Pak Otti
\
Sore hari, Jumat 2 Juli 2021, terkabar bahwa Pak Otti, atau Pak Mundardjito meninggal dunia. Di tengah pandemi yang semakin menjadi, berita seseorang meninggal bukan kejutan. Tetapi meninggalnya Pak Otti sungguh suatu kehilangan. Sampai semalam setidaknya terdapat tiga acara daring yang memungkinkan para sahabat, murid, serta kerabat mengungkap kesan dan kesaksian atas almarhum.
Beliau adalah pensiunan guru besar di Departemen Arkeologi, FIB UI. Menulis disertasi tentang sebaran tinggalan Klasik di Yogyakarta dari FIB UI juga. S1 dari Arkeologi UI, kemudian belajar tentang teori dan metode arkeologi dari Universitas Pennsylvania dan Universitas Athena.
Saya sebenarnya tidak mengenal Pak Otti secara pribadi. Pertemuan kami pertama kali adalah pada IFSA1 tahun 1993. Tentu, sebelum itu saya sudah mendengar tentang Pak Otti, tentang pemikiran beliau akan arkeologi keruangan di kuliah Metode Arkeologi.
Pertemuan pertama itu tentu sangat mengesan bagi saya. Secara langsung peserta diajari oleh para tutor tentang Majapahit dan tentang penelitian kuantitatif dalam arkeologi. Hampir sepanjang dua puluh hari, kami benar-benar melakukan workshop: ada kuliah, ada praktik, dan hasilnya benar-benar sebuah penelitian — dalam arti pengumpulan data. Analisis kemudian dilakukan oleh para senior yang menjadi ahli di kegiatan tersebut.
Kegiatan tersebut penting bagi setidaknya para alumnusnya, seperti saya dan rekan-rekan lain2 karena terlibat pada suatu penelitian besar sehingga dapat belajar sambil berbuat.
Tetapi pertemuan dengan Pak Otti mungkin menjadi bagian yang penting dari kesan itu bagi saya. Di samping kuliah-kuliahnya, juga ada kisah tentang beliau yang sore hari bersedih hati karena melihat truk mengangkut galian tanah di Trowulan yang mengandung berbagai objek arkeologis–umumnya adalah kereweng, sementara, kami memungut kereweng satu demi satu di seluas situs Trowulan selama beberapa hari, itu pun dengan metode sampling.
Kesan yang lain adalah karena kami, sebagian peserta, sempat berfoto bersama Pak Otti di depan mess Puslit Arkenas di Trowulan. Foto itu kemudian terpampang di Majalah Femina, pada artikel tentang Pak Otti sebagai “pejuang” asma. Beliau memang mengidap asma dan terlihat sukses mengatasinya.
Setelah IFSA, saya hanya bertemu Pak Otti dalam kegiatan-kegiatan seperti workshop dan seminar, juga pada beberapa kegiatan asesmen akreditasi prodi Arkeologi UGM. Selalu, dalam setiap pertemuan beliau memanggil saya dan mengobrol sebentar. Pertemuan terakhir kami adalah tiga tahun yang lalu, tepatnya bulan Juni 2019, pada acara Diskusi Ilmiah Arkeologi yang diselenggarakan IAAI di Yogyakarta, kebetulan saya melakukan presentasi. Pada acara Beliau seperti biasa memanggil saya dan kali ini berbincang cukup panjang.
Semoga beliau husnul khatimah, ilmu yang ditularkan menjadi amal yang dipertimbangkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa untuk menempatkan beliau pada tempat yang sebaik-baiknya. Semoga kami bisa meneladani sifat-sifat baik beliau.
Amin. [z]
Catatan Kaki