GHS, 25 tahun yang lalu
\
Tak terasa, sudah lebih dari seperempat abad kutinggalkan almamater yang satu ini, SMA Negeri 1 Magelang. Bulan Agustus dan Desember tahun ini teman-teman Angkatan 19871 mengadakan reuni tetapi tetapi sayang saya tidak berkesempatan datang.2
Berikut catatan ngalor-ngidul seingat saya. CMIIW, teman.
# Magelang
Kurang lengkap rasanya mengenang GHS tanpa membicarakan lingkungan sekitarnya, kota Magelang. Waktu itu, Taman Kyai Langgeng belum ada, baru cikal bakalnya yang disebut dengan TB atau Taman Bunga. Pada akhir masa sekolah pun baru beberapa fasiltas yang dibangun, seperti jembatan dan patung dinosaurus, juga sarana taman standar lain seperti kolam renang, jungkat-jungkit, dan ‘ombak banyu’ muter itu.
- Cerita lebih lengkap tentang kota Magelang pada pertengahan 80-an klik di sini.
# GHS
Sekolah yang sekarang di dekatnya berdiri Taman Kyai Langgeng ini juga sering secara populer menyebut dirinya dengan nama Gladiool High School, atau GHS. Hal ini lantaran di dekatnya terdapat satu taman–yang kelihatannya sekarang sudah menjadi kompleks perumahan– bernama Gladiool, atau sering diucap ‘gradiol’.
# Kompleks Sekolah
Berada di tempat yang tidak begitu luas, fasilitas gedung cukup terbatas waktu itu. Satu gedung utama berlantai tiga yang berasal dari tahun 50-an3, satu gedung perpustakaan, satu gedung kelas yang terpisah, laboratorium fisika, biologi, dan kimia, juga sebuah aula.
Mushola pada masa awal masih berada satu gedung dengan berbagai fasilitas lain seperti ruang pramuka. Baru pada tahun kedua atau ketiga, sebuah mushola kecil dibangun di sudut barat. Hampir bersamaan, dibangun juga laboratorium bahasa. Kantin nempel di tembok belakang. Lapangan basket dan tenis menjadi satu di sisi timur, di pinggir lapangan upacara.
Gedung lantai tiga tersebut pada waktu itu menjadi kebanggaan. Pada satu acara karnaval di kota Magelang, mungkin menyambut tujuh belasan, sekolah membuat maket gedung ukuran besar dengan tripleks, diusung dengan mobil pick up. Saya ikut berkonvoi di bak belakang mobil itu. Jika sekarang dipikir-pikir, wagu juga. Pamer kotak ndengguk besar seperti itu.
# Kendaraan ke sekolah
Parkiran motor dan sepeda di sebelah gedung laboratorium tidak begitu luas. Pemilik kendaraan bermotor kelihatannya juga tidak banyak. Kebanyakan siswa berjalan kaki atau naik ‘darling’, alias angkutan tidar keliling, yaitu mobil kijang bermoncong itu yang dikonstruksi sebagai mobil angkutan umum. Apa ya sebutannya, kopata? Meskipun saya tinggal di bagian lain dari kota Magelang, saya jarang naik angkutan ini, karena berjalan kaki memintas umumnya lebih cepat.
Operasi Zebra sedang digalakkan oleh kepolisian. Pada waktu kelas dua terdapat pengumuman di papan tulis bahwa pengendara sepeda motor harus mengenakan helm. Si penulis pengumuman selalu mengenakan helm setiap hari, ia, C.A., adalah putri dari wakapolresta.
# Ekstra Kurikuler
Seperempat abad yang lalu, ketika baru masuk sekolah terdapat acara semacam opspek, yang lupa apa namanya. Para senior masuk kelas …. dan memberikan tugas, memarah-marahi, dst.
Pramuka menjadi kegiatan wajib pada kelas satu. Latihan pramuka diadakan seminggu sekali. Buku panduan dibuat oleh para bantara bernama ‘Boneka’. Setiap tahun terdapat acara wide game, yang waktu itu (dan kayaknya sering begitu) berjalan ke kawasan Candi Selogriyo. Di sepanjang jalan para bantara memberikan tugas kepada regu-regu peserta. Jika tak salah, regu kami mendapatkan salah satu gelar. Selain wide game, pernah diadakan kemah, di kawasan Gedong Songo. Salah satu acaranya juga wide game!
Ketika kelas dua, sekolah mengadakan lebih banyak kegiatan ekstra, termasuk seni tari. Waktu itu ada pilihan belasan kegiatan ekstra kurikuler, meskipun berapa yang berjalan saya tidak tahu. Majalah dinding yang tertempel di lorong dekat pintu masuk jika tak salah bernama Sigma Beta Gamma. KIR digiatkan setelah Fahmi Amhar, seorang kakak angkatan, memenangi lomba KIR tingkat nasional.
Waktu kelas dua ada lomba melukis kaligrafi. Acara apa ya itu? Saya ikut mengirimkan lukisan kaligrafi geometrik meskipun tidak menang. Peserta lain yang sekelas jika tak salah adalah yang tinggal di Botton itu (L.S., halo!).
