Sedia Ransel sebelum Hujan

\

Aah… Nya’ banjir!
Jakarta kebanjiran, di Bogor angin ngamuk
Ruméh ané kebakaran garé-garé kompor meleduk
Ané jadi gemeteran, wara-wiri keserimpet
Rumah ané kebanjiran gara-gara got mampet

“Kompor Mleduk”. Benjamin S., 1970.

Jakarta kelihatannya terancam kebanjiran lagi, meskipun Pak Jokowi sudah blusukan hampir setiap hari. (( Update: paruh terakhir Desember 2012, beberapa jalan dan kampung sudah ‘tergenang’. )) Dua tahun lalu, saya merasakan akibat banjir ((Waktu itu disebut sebagai genangan air. )) di Jakarta itu. Jarak yang biasanya ditempuh selama empat puluh menit, dengan transjakarta plus jalan kaki, molor hingga lima setengah jam!

Jika gubernur sudah memikir yang makro–lingkup provinsi dan koordinasi dengan wilayah lain–kita perlu memikir juga tingkat pribadi. Salah satunya adalah dengan persiapan yang baik jika akan bepergian–dengan angkutan umum–agar tidak sengsara.

Ransel yang dapat dibawa sehari-hari rasanya cukup tepat untuk bersiap-siap menghadapi alam yang tak mau kompromi. Ransel dengan berbagai kantong di luar cukup pas untuk keperluan ini, agar kita tidak perlu membuka kantong utama untuk mencari barang tertentu. ((Hanya, kurang tahu apakah ransel lebih rawan pencopetan? )) Ransel dengan raincover akan lebih menghindarkan isi dari basah dan lebih mengamankan dari tangan jahil.

Artefak isi ransel

Berikut beberapa benda yang dapat menjadi isi ransel ‘siaga hujan’, untuk para commuter penumpang kendaraan umum seperti transjakarta.

  • Botol tentu dengan air minum isinya. Meski naik bis di Jakarta dan bukan naik unta di gurun, kita bisa saja dehidrasi. Oleh karena itu, siapkan air minum yang mudah dibawa. Letakkan di kantong samping ransel agar mudah dijangkau. Lalulintas sering macet, apalagi jika hujan dan kemudian banjir. Tidak setiap halte transjakarta terdapat mesin penjual minuman.
  • Payung atau jas hujan. Terutama jika kita harus berjalan dari angkutan umum ke kantor atau rumah dan sebaliknya. Tepat kata pepatah: “Sedia payung sebelum hujan.”
  • Sandal jepit. Benda ini berguna jika terpaksa harus berjalan di genangan air. Sayang, kan sepatu kita (itu jika kita mengenakan sepatu, lho). Atau sejak awal kita sudah mengenakan sepatu karet, seperti merk yang populer itu. Benda berguna ini kadang dijual di jembatan transjakarta. Tetapi, sebaiknya memang selalu mengenakan sepatu untuk melalui air banjir, sebagaimana anjuran IDI ((http://health.kompas.com/read/2013/01/17/14161695/IDI.Selalu.Gunakan.Sepatu.ke.Lokasi.Banjir))
  • Alat komunikasi. Bisa memberitahu keluarga bahwa kita perlu dijemput di suatu tempat atau memberitahu bahwa keadaan kita baik-baik saja, hanya sedang berada dalam kendaraan yang tidak dapat bergerak. Ibu-ibu mungkin harus menidurkan putra-putri mereka yang di rumah dengan menelepon dari bis. Bagus juga jika kita memberitahu kepada khalayak–lewat jejaring sosial–tentang kondisi lalu lintas dan jalan.
  • Benda pembunuh waktu. Jika terpaksa menunggu lama, kita dapat memanfaatkan waktu dengan mengerjakan sesuatu yang berharga (membaca buku, membuat rajutan) … atau sekedar menghilangkan kebosanan dengan mendengar lagu dari peranti mp3 ((Tentu headphone atau earphone diperlukan. Mungkin tetangga duduk kita di bis tidak suka lagu kita, atau lagi beda mood … )) atau memutar-mutar kotak rubik yang belum terpecahkan. Lumayan, daripada manyun.

Dua benda terakhir ini dapat diringkas menjadi satu: telepon genggam, benda ajaib di abad ke-21 ini. Entah, saya belum tahu ada ponsel yang dapat menjadi payung atau sandal. ((Jangan keliru dengan tempat air minum berbentuk telepon genggam… hehehe. )) [z]

ke atas

Ayo-ayo bersihin got Jangan takut badan blépot
Coba elu jangan ribut Jangan padé kalang kabut


Catatan kaki

Akronim

|

Kita rasanya tidak buruk-buruk amat dalam berbahasa. Ada kreativitas juga, salah satunya adalah penciptaan akronim. Entah apa yang menyebabkan kita melakukan kegiatan ekonomis berbahasa.

Contoh akronim populer adalah balon (bakal calon), pemilu (pemilihan umum), pilpres (pemilihan presiden), pilkada (pemilihan kepala daerah), dan cabup (calon bupati). Para balon itu juga membuat akronim, baik nama diri sendiri atau kesatuan cagub-cawagub/cabup-cawabup). Dulu Pak Joko Widodo menggunakan nama Jokowi yang masih melekat hingga sekarang. Sementara, akronim nama pasangan antara lain adalah Hati (Hj Tantri Hasan Aminuddin-Timbul Prihanjoko di Kab. Probolinggo, 2012).

Saking kreatifnya, kita juga mencipta akronim dari kata-kata serapan. Misalnya adalah infotainmen, dari informasi + entertainmen dan edutainmen (edukasi + entertainmen). Sinetron yang populer di televisi sekarang berasal dari kata sinema dan elektronik. Rasanya, akronim yang saya daftar itu termasuk berhasil karena kita gunakan dengan intensif. Kata-kata tersebut sangat sering muncul dalam berita cetak maupun elektronik.
Akronim bripda dan briptu juga mendadak sering disebut, bersamaan dengan munculnya polisi-polisi cantik (akronimnya polwan bukan polcan) di layar televisi. Meskipun saban hari mendengar, tetapi saya tetap kurang paham: seperti apa atau seberapa tinggi pangkat bripda dan briptu itu.

Anak muda juga mampu membuat akronim sendiri. Para bloger sering mengadakan kopdar (kopi darat). Di era media sosial digunakan secara luas seperti sekarang, tidak jarang kita menemukan curcol (curhat [curahan hati] colongan), yang tidak sengaja bocor. Di Yogyakarta akronim juga populer di kalangan anak muda yang sering kirim-kiriman lagu di radio: Jakal (Jalan Kaliurang), Jamal (Jalan Magelang), Paris (Parangtritis).

Akronim “Jokteng” sebagai sebuah merek rokok.

Sementara itu, nama kereta Prameks (Prambanan Ekspres) juga licin meluncur dari bibir para pelajo Yogya-Solo. Bonbin (kebon binatang) Gembiraloka (( Sekarang, seperti tertempel di kaca belakang taksi-taksi, dipopulerkan nama Gembiraloka Zoo … Yang ini saya nilai kurang kreatif. )) dan Jokteng (Pojok Beteng) sudah populer sejak dulu.

Orang Sunda berhasil dengan akronim untuk makanan terutama yang menggunakan bahan dasar ketela pohon. Ada cireng (=aci digoreng), cilok (=aci dicolok), mengikuti pendahulunya yang telah sukses seperti combro (oncom di jero), dan misro (amis di jero).

Saking popularnya akronim, sampai-sampai kita tidak sadar akan artinya. Antara lain adalah sembako. Banyak yang tahu bahwa kepanjangan ‘sembako’ adalah ‘sembilan bahan pokok’, tetapi rasanya sedikit orang yang tahu apa saja sembilan bahan pokok itu. (( Saya juga … ))

*

Bung Karno dulu juga penggemar akronim rupanya. Ingat Jasmerah, yang merupakan kependekan dari ‘Jangan sekali-kali melupakan sejarah’, atau berdikari, ‘Berdiri di atas Kaki Sendiri’, Tavip, ‘Tahun-tahun Vivere Pericoloso’. Akronim tersebut digunakan untuk memberikan judul pidato-pidatonya.

Presiden kita berikutnya, Pak Harto yang berkuasa pada masa Orba (akronim dari Orde Baru), juga suka membuat akronim. Bahkan, rasanya semua akronim yang kita gunakan sekarang warisan dari zamannya. ((Lebay, maksud saya rasanya akhir-akhir ini jarang muncul akronim baru selain yang digunakan dalam pemilu-pilpres-pilkada. Mungkinkah Densus (Detasemen Khusus) yang sekarang populer itu? )) Ada Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa), Golkar (Golongan Karya) ((Partai-partai kelihatannya sejak dulu suka berakronim. Tetapi, pada masa Orba, hanya Golkar yang berakronim)) ,. Pada saat bersamaan, militer sangat intensif menggunakan akronim. Paspampres, Kopassus, Polres, Polsek, (( zaman itu, polisi juga masuk ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang akronimnya adalah Abri. Menurut pedoman EYD, akronim yang dapat diucap seperti kata itu tidak ditulis dengan semua huruf besar. )) Koramil

Pada waktu itu, kota dan kabupaten juga memiliki akronim sebagai slogan untuk …. untuk apa ya? Misalnya Solo Berseri (Bersih-Sehat-Rapi-Indah), Magelang Gemilang (Gemah-Ripah-Iman-Cemerlang), Yogya Berhati Nyaman (Bersih-Sehat-Tertib-Indah-Nyaman-Aman). ((Semoga kepanjangannya benar. Tetangga saya membuat tulisan di depan rumahnya ‘Desa X Seadanya’ (Sehat-Aman-Damai-Nyaman) ))

Entah merupakan respon atas ‘hobi akronim’ rezim waktu itu atau tidak, para pendemo juga senang menggunakan akronim bahkan kadang terkesan ‘maksa’. Mereka menggunakan akronim untuk nama-nama kelompok. Saking kreatifnya, bahkan akronim tersebut memiliki arti sendiri, yaitu kata-kata yang berkait dengan gerakan, perubahan, pembelaan, dan sebagainya.

Masa presiden-presiden berikutnya, barangkali harpitnas, ( ‘hari kecepit nasional’ ) yang populer. Istilah ini rasanya merebak mulai zaman Presiden Megawati yang sering libur karena ada satu hari yang terjepit. Istilah resminya adalah cuti bersama.

*

Tentu sebagaimana umumnya bahasa yang merupakan hasil budaya manusia itu, tidak lantas semua akronim populer dan lestari. Beberapa akronim kelihatannya harus menyurut bahkan tersingkir dari komunikasi sehari-hari, seperti tersingkirnya burket (bubur ket*k) jika semua orang menggunakan rex*na roll.

Lusi (Lumpur Sidoarjo), kelihatannya tidak sudi menggantikan istilah ‘Lumpur Lapindo’, terbukti dari si Lusi yang tidak banyak disebut.

Wartel (warung telekomunikasi) pernah sangat produktif. Di mana-mana orang mendirikan wartel. Tetapi, begitu telepon genggam memasyarakat, mau tidak mau pengusaha wartel pada gulung tikar. Istilah wartel juga ikut digulung. Akronim ponsel (telepon selular) menggantikannya. (( Pernah ada proyek ambisius yang membuat semacam one-stop shopping di bidang ini, yaitu warparpostel (warung pariwisata pos dan telekomunikasi )) Saudaranya, warnet (warung internet) bisa ikut menyusul jika pengelola tidak kreatif. Warteg (warung tegal) masih eksis di Jakarta memenuhi salah satu kebutuhan primer warga. Warkop (warung kopi)? Mulai terganti café dan segenap warung kopi bermerk luar negeri, meskipun mungkin kopinya dari kita juga.

Toserba (toko serba ada), kelihatannya juga akan surut. Bukan karena ada istilah baru, tetapi toko swalayan menggantikan toko besar yang menjual berbagai barang tersebut. Rupanya, orang lebih suka mengambil sendiri barang yang hendak dibelinya daripada dilayani.

Gama (Gadjah Mada), akronim zadul (zaman dulu) untuk Universitas Gadjah Mada yang populer mungkin sebelum ’80-an, sekarang sudah jarang yang menyebutkannya. Untuk almamater ini lebih sering digunakan singkatan UGM. Meskipun demikian, akronim Gama masih tertinggal antara lain pada Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) dan Mapagama (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada). Istilah ‘Gama’ malah banyak digunakan oleh bimbingan tes yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan UGM.

Bekibolang (belok kiri boleh langsung), perilaku di jalan raya ini akan berkurang karena dianulir oleh Undang-Undang Lalu Lintas UU Nomor 22/2009, Pasal 112, Ayat 3, yang menyatakan bahwa “Pada persimpangan jalan yang dilengkapi Alat Pemberi Isyarat Lalu-Lintas, Pengemudi Kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh Rambu Lalu-Lintas atau Alat Pemberi Isyarat Lalu-Lintas.”

*

Akan tetapi, meskipun seperti telah disebut di atas bahwa akronim adalah hasil kreativitas berbahasa, ada akronim yang saya harap surut penggunaannya, karena tidak popular lagi sehingga tidak ada yang menggunakan. Akronim tersebut adalah narkoba (narkotika dan …. apa ya kelanjutannya? ). [z]

ke atas


Catatan Kaki

Bahasa Sinetron

\

*Mumpung Bulan Bahasa belum lama lewat ..

Mengapa ya, di televisi sekarang (( … atau memang sejak dulu dan saya baru nyadar sekarang? )) bertabur kata-kata “Ya sudah, kalau begitu…” atau tepatnya “Ya udah, kalo gitu…”. ((Mungkin bahasa Indonesia ‘baik dan benar’-nya adalah: “Ya sudah, jika demikian …” ))

Coba perhatikan sinetron-sinetron. Apakah karena jalan cerita sinetron sekarang sedemikian rupa ((‘Sedemikian rupa’ itu seperti apa, ya … Apa pula penyebabnya? )) sehingga untuk melanjut ke cerita berikutnya diperlukan frasa penghubung semacam itu.

Pembaruan: Setelah agak lama saya perhatikan, Kalimat tersebut juga muncul di acara-acara pentas, baik pentas musik maupun pentas adu bakat. Para penyaji (presenter) berbicara ke sana kemari dan salah satu akan menukas dengan berkata, “Ya udah …” atau seperti yang telah dikemukakan di atas, “Ya sudah kalau begitu …” [z]


Catatan Kaki

Rupiah

Hidup memang perlu rupiah
Tetapi bukan segalanya
Silakan mencari rupiah
Asal jangan halalkan cara

Rhoma Irama, “Rupiah”, 1975.

*int

Nama mata uang, tentu tidak ujug-ujug, tiba-tiba, ada. Ada beragam cerita di belakang pemberian nama mata uang. Mungkin yang paling terlacak dengan jelas sebab musabab dan latar belakang tersebut adalah Euro, mata uang yang baru diberlakukan sekitar sepuluh tahunan yang lalu di sebagian negara di Benua Eropa.

Saya belum tahu, atau lupa, tentang dongengan munculnya nama ‘rupiah’, mata uang kita. Yang jelas, Maladewa, satu negeri di Samudra Hindia sana, menggunakan nama yang mirip: rufiyaa. Sementara itu, beberapa negara di sekitar kita menggunakan nama ‘rupee’. Wikipedia:

Rupee adalah nama untuk jenis mata uang yang digunakan di beberapa negara, seperti: India, Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Mauritius, dan Seychelles. Di masa lalu, rupee juga merupakan mata uang yang digunakan di negara-negara Myanmar, Jerman dan jajahan Inggris di selatan Afrika. … Penamaan rupiah di Indonesia dan rufiyaa dari Maladewa merupakan penamaan uang yang berasal dari bahasa yang sama. ((id.wikipedia.org/wiki/Rupee))

Masih dari wikipedia, konon kata rupee berasal dari bahasa Sanskerta, raupya yang berarti ‘koin perak’. ((id.wikipedia.org/wiki/Rupee)) ((Prof. Timbul Haryono, dalam makalah untuk seminar PIA V tahun 1989 menulis bahasa sanskerta [atau jawa kuna?] logam perak ini sebagai rūpya. ))

Mungkin nama-nama mata uang tadi bersumber pada akar yang sama, raupya, yang kemudian bercabang, satu berkembang menjadi rupiah dan rufiyaa, dan cabang lain menjadi rupee (Bagaimana mengucapkannya, ‘rupi’?). Perlu kajian linguistik bandingan historis untuk menelusuri hal ini.

*

Selain rupiah, kita juga mengenal istilah-istilah lain yang berkaitan dengan uang, mata uang, atau satuan mata uang. Istilah tersebut beredar terbatas pada wilayah tertentu, etnis tertentu, atau bahkan mungkin hanya beredar di cerita-cerita silat. Berikut sebagian yang teringat.

Bénggol, sebutan untuk mata uang zaman Hindia-Belanda, yang hingga beberapa waktu yang lalu masih beredar di masyarakat untuk kerokan. Entah, apa memang dahulu disebut dengan bénggol, atau karena bentuknya besar, paling besar di antara mata uang zaman kerokan belum menggunakan balsem b*lpirik.

Kita juga mengenal istilah ‘bénggol’ di Jawa untuk menjuluki bos, bas, dari suatu gerombolan: bénggolé atau bénggolané. Konon, uang benggol berbahan tembaga (belakangan perungu) senilai 2,5 sen. Uang ini merupakan satu dari seri koin pertama terbitan Hindia-Belanda yang memiliki tiga bahasa (Jawa, Arab-Melayu dan Belanda). Fisiknya tebal, berat dan besar dibanding koin-koin pecahan lainnya. ((Surabaya Tempo Dulu, seperti dikutip http://phesolo.wordpress.com/2012/07/27/penukar-uang-geldwisselaars-pada-masa-kolonial/ ))

Duit. Kata ini terdapat pada koin VOC, baik dieja “duit” maupun “doit”. Duit adakah istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut uang. Konon, dalam bahasa Belanda, duit berarti “koin kecil dari tembaga”. Ada yang menyatakan satu duit seharga 120 rupiah.

Gélo. Zaman krupuk masih seharga lima rupiah atau ‘mangpi’, masih dijumpai istilah segelo (satu gelo), rong gélo (dua gélo), limang gélo atau ‘mang gélo (lima gélo), ((Di suatu wilayah di Klaten akhir ’70-an dulu bahkan disingkat lagi ‘manggik’ )) yang sama artinya dengan satu rupiah dst.

Gobang. Majalah Gatra online mendefinisikannya sebagai “mata uang receh jaman penjajahan Belanda.” ((arsip.gatra.com/majalah/gobang.php)) Mungkin yang dimaksud adalah sebutan untuk uang receh (koin) zaman penjajahan dulu..

Gobog, sebutan orang Jawa untuk semua jenis uang koin kuno yang berlubang di tengah, baik uang Cina maupun uang Jawa. ((eonet.ne.jp/~limadaki/uangkuno/coin/gobog.html))

lip, yaitu uang sebesar 5 sen.

Kèpèng. Di cerita-cerita silat sering kita jumpai istilah ini. Apakah ini sama dengan (atau kemudian menjadi) ‘keping’? Menurut wikipedia, kepeng adalah uang logam yang berlubang di tengahnya. ((id.wikipedia.org/wiki/Kepeng)) Di Bali, uang ini disebut juga pis bolong atau pipis bolong, yang masih diproduksi dan digunakan untuk benda upacara dan kemudian juga cendera mata.

Kêthip, yaitu uang senilai sepuluh sen.

Pérak. Seperti telah disebut di atas, rupee (dan kemudian rupiah) berasal dari kata rupya yang berarti perak. Sekarang istilah perak ini masih kadang muncul, untuk menyebut satuan-satuan kecil dalam percakapan informal. Lima perak, seribu perak …. Rasanya tidak pernah terdengar orang menyebut ‘semilyar perak’. Apakah ini gejala bahasa peyoratif, yang merendah(-kan) seperti ‘Hanya lima perak… ‘, atau karena hanya uang satuan kecil lah yang menggunakan bahan logam.

Picis. Terdapat istilah ‘mas, picis, rajabrana’ dalam sastra Jawa, seperti yang diucapkan seorang dalang atau protokol mantèn dalam kaitan dengan harta kekayaan.

Rècèh, uang koin? uang kecil?

Ringgit. Meskipun digunakan juga oleh negeri jiran Malaysia, kita juga mengenal istilah ringgit, yaitu uang sebesar 2,5 rupiah. Dulu ibu saya masih menggunakan satuan ringgit untuk membeli lombok di warung. Akhirnya, ringgit juga digunakan untuk menyebut 2.500 rupiah dalam percakapan penjual dan pembeli di pasar. Faktor ‘dua setengah’ tadi menjadi dasar dari perhitungan ringgit.

Apakah istilah ‘ringgit’ berkait dengan uang ini berhubungan dengan ‘ringgit’ yang berarti ‘wayang’ dalam bahasa Jawa halus? Gobog Jawa memang bergambar wayang, sebagaimana dilukiskan oleh Raffles dalam buku History of Java. Fungsi koin ini tidak jelas, apakah sebagai alat pembayaran atau semacam jimat. ((http://help.kintamoney.com/wiki/Koin_Gobog_Wayang))

Ripis, atau répés. Berasal dari kata ‘rupee’?

Sen, seperseratus. Ingat persen?

Tali atau talèn. Ingat frasa (?) ‘setali tiga uang’? Konon dahulu terdapat ikatan uang logam senilai 25 sen, terdiri atas tiga uang, yaitu dua keping 10 sen dan sekeping 5 sen. Maka, beberapa uang memiliki lubang di tengah untuk tempat masuk tali pengikat.

*

Cah Yojå, Yogya, bilang: “Poya mothig poya håhå.” Ora (duwé) dhuwit ora påpå. [z]

ke atas


Catatan kaki