Iduladha 1446

\

Kali ini, setelah sekian tahun, saya kembali salat iduladha di Yogyakarta, meski agak bergeser sedikit dari biasanya di Alun-Alun Lor, yaitu menjadi di halaman Masjid Gedhe Kauman karena alun-alun tersebut sudah tidak lagi digunakan untuk kegiatan publik. Eh, geser juga, bukan di halaman melainkan di depan gerbang karena di halaman sudah terlihat penuh.

Biasanya kami salat iduladha di sekitar tempat tinggal kami yang cukup jauh dari Yogyakarta. Selesai salat di lapangan akan langsung disusul dengan menyembelih hewan kurban bersama tetangga di lingkungan RT. Kebetulan kali ini, karena bertepatan dengan hari Jumat, dan sepertinya para tetangga masih tidak bertenaga setelah kemarin menghadiri satu acara pernikahan di Madiun, maka kurban diundur hingga besok pagi.

Di Masjid Gedhe ini salat dimulai pukul 06.50. Dagdigdug juga karena tadi kesiangan berangkat dan di salah satu lokasi yang kami lewati, yaitu SD Kraton di Jalan Ngasem, salat sudah dimulai. Tetapi memang kebiasaan keluarga besar kami untuk datang mepet, mungkin karena tempatnya relatif dekat dari rumah.

Tanda parkir, diperoleh dengan membayar tentunya.

Karena sudah cukup siang, maka saya mendapat parkir agak ke arah barat di Jalan Kauman. Namun sebenarnya salat id kali ini tidak terlalu ramai, di depan gerbang masjid itu masih cukup banyak tempat kosong pada jam yang sudah agak siang ini.

Rangkaian acara di Masjid Gedhe pagi ini cepat selesai karena khotbah yang disampaikan relatif singkat. Khotbah ini seingat saya membahas surat Al Kautsar, tentang perintah salat yang diikuti dengan perintah kurban, tanpa menyinggung masalah historis nabi Ibrahim dahulu atau konteksnya dengan situasi sekarang. Khotbah panjang terkait dengan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail justru muncul di Masjid Sokotunggal Tamansari saat salat jumat di siang hari.

***

Berbeda dari salat idulfitri, kali ini waktu sebagian warga lebih longgar setelah kembali dari lapangan atau masjid. Banyak warga kota setelah salat iduladha pergi ke warung soto mungkin juga karena tidak menyiapkan ketupat dan lontong opor di rumah. Tanpa menyadari bahwa potensi keramaian ini akan demikian parah, kami juga pergi mencari sarapan soto setelah salat. Di warung soto ala Boyolali di Wirobrajan tidak mendapat tempat duduk, pindah ke Kadipiro, tetapi parkir sulit didapat karena kedua sisi sudah penuh kendaraan. Akhirnya menemukan tempat yang agak luang di satu warung soto Nitiprayan meski pengunjungnya juga sangat banyak.

Mungkin lama-kelamaan hal ini akan menjadi ritual kota: berkunjung ke warung soto setelah salat id. Twitter (X) Muhammadiyah pagi ini juga bertanya: apa sarapan setelah salat id. Sebagian menjawab: soto.

Soto Pak Pur di Nitiprayan, sarapan pascasalat id pagi ini.

Baca juga:

***

Di masjid-masjid dilaksanakan penyembelihan hewan kurban. Terdengar dari menara masjid di sebelah selatan sana kurang lebih “Sekarang penyembelihan kambing nomor sekian, milik Ibu Hajah Anu.” Sekitar pukul 10 pagi, terdengar bahwa telah sampai kepada kambing terakhir nomor 24 dan disusul dengan sapi, yang hingga menjelang jam dua siang sudah menyembelih 8 ekor. Masjid ini tidak begitu besar dan berada di tengah kampung.

Kambing nomor 24!

Besok pagi kami akan melakukan penyembelihan dengan warga RT. Sampai saat ini panitia sudah mendapatkan satu sapi dan satu kambing dari shahibul qurban di berbagai tempat.

