Warisan Budaya di DIY dan Pengelolaannya (III)
/
Disampaikan pada Pelatihan Internalisasi Keistimewaan DIY bagi Pejabat Administrator (Eselon III). Badan Diklat DIY, 9 Oktober 2024.
Isi
- I. Warisan budaya
- II. Warisan budaya di DIY
- III. Mataram Islam
- IV. Sumbu filosofi dan poros imajiner
- V. Upaya pelestarian warisan budaya
III. Mataram Islam
Perkembangan kerajaan Islam di pantai utara Jawa di Demak, akhirnya sampai juga ke pedalaman pada abad keenambelas. Hadiwijaya menjadi raja di Pajang dan kekuasaan bergeser ke wilayah Surakarta sekarang.
Danang Sutawijaya (anak Ki Ageng Pemanahan) mengalahkan Aria Penangsang dan mendapat hadiah Alas Mentaok dari Sultan Hadiwijaya. Alas ini berada di sekitar Kotagede.
Sutawijaya (Panembahan Senapati) membangun pemerintahan di Kotagede, 1582, bernama Mataram. Pemerintahannya diteruskan oleh Prabu Hanyakrawati (Susuhunan Seda Krapyak), kemudian Adipati Martapura, dan berikutnya adalah Mas Rangsang (Sultan Agung, 1613-1645). Amangkurat I kemudian memindahkan keraton ke Pleret, tahun 1646.
Kotagede, untuk waktu yang lama berada sedikit terpisah dari Yogyakarta. Sawah-sawah baru hilang mungkin duapuluhan tahun belakangan yang membuat kawasan ini tidak lagi terpisah. Namun, posisi di kelokan jalan lingkar memperlihatkan bahwa Kotagede memang berada di pinggir. Dahulu sebelum Yogyakarta berkembang sebagai kota kerajaan, keramaian sepertinya berporos utara-selatan, ke Pleret hingga mungkin Imogiri.
Tinggalan-tinggalan Kotagede yang berwujud karya arsitektur dapat dibagi menjadi empat, yaitu bangunan dan struktur dari masa pemerintahan Mataram Islam, bangunan tradisional Jawa yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru kota, bangunan kalang yang akan kita bicarakan nanti, dan bangunan indis dan jengki, yang lebih modern.
Sultan Agung berniat memindahkan ibukota Mataram. Ia membangun istana di Kerto. Data sejarah memperlihatkan adanya Prabayeksa, Sitihinggil, Bendungan K. Opak, Segaran di Pleret. Data arkeologis memperlihatkan adanya umpak pendopo, gapura, masjid dan makam kuno, alun-alun, benteng cepuri, serta struktur bangunan pendukung komplek kraton. Sultan Agung pada masa itu juga membangun makam-makam kerajaan di Giriloyo dan di Imogiri.
Setelah Sultan Agung meninggal, anaknya, Amangkurat I, Kraton Pleret. Kraton baru ini hanya berjarak sekitar dua kilometer dari kraton lama di Kerta. Kraton ini digunakan antara tahun 1646 hingga tahun 1680 ketika kemudian kraton pindah ke Kartasura.
Dari data dokumen diketahui banyak bagian dari kraton ini, seperti pintu gerbang pabean, jaringan jalan, pasar, masjid agung, tembok keliling, tanggul atau bendungan, Segarayasa (bangunan air), parit-parit, alun-alun, kraton, taman, krapyak (bangunan yang digunakan sebagai tempat berburu oleh raja dan keluarga), permukiman penduduk, dan pemakaman. Terdapat pula nama tempat seperti Kedhaton, Balekambang Kauman, Gerjen, Kepanjen, Kunden, Semarangan, Bintaran.
Fitur-fitur tersebut tidak semua menyisakan data arkeologi. Mungkin hanya masjid pleret dan beberapa bagian dinding benteng yang dapat diyakini fungsinya pada masa lalu.
Kraton Pleret ditinggalkan oleh Amangkurat II, raja yang diangkat di pelarian. Ia ibukota ke Kartasura. Kraton lama telah dihuni oleh Pangeran Puger yang atas perintah Amangkurat I mempertahankan Pleret dari pemberontakan Trunojoyo. Ia yang sempat diangkat sebagai putra mahkota mendudukkan diri sebagai Susuhunan ing Alaga.
Tinggalan dari Kerto & Pleret sangat masif berupa bata, seperti yang sekarang masih terlihat di kompleks makam Gunungkelir. Hal ini memang tergambar dalam babad, bahwa Sultan Agung memerintahkan penduduk Pajang pindah ke Kerto, dipekerjakan di sebagai pembuat bata, karena kerajaan sedang mempersiapkan proyek pembangunan yang cukup besar. Penggantinya, Amangkurat I juga bertitah “sarupané kawulaningsun kabèh, padha nyithaka bata, ingsun bakal mingsêr têka ing kutha Kêrta, patilasané kangjêng rama ingsun tan arsa ngênggoni. Ingsun bakal yasa kutha ing Plèrèd”.1
Bersambung ke Bagian IV: Poros Imajiner dan Sumbu