# Seragam
Seragam wajib masih seperti sekarang, putih abu-abu, dengan berbagai atribut. Sering diadakan razia seragam ini yang menimbulkan cerita-cerita lucu …
Meskipun ini sekolahan ngetop, tetapi para siswa tidak memiliki ‘seragam’ olah raga. Pakaian resmi olah raga adalah kaos putih dengan celana pendek hitam (seragam juga sebenarnya.. ). Itu saja. Sekarang, kupikir-pikir bener juga, karena 1) seragam bersablon nama sekolah tidak esensial dan akan menambah biaya sekolah, 2) seragam identitas hanya perlu jika berhadapan dengan tim lain. Kelihatannya, jika ada pertandingan dengan sekolah lain para anggota tim baru mengenakan seragam, yang entah dipinjami atau diberi oleh sekolah.
# Mata pelajaran
Saat saya sekolah, SMA sedang mengalami perubahan sistem. Penjurusan diberi nama A1-A5, meskipun di SMA N 1 hanya memiliki A1, A2, dan A3. Sewaktu lulus, juga terdapat perubahan sistem penerimaan di perguruan tinggi.
Mata pelajaran yang baru pada kurikulum baru tersebut antara lain, di kelas A3, adalah Sosiologi dan Antropologi serta Bahasa Prancis. Pengajar Sosiologi dan Antropologi adalah Pak Amin (almarhum) yang menulis tangan diktatnya dan kami memfoto kopi naskah pada kertas folio bergaris tersebut.
Pengajar Bahasa Prancis adalah seorang guru dari luar SMA yang sudah sepuh. Setiap kelas mulai atau hendak bubar beliau memberi aba untuk menghormat bendera dalam bahasa Prancis: Salut le drapeau, faire! Pernah tanpa sengaja, beliau terkena lemparan pesawat terbang dari kertas dari kelas kami di lantai tiga. Kemudian kelas kami mendapat teguran dari sekolah.
Komputer masih berstatus ‘terdengar’ pada waktu itu. Di salah satu matapelajaran tentang matematika, di kelas satu atau kelas dua, dikenalkan tentang alur prosesual yang ‘yes-no’ itu.
# Guru
*Sedang mengingat-ingat, siapa saja guru kami waktu itu.
Ada yang galak, ada yang lucu, ada yang kami suka nakali … Ada yang setiap masuk ruang, beliau adalah wali kelas, selalu ngendika: “Mohon tempat sampah diperkecil!” Kami kemudian sibuk mencari sampah yang bertebaran. Bapak ini memang sangat mengesan. “Buka halaman …. Ada yang tidak punya halaman?” Maksud beliau, ada yang tidak membawa buku?
Wali kelas pada waktu kelas I adalah Pak Nurhadi Amiyanto,4 kelas II diasuh oleh Pak Mufti, dan kelas III Bu Christiana S. jika tak salah. Kepala sekolah adalah Pak Wahono dan wakil kepala sekolah dijabat Pak Abdul Manaf, yang kemudian pindah menjadi kepala sekolah SMA 3.
Semoga para guru senantiasa dirahmati Allah …
# Swastika dan Palang Putih
Satu peristiwa iseng menimbulkan masalah. Ketika diadakan lomba kebersihan antarkelas, kami mencat jendela dengan gambar swastika dan palang seperti PMI. Seingat saya waktu itu tidak ada bayangan sedikitpun tentang meniru logo nazi–mana berani. Penggunaan bentuk palang PMI memang guyon agar seperti rumah sakit. Kebetulan kaca jendela akan dicat putih. Pada awal-awalnya tidak bermasalah, tetapi kemudian konon dikritik oleh pejabat pendidikan di kotamadya. Jadi, kami mencat ulang jendela-jendela tersebut.
Kelas II A3-1 memang tidak menang pada lomba tersebut.
# Piknik
Piknik sekolah dilakukan dua kali, yaitu ke Yogyakarta dan ke seputar Bandung. Yang ke Yogyakarta sebenarnya studi wisata ke Kraton dan mampir ke Pantai Kukup dan Baron.5 Sementara itu, yang di Bandung benar-benar piknik: Maribaya, Tahura Ir. H. Juanda, dan Ciater. Mampir juga di salah satu pusat perbelanjaan di seputar alun-alun Bandung.
Kelas juga mengadakan studi wisata sendiri, yaitu ke Museum Abdul Djalil di Kompleks Akabri dan ke Patal Secang, yang putri direkturnya (halo, R.P.!) adalah teman sekelas … Kunjungan ke Museum Abdul Djalil merupakan bagian dari mata pelajaran PSPB atau Sejarah, saya lupa, wong gurunya sama yaitu Pak Waluyo. Studi wisata ke Patal Secang dimaksudkan untuk menyiapkan penulisan sebagai salah satu syarat kelulusan atau mengikuti ujian, semacam itu.
# Kumpul-kumpul
Saya tidak banyak dolan-dolan dengan teman-teman sekelas di luar sekolah.6 Mungkin karena sebagai anak kos saya juga memiliki banyak teman di rumah kos. Selain itu, harus mudik setiap sabtu-minggu.7
Tetapi, kehidupan sosial kelas tetap ada. Antara lain adalah ulang tahun salah satu teman di kompleks Polresta Jagoan (C.A., kemana dikau?). Kadang, guru memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama. Waktu itu sempat berkumpul beberapa kali di Jagoan II (yang ini, A.W., sudah setahun kutemukan jejaknya) untuk membuat maket rumah, tugas dari Pak Hartono, guru seni rupa. Terjadi insiden kecil, cat tumpah di karpet ruang tamu…
Sempat melayat ke seorang teman di belakang pabrik atom Kebonpolo yang berduka karena ibunya meninggal dunia (konon si B.L. … ? ) . Sempat juga ramai-ramai satu sekolahan ke daerah Rejowinangun, melayat seorang alumni yang meninggal di luar negeri. Ia bekerja di instansi keren waktu itu, mungkin BPPT atau semacamnya.
Pernah ada acara nonton bareng se-SMA ke MT sewaktu terdapat pemutaran film “Kereta Api Terakhir” yang dibintangi Gito Rollies dan “Pengkhianatan G 30 S PKI” yang legendaris itu.
Kenaikan kelas satu menjadi salah satu momen penting, karena kami harus terpisah ke tiga jurusan, yaitu A1, A2, dan A3. Penamaan itu digunakan untuk pertama kalinya pada waktu itu, tahun 1984.8 Kelas mengadakan perpisahan di rumah orang tua seorang teman di Jalan A. Yani. Karena tuan rumah suka musik (hai, T.M.!), maka ada band-band-an. Sebagai anak muda sekali, mereka suka lagu rock,9 maka ketika seorang teman (hihihi, A.K., apa kabar) menyanyikan salah satu lagu Chrisye yang mendayu, mungkin “Selamat Jalan Kekasih” yang lagi populer waktu itu, hehe, musiknya belepotan.
Perpisahan kelas III, diselenggarakan juga di rumah orang tua seorang teman di sekitar Badakan (halo S.R.P.K.!). Masing-masing harus membawa kado silang, yang tidak boleh lebih mahal dari Rp. 250,00.
# Lulus
Lulusan pada saat angkatan 1987 cukup memuaskan, 100 persen dengan nilai yang cukup bagus. Seingat saya rata-rata nilai Bahasa Inggris kami sangat lumayan.10 Upacara wisuda diselenggarakan di Gedung Achmad Yani, di dekat pertigaan Bayeman.
Teman-teman kemudian tersebar, sebagian masih di Magelang, lainnya umumnya hijrah ke Yogyakarta atau Semarang. STAN masih menjadi favorit lulusan SMA waktu itu, beberapa teman juga melanjutkan pendidikan ke sana.
# Reuni
Selepas SMA, ada dua reuni yang saya ikuti. Pertama, reuni kelas setelah dua tahun berpisah, di salah satu rumah orang tua teman di Mertoyudan (Rn., hai!), kedua adalah reuni sekolah, yang tidak hanya diikuti oleh angkatan 87 saja. Reuni tersebut diselenggarakan di halaman sekolah.
Dari empat puluhan teman kelas tiga, beberapa telah meninggal dunia (N.A., T.A.S., R.S., B.L.?). Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka.
Beberapa terus mengadakan kontak semenjak kuliah, beberapa berkontak setelah ada facebook, ada yang baru tahu keberadaannya setelah ada acara reuni perak meskipun belum bertemu secara langsung. Beberapa teman belum saya temukan.
Ada di antara Anda yang dahulu adalah teman sekelas saya? Seangkatan? Tetangga angkatan? Atau malah guru saya … [z]
Catatan Kaki
- Kenapa untuk SMA digunakan tahun lulus untuk angkatan dan untuk universitas digunakan tahun masuk? [↩]
- Tulisan ini sekaligus merupakan permohonan maaf kepada kalian yang telah repot mengorganisir, mengundang, dan juga yang datang ke reuni, baik di Magelang maupun di Jakarta. [↩]
- Gedung ini sama persis dengan gedung SMA 1 Yogyakarta (dan ISI di sebelahnya?), dan konon juga SMA 1 Pekalongan [↩]
- Apakah beliau yang sekarang menjadi Kepala Dinas P dan K Jateng? [↩]
- Ke Kraton memiliki misi khusus, yaitu mau mempelajari candrasengkala. Tetapi, guide di kraton tidak tahu tentang candrasengkala … [↩]
- Tapi sempat nginep di rumah W.D. dan Y.N. (haloooo) Ada acara apa ya waktu itu? [↩]
- Eh, ada juga teman2 dari angkatan di atas yang selalu berhubungan hingga kuliah. Halo E.L., dan K.M.A.! [↩]
- Sebelumnya diadakan psikotes. [↩]
- waktu itu mereka memainkan “Jump” dari van Halen yang lagi popular. [↩]
- Ibu pengajar bahasa Inggris, jika memberi latihan soal sering ngendika: “Aah, yang ini gampang to…” Kemudian soal dilewati. [↩]