barat bekas terminal Tidar. Setelah membeli tiket pengunjung akan melalui jalan naik yang sudah dibeton dengan pagar di sisi kiri dan kanan. Melewati makam Cina, kemudian pengunjung akan juga melewati dua makam Islam yang ramai peziarah.

Di atas bukit, sudah terdapat beberapa fasilitas, termasuk monumen yang cukup besar. Di sisi timur juga terdapat warung-warung yang menyediakan makanan dan minuman hingga suvenir. Juga kacang yang dapat diberikan sebagai pakan untuk monyet-monyet yang banyak terdapat di tempat ini.

***

Jika sekarang Gunung Tidar sudah hijau rungkud dengan pepohonan, tidak seperti itu pada zaman dahulu. Ibu kos saya pernah menunjukkan foto bapak kos yang mayor tentara, yang berfoto di Gunung Tidar yang gundul.

Bukit Tidar juga tersebut dalam cerita silat Nagasasra dan Sabuk Inten, karya S.H. Mintardja. Penulis yang sekampung dan seusia dengan bapak saya ini menampilkan salah satu tokoh yang dinamai Sima Lodra, yang disebut berasal dari Bukit Tidar.

Mitos yang paling disebut masyarakat tentu bukan tentang Sima Lodra, tetapi tentang posisi bukit ini yang konon berada di tengah Pulau Jawa. Sering disebut pula bahwa Tidar adalah paku Pulau Jawa, yang menancapkan pulau ini ke bumi sehingga tidak hanyut. Oleh karena itu, sejak zaman Hindia-Belanda, logo Kota Magelang mengandung gambar paku.

Mentaok

\

Salah seorang peserta salah satu pelatihan minggu lalu bertanya apakah Alas Mentaok itu diberi nama karena ada pohon mentaoknya? Alas Mentaok secara harafiah berarti Hutan Pohon Mentaok.

Saya pikir begitu. Banyak contoh penamaan suatu tempat atau toponim, yang mengambil nama pohon atau tanaman tertentu. Mungkin dahulu tanaman tersebut menjadi landmark, penanda lahan, di tempat yang dimaksud.

Untuk nama hutan, contohnya adalah Alas Karet, alias Alaska, yang terletak di antara Semarang dan Kendal. Hutan yang mulai berkurang luasannya tersebut dihuni oleh tanaman karet, meski sepertinya lebih tepat disebut sebagai perkebunan dari pada hutan. Penyebutan alas jati saya kira cukup umum meski mungkin belum menjadi toponim.

Di Kota Yogyakarta juga banyak terdapat toponim berasal dari nama tumbuhan. Nama-nama tersebut misalnya adalah Gayam, Timoho, Melati Wetan, Ngasem, Pakel, Peleman, Gading, Keben, Pabringan (nanti menjadi nama pasar Beringharjo), Gambiran, Lempuyangan, Glagahsari, Nogosari, Karangwaru, Sentul, serta Sawojajar.

Di Gunungkidul, konon lebih dari sepertiga nama dusun menggunakan nama tetumbuhan. ((“548 dari 1.431 Dusun di Gunungkidul Pakai Nama Pohon, Bambu Terbanyak Digunakan”. Kumparan.com, 1 November 2022. ))

Di blog ini saya beberapa kali menulis tentang nama-nama tumbuhan yang digunakan sebagai toponim, antara lain adalah lo, poh, gondang, dan maja.

***

Mentaok, yang ditanyakan tadi, adalah nama hutan atau alas yang dibabat oleh Ki Juru Pemanahan, ayah dari Panembahan Senopati yang nanti mendirikan kerajaan Mataram. Beberapa bahasan menyatakan bahwa alas ini membentang di sebelah timur kota Yogyakarta sekarang, mulai dari Kalasan hingga Kotagede. Pembukaan suatu hutan disebut babad, sehingga catatan sejarah tentang suatu tempat dalam bahasa Jawa disebut sebagai babad.

Hutan tersebut mestinya mengandung pohon mentaok dengan jumlah yang cukup dominan. Pohon mentaok, Wrightia javanica, disebut sebagai pohon kecil. Tahun 2018 terdapat tugas akhir dari UGM yang menginventarisir adanya tujuh pohon mentaok di Kelurahan Purbayan, Kotaged, Yogyakarta. Mungkin pohon-pohon tersebut bukan sisa dari alas yang dahulu terdapat di kawasan ini sebelum abad ke-16, karena pohon jenis ini sampai sekarang masih dikembangbiakkan.

Catatan Kaki

Lasem

\

Lasem, kota kecil di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota ini telah berkembang pada masa Majapahit sebagai kota pelabuhan. Berbagai naskah kuno menunjukkan keberadaan Lasem pada masa Hindu-Buddha, seperti Negarakertagama dan Pararaton. Pada masa Islam, Lasem disebut baik pada Babad Tanah Jawi maupun yang secara khusus mengisahkan kota ini, yaitu Carita Sejarah Lasem, yang ditulis pada masa lebih akhir.

Literatur tentang kota ini antara lain ditulis oleh Handinoto. Dengan judul “Lasem: Kota Tua bernuansa Cina di Jawa Tengah”, buku dengan isi 217 halaman ini diterbitkan oleh Ombak tahun 2015. ((Handinoto. 2015. “Lasem: Kota Tua bernuansa Cina di Jawa Tengah”, Yogyakarta: Ombak. )) Balai Arkeologi Yogyakarta juga menerbitkan buku yang cukup lengkap tentang sumber daya arkeologi kota ini dan nilai pentingnya, bertajuk “Lasem dalam Rona Sejarah Nusantara”. ((Riyanto, Sugeng and Mochtar, Agni Sesaria and Alifah, Alifah and Taniardi, Putri Novita and Priswanto, Hery (2020) Lasem dalam rona sejarah Nusantara : sebuah kajian arkeologis. Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, xiv-100. ISBN 9786239148867))

Berikut beberapa impresi akan kota Lasem.

  1. Bangunan Cina
Pagar rumah di Karangturi, Lasem.

Salah satu yang menonjol dari Lasem adalah pemukiman Tionghoa yang menggunakan bangunan bergaya Tionghoa. Bangunan-bangunan ini berada di belakang tembok tinggi yang membentuk lorong dengan pintu gerbang khas, dengan atap dan sering kali pintu kupu tarung dua lapis.

Kelenteng Cu An Kiong di Jalan Dasun.

Kelengkapan pemukiman di Lasem adalah kelenteng. Terdapat tiga kelenteng di kota ini.

2. Batik

Pekerja pada perajin batik di Lasem.

Batik Lasem bertipe khas pesisiran, memiliki warna dan motif yang berbeda dari batik di tempat lain di Jawa. Warna merah (warna darah ayam) yang kuat sering disebut-sebut sebagai khas dan tidak dapat dihasilkan di tempat lain.

3. Kondisi tinggalan arkeologis

Tinggalan dari masa lalu kawasan Lasem ini sebagian tersampaikan hingga sekarang. Sebagian telah hilang atau rusak, atau dimodifikasi.

4. Pelindungan-Pengembangan-Pemanfaatan

Hasil penataan kawasan Lasem di salah satu koridor jalan.

Sebagai warisan budaya, banyak bagian yang telah hilang, rusak, atau lapuk. Untuk melestarikannya, Lasem ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya oleh bupati Rembang. Penataan kawasan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk pelestarian Lasem, namun sempat memicu kontroversi.

Selain oleh pemerintah, pelestarian juga dilakukan oleh masyarakat.

Bacaan