***

Selamat merayakan Iduladha 1446, semoga kita dapat meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. [z]

Adaptasi Mantenan Baru

[]

Pandemi tidak menghalangi para pasangan yang akan menikah, atau orang tua mereka, untuk menggelar upacara dan resepsi. Namun, tentu ada penyesuaian-penyesuaian agar perhelatan dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan kasus penularan Covid-19.

Dari beberapa mantenan yang saya ikuti, terdapat beberapa ragam “keketatan” pada protokol kesehatan.

*

Satu mantenan diselenggarakan dengan gaya tradisional Jawa yang dapat dikatakan penuh dan runtut. Acara mulai dari siraman, midodareni, ijab, panggih, hingga resepsi. Beberapa prosedur kesehatan ditambahkan, seperti pengaturan duduk, tes suhu tubuh, cuci tangan, serta mengenakan masker.

Poster arahan kepada para tetamu.

Sebagai bagian dekorasi juga terdapat poster peringatan protokol kesehatan. Cendera mata dari acara ini berupa penyanitasi tangan dan masker. Cocok untuk situasi kemini. Tetamu tidak menulis nama, tetap dituliskan oleh penerima tamu. Para panitia, selain mengenakan masker, juga pelindung wajah (face shield).

*

Mantenan satunya, berupaya memecah “kerumunan” dengan membuat acara yang sederhana, dan terpecah-pecah. Undangan dibagi menjadi tiga, di rumah, di gereja, serta di hotel. Di salah satu acara, setidaknya, protokol kesehatan juga diterapkan, dengan cek suhu tubuh, mengenakan masker, sanitasi tangan, bahkan untuk mengambil makanan prasmanan, masing-masing tamu diberi sarung tangan plastik. Tidak kurang dari itu, cendera mata yang dibagikan kepada tetamu juga penyatinasi tangan.

Salah satu mantenan menghitung jumlah tetamu yang ada di dalam lokasi. Jika masih penuh sesuai syarat, maka tetamu berikutnya diminta untuk menunggu. Untuk itu disediakan tempat di dekat parkiran dengan kursi. Setelah tetamu di dalam berkurang, maka tetamu yang menunggu tersebut dipersilakan masuk.

Di dalam lokasi, terdapat tulisan yang menganjurkan agar tetamu segera meninggalkan tempat seusai makan.

*

Satu mantenan lagi lebih ketat. Di undangan sudah disebutkan protokol kesehatan seperti umumnya, serta disyaratkan lagi surat keterangan tes dari lab, berupa swab antigen atau pcr, untuk tetamu dari luar provinsi.

Karena saya harus menyeberang provinsi, maka saya juga tes di satu lab.

Di lokasi, tersedia bakcuci tangan berderet-deret. Di penerima tamu akan mencentang nama tamu yang hadir di daftar tamu. Mestinya sambil memeriksa surat keterangan dari lab, yang saya lihat menumpuk di satu kotak. Among tamu berderet seperti biasa, dan tamu diminta berjalan di bawah panggung, tidak bersalaman dengan orang tua dan pengantin. setelah itu, mengambil suvenir, diberi hamper berisi kotak makan, dan pulang.

Praktis, tidak ada sentuh-sentuhan fisik.

Namun memang rasanya aneh karena sepi. Keluarga yang biasanya duduk menumpuk di suatu sudut, kali ini tidak ada. Perayaan yang mestinya ramai, menjadi senyap.

*

Hal-hal itu memang konsekuensi yang harus dilakukan bila melakukan pernikahan di masa pandemi ini. Risiko penularan harus diperkecil agar acara yang meriah-gempita dapat segera dihadirkan lagi setelah pandemi dapat terkendali. [z]

Manten

\

Sering kita menghadiri undangan perkawinan, namun sebenarnya yang kita hadiri hanyalah resepsinya. ‘Upacara’ perkawinan memang terlihat difokuskan kepada penerimaan tamu (resepsi), yang kadang hingga mengundang ribuan orang. Rangkaian upacara lain tidak dirayakan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kerabat dan teman dekat.

Ritus perkawinan juga mengalami perubahan dari masa ke masa, terutama pada bagian ‘kembangan’, bukan pada perkara inti yang terdiri atas lamaran dan akad nikah. Maka mencatat tatacara perkawinan berdasar apa yang dilakukan masyarakat dan bukan berdasar buku pakem, dapat menjadi hal yang perlu dilakukan.

