Uang Bagus

|

Kehebohan menjelang perayaan lebaran tidak saja urusan harga sembako yang naik dan masalah transportasi mudik sekaligus jalurnya yang dipertanyakan kesiapannya. Urusan yang kelihatannya remeh ternyata juga dapat menjadi masalah besar: penukaran uang baru, dalam arti uang yang masih bagus, bukan yang baru keluar dari percetakan.

Tradisi memberi uang kepada anak-anak pada saat lebaran bukan sekedar memberi uang nominal. Agaknya para orang tua tidak enak jika memberi uang lusuh meski untuk anak-anak. Meski mereka toh tidak akan meneliti uang seperti pedagang uang yang akan menukar dolar kita, namun senyum anak-anak menerima uang baru itu dirasa sangat menyenangkan.

Maka, menjelang lebaran orang-orang ramai antre di beberapa kantor bank untuk ‘membarukan’ uang. Uang yang sudah lusuh atau agak lecek ditukar dengan uang yang masih kinyis-kinyis. Uang itu masih ‘berbau uang’ dan bukannya berbau terasi. Di pinggir Jalan P. Senopati, Yogyakarta, juga ramai orang menjajakan uang baru bagi mereka yang malas antre di Bank Indonesia.

Biasanya para penukar hanya menukar dalam jumlah sekedarnya. Akan tetapi secara akumulatif ternyata besar juga. Terlihat di berita-berita bahwa di beberapa kota penukaran sehari dapat mencapai 4-5 milyar. Konon, BI Pekanbaru menyiapkan 70 milyar untuk penukaran angpau lebaran kali ini … ((http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=62505. Update: orang BI yang diwawancara salah satu televisi, 26 Juli 2013, mengatakan bahwa BI menyediakan 9,7 trilyun rupiah untuk seluruh Indonesia. ))

***

Guru ekonomi saya sewaktu SMA dulu, semoga beliau dirahmati Allah, mengatakan bahwa terdapat hukum “bad money drives out good money”. Uang jelek mengusir uang bagus. Kita akan mengeluarkan uang jelek untuk keperluan transaksi, sementara uang bagus kita simpan. Maka, yang beredar senyatanya adalah uang jelek.

Akan tetapi, tentunya tidak jelek-jelek amat. Suatu ketika uang akan mampir ke bank. Uang yang secara fisik jeleknya tidak ketulungan akan dimusnahkan dan bank akan mengganti dengan uang bagus. Oleh karena itu, uang yang beredar tetap layak untuk dibawa dan dipertukarkan.

Dikaitkan dengan uang lebaran tadi, barangkali ungkapan guru saya tersebut benar jika anak-anak eman-eman membelanjakan uang baru mereka dan memilih menyimpannya … Bagi bank sendiri, penukaran uang ini menjadi kesempatan untuk menarik uang jelek dan mengganti dengan uang bagus. Jadi, uang bagus ada di masyarakat meski mungkin tidak dibelanjakan.

***

Suatu kesempatan saya pergi ke suatu pulau kecil berjarak dua puluhan jam dari ibukota provinsi menggunakan feri penyeberangan. Tidak terpencil sekali, kapal milik Pelni menyinggahi pelabuhan dua kali setiap pekan dan setiap hari terdapat penerbangan dari satu bandara kecil. Ibukota kabupaten berada di pulau tersebut sehingga terdapat keramaian pasar yang lumayan. Waktu itu uang yang saya bawa bukanlah uang baru, akan tetapi di tempat tersebut tetap paling ‘nggantheng‘. Setiap mendapat kembalian dari penjual, selalu uang kluwus

Mungkin tidak ada tradisi memberi angpau uang baru di tempat tersebut …

***

Satu insiden kecil terjadi sewaktu saya dan beberapa teman pergi ke kompleks Candi Borobudur dengan menumpang mobil minibus. Sewaktu menerima uang parkir dari seorang teman yang mengemudi, si embak di loket parkir nyeletuk: “Wonge bagus kok dhuwite elek…”

Aiyah! Apa hubungane, Mbak? [z]

ke atas

Catatan Kaki

Rupiah

Hidup memang perlu rupiah
Tetapi bukan segalanya
Silakan mencari rupiah
Asal jangan halalkan cara

Rhoma Irama, “Rupiah”, 1975.

*int

Nama mata uang, tentu tidak ujug-ujug, tiba-tiba, ada. Ada beragam cerita di belakang pemberian nama mata uang. Mungkin yang paling terlacak dengan jelas sebab musabab dan latar belakang tersebut adalah Euro, mata uang yang baru diberlakukan sekitar sepuluh tahunan yang lalu di sebagian negara di Benua Eropa.

Saya belum tahu, atau lupa, tentang dongengan munculnya nama ‘rupiah’, mata uang kita. Yang jelas, Maladewa, satu negeri di Samudra Hindia sana, menggunakan nama yang mirip: rufiyaa. Sementara itu, beberapa negara di sekitar kita menggunakan nama ‘rupee’. Wikipedia:

Rupee adalah nama untuk jenis mata uang yang digunakan di beberapa negara, seperti: India, Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Mauritius, dan Seychelles. Di masa lalu, rupee juga merupakan mata uang yang digunakan di negara-negara Myanmar, Jerman dan jajahan Inggris di selatan Afrika. … Penamaan rupiah di Indonesia dan rufiyaa dari Maladewa merupakan penamaan uang yang berasal dari bahasa yang sama. ((id.wikipedia.org/wiki/Rupee))

Masih dari wikipedia, konon kata rupee berasal dari bahasa Sanskerta, raupya yang berarti ‘koin perak’. ((id.wikipedia.org/wiki/Rupee)) ((Prof. Timbul Haryono, dalam makalah untuk seminar PIA V tahun 1989 menulis bahasa sanskerta [atau jawa kuna?] logam perak ini sebagai rūpya. ))

Mungkin nama-nama mata uang tadi bersumber pada akar yang sama, raupya, yang kemudian bercabang, satu berkembang menjadi rupiah dan rufiyaa, dan cabang lain menjadi rupee (Bagaimana mengucapkannya, ‘rupi’?). Perlu kajian linguistik bandingan historis untuk menelusuri hal ini.

*

Selain rupiah, kita juga mengenal istilah-istilah lain yang berkaitan dengan uang, mata uang, atau satuan mata uang. Istilah tersebut beredar terbatas pada wilayah tertentu, etnis tertentu, atau bahkan mungkin hanya beredar di cerita-cerita silat. Berikut sebagian yang teringat.

Bénggol, sebutan untuk mata uang zaman Hindia-Belanda, yang hingga beberapa waktu yang lalu masih beredar di masyarakat untuk kerokan. Entah, apa memang dahulu disebut dengan bénggol, atau karena bentuknya besar, paling besar di antara mata uang zaman kerokan belum menggunakan balsem b*lpirik.

Kita juga mengenal istilah ‘bénggol’ di Jawa untuk menjuluki bos, bas, dari suatu gerombolan: bénggolé atau bénggolané. Konon, uang benggol berbahan tembaga (belakangan perungu) senilai 2,5 sen. Uang ini merupakan satu dari seri koin pertama terbitan Hindia-Belanda yang memiliki tiga bahasa (Jawa, Arab-Melayu dan Belanda). Fisiknya tebal, berat dan besar dibanding koin-koin pecahan lainnya. ((Surabaya Tempo Dulu, seperti dikutip http://phesolo.wordpress.com/2012/07/27/penukar-uang-geldwisselaars-pada-masa-kolonial/ ))

Duit. Kata ini terdapat pada koin VOC, baik dieja “duit” maupun “doit”. Duit adakah istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut uang. Konon, dalam bahasa Belanda, duit berarti “koin kecil dari tembaga”. Ada yang menyatakan satu duit seharga 120 rupiah.

Gélo. Zaman krupuk masih seharga lima rupiah atau ‘mangpi’, masih dijumpai istilah segelo (satu gelo), rong gélo (dua gélo), limang gélo atau ‘mang gélo (lima gélo), ((Di suatu wilayah di Klaten akhir ’70-an dulu bahkan disingkat lagi ‘manggik’ )) yang sama artinya dengan satu rupiah dst.

Gobang. Majalah Gatra online mendefinisikannya sebagai “mata uang receh jaman penjajahan Belanda.” ((arsip.gatra.com/majalah/gobang.php)) Mungkin yang dimaksud adalah sebutan untuk uang receh (koin) zaman penjajahan dulu..

Gobog, sebutan orang Jawa untuk semua jenis uang koin kuno yang berlubang di tengah, baik uang Cina maupun uang Jawa. ((eonet.ne.jp/~limadaki/uangkuno/coin/gobog.html))

lip, yaitu uang sebesar 5 sen.

Kèpèng. Di cerita-cerita silat sering kita jumpai istilah ini. Apakah ini sama dengan (atau kemudian menjadi) ‘keping’? Menurut wikipedia, kepeng adalah uang logam yang berlubang di tengahnya. ((id.wikipedia.org/wiki/Kepeng)) Di Bali, uang ini disebut juga pis bolong atau pipis bolong, yang masih diproduksi dan digunakan untuk benda upacara dan kemudian juga cendera mata.

Kêthip, yaitu uang senilai sepuluh sen.

Pérak. Seperti telah disebut di atas, rupee (dan kemudian rupiah) berasal dari kata rupya yang berarti perak. Sekarang istilah perak ini masih kadang muncul, untuk menyebut satuan-satuan kecil dalam percakapan informal. Lima perak, seribu perak …. Rasanya tidak pernah terdengar orang menyebut ‘semilyar perak’. Apakah ini gejala bahasa peyoratif, yang merendah(-kan) seperti ‘Hanya lima perak… ‘, atau karena hanya uang satuan kecil lah yang menggunakan bahan logam.

Picis. Terdapat istilah ‘mas, picis, rajabrana’ dalam sastra Jawa, seperti yang diucapkan seorang dalang atau protokol mantèn dalam kaitan dengan harta kekayaan.

Rècèh, uang koin? uang kecil?

Ringgit. Meskipun digunakan juga oleh negeri jiran Malaysia, kita juga mengenal istilah ringgit, yaitu uang sebesar 2,5 rupiah. Dulu ibu saya masih menggunakan satuan ringgit untuk membeli lombok di warung. Akhirnya, ringgit juga digunakan untuk menyebut 2.500 rupiah dalam percakapan penjual dan pembeli di pasar. Faktor ‘dua setengah’ tadi menjadi dasar dari perhitungan ringgit.

Apakah istilah ‘ringgit’ berkait dengan uang ini berhubungan dengan ‘ringgit’ yang berarti ‘wayang’ dalam bahasa Jawa halus? Gobog Jawa memang bergambar wayang, sebagaimana dilukiskan oleh Raffles dalam buku History of Java. Fungsi koin ini tidak jelas, apakah sebagai alat pembayaran atau semacam jimat. ((http://help.kintamoney.com/wiki/Koin_Gobog_Wayang))

Ripis, atau répés. Berasal dari kata ‘rupee’?

Sen, seperseratus. Ingat persen?

Tali atau talèn. Ingat frasa (?) ‘setali tiga uang’? Konon dahulu terdapat ikatan uang logam senilai 25 sen, terdiri atas tiga uang, yaitu dua keping 10 sen dan sekeping 5 sen. Maka, beberapa uang memiliki lubang di tengah untuk tempat masuk tali pengikat.

*

Cah Yojå, Yogya, bilang: “Poya mothig poya håhå.” Ora (duwé) dhuwit ora påpå. [z]

ke atas


Catatan kaki