***

Menurut apa yang saya amati, masyarakat (Jawa, muslim) membuat serangkaian ritus perkawinan itu mulai dari lamaran hingga ngundhuh mantu. Beberapa minggu yang lalu saya diundang saudara untuk menghadiri acara lamaran. Pihak laki-laki, yang kebetulan berasal dari luar Jawa, datang ke rumah pihak perempuan. Seorang wakil keluarga, berbicara kepada pihak perempuan bahwa ‘apabila belum ada pembicaraan dengan pihak lain, maka keluarga pihak laki-laki akan melamar putri …’. Karena si anak laki-laki tersebut sudah berpacaran beberapa lama dengan anak perempuan yang punya rumah, dan mestinya sudah diperkenalkan dengan baik kepada keluarga, maka lamaran pun diterima.

Acara dilanjutkan dengan tukar cincin (disebut ‘tukar’ meski rasanya mereka hanya saling memasangkan cincin yang diambil dari wadah yang sama), foto bersama, dan kemudian makan bersama. Perkara tukar cincin ini, konon tidak dilakukan dalam gaya Yogyakarta. Atau, bahkan tidak dilakukan dalam adat Jawa dan diduga merupakan pengaruh Eropa.

Secara informal maupun formal, kedua keluarga kemudian membicarakan hari pernikahan, syarat-syaratnya, dan sebagainya. Keluarga kemudian sibuk mengurus pernak-pernik pernikahan, seperti undangan, suvenir, katering, gedung, dan pakaian baik untuk pengantin, orang tua, maupun keluarga lain. Tetangga dan teman dekat akan dilibatkan dalam kegiatan dengan diadakan rapat khusus yang di Solo disebut dengan kumbokarnan. Entah kenapa acara itu disebut dengan nama ksatria dari Alengka, Kumbokarno.

• Tentang suvenir, baca di sini.

Surat-surat kemudian diurus ke kantor KUA di tempat pihak perempuan berada. Tidak hanya surat-surat, calon pengantin perempuan pun harus imunisasi ke puskesmas. Kedua calon pengantin kemudian melakukan semacam penataran, atau dinasehati perkara perkawinan, di kantor KUA oleh petugas. Biasanya acara ini dilakukan bersamaan dengan pasangan calon lain. Namun, bersamaan dengan saya dahulu ada seorang laki-laki yang akan menikah lagi sehingga pasangan itu diberi nasihat tambahan secara terpisah.

***

Sehari sebelum tanggal pernikahan, kadang diadakan upacara siraman, yaitu memandikan calon pengantin. Tempat siraman berada di rumah masing-masing, meski dapat juga pihak laki-laki numpang di tempat perempuan. Salah satu alasannya menumpang tersebut misalnya adalah karena rumah jauh, padahal nanti akan dibawakan air dari pihak perempuan untuk dicampur pada air yang akan digunakan untuk memandikan calon pengantin laki-laki. Orang tua calon pengantin memandikan, diikuti oleh para tetua atau orang-orang yang dihormati.

Bersamaan dengan itu, tuan rumah menghiasi tempat yang akan digunakan untuk upacara keesokan harinya. Secara simbolis diadakan acara memasang bleketepe, yaitu sebangsa papan anyaman daun kelapa, di depan pintu rumah atau pendapa. Pemasangan tersebut dilakukan oleh orang tua calon pengantin perempuan. Tentu karena acara diselenggarakan di tempat pihak perempuan. Namun, Pak Jokowi konon juga memasang bleketepe di rumahnya ketika menikahkan putranya.

Pada malam harinya diselenggarakan upacara midodareni di rumah calon mempelai perempuan. Biasanya upacara ini disertai dengan upacara lain, seperti menyerahkan paningset (srah-srahan), dan tantingan. Jika masih ada kakak perempuan yang belum menikah maka diadakan upacara langkahan. Di wilayah Solo bahkan juga diserahkan calon pengantin laki-laki. Di wilayah tersebut juga diselenggarakan ‘nebus kembar mayang‘. Acara tersebut dilakukan dengan dialog dan tembang.

Namun, sekarang banyak yang mengganti upacara midodareni dengan pengajian.

Eh, kadang acara lamaran tidak diselenggarakan jauh-jauh hari, namun menjadi rangkaian acara pernikahan. Hal ini seperti dilakukan oleh Pak Jokowi yang akan menikahkan anaknya di Solo itu. Ia melamar dua hari sebelum akad nikah. Lamaran atau disebut tembungan itu dilakukan dengan mendatangi kediaman calon mempelai perempuan. Karena persiapan untuk keseluruhan acara sudah mendekati seratus persen, maka lamaran ini terlihat hanya formalitas. Mestinya sudah ada pembicaraan di antara kedua keluarga.

***

Pagi harinya, sesuai dengan waktu yang dianggap tepat, dilakukan akad nikah. Pada dasarnya, orang tua calon pengantin perempuan menikahkan anaknya kepada calon pengantin laki-laki. Dua orang saksi, satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak perempuan akan menyaksikan akad ini. Seorang petugas negara dari Kantor Urusan Agama akan mencatat peristiwa tersebut dan memberi buku nikah yang berisi kutipan akta nikah.

Tempat akad nikah seringnya adalah di rumah perempuan. Kadang, acara tersebut tidak diselenggarakan di rumah melainkan harus pergi ke KUA, atau ke masjid di dekat rumah, atau masjid yang terkenal. Terkadang juga dilakukan di tempat akan diadakannya resepsi, mungkin demi praktisnya.

Acara berikut adalah panggih. Mempelai perempuan yang tidak hadir dalam upacara akad nikah, akan dipertemukan untuk pertama kali dengan pengantin laki-laki. Upacara tersebut dilakukan di pendapa. Setelah itu diadakan acara di dalam rumah, atau dalem, yaitu kacar-kucur, dan kembul. Ada upacara ‘timbangan’ juga, yaitu ayah mempelai perempuan memangku kedua mempelai dan berkata: beratnya sama. Saya tidak tahu apakah hanya gaya Solo atau Jogja juga menyelenggarakan upacara timbangan ini.

Jika pengantin perempuan adalah anak terakhir yang akan dinikahkan dalam keluarganya, kadang diadakan upacara tumplak punjen. Ibu pengantin akan memberikan berbagai peralatan dapur kepada para tamu.

Acara biasanya sudah dihadiri pihak keluarga. Acara berikutnya adalah makan bersama, atau di kraton disebut dengan dhahar klimah. Yang menarik adalah bahwa acara makan tersebut diselenggarakan di Kesatriyan, yang menjadi tempat tinggal pengantin baru di kompleks kediaman para pangeran laki-laki.

Setelah itu baru acara resepsi. Tamu-tamu datang menyalami kedua pengantin dan keempat orang tua yang berdiri di depan pintu rumah (dalem).

Kadang upacara seharian yang cukup panjang ini diringkas, meski sering kali akad nikah tetap disendirikan. Hal ini terutama dalam resepsi dengan pesta duduk. Tetamu yang datang akan juga mengikuti seluruh rangkaian upacara, dari panggih hingga selesai, yang memakan waktu hingga dua jam. Makan bagi tetamu disampaikan dengan cara ‘piring terbang’ atau ‘usdek’. Sering juga dipentaskan organ tunggal dengan penyanyi setempat.

***

Akhir dari rangkaian acara panjang ini adalah boyongan. Pada hari yang sama atau menunggu beberapa hari kemudian, pengantin diboyong ke pihak laki-laki dalam acara acara ngundhuh mantu. Pada salah satu acara semacam itu di wilayah Kabupaten Magelang, pertangahan 2015 yang lalu terdapat acara pasrah-tampa dan nasihat dari penceramah agama. Sebagaimana umumnya, resepsi untuk tetamu pada acara tersebut dilakukan secara usdek.

• Tentang pidato, silakan tengok Mantra.

Begitu. Tentu banyak ragam tatacara pernikahan di antara masyarakat yang menjadi kekayaan budaya. [z]

ke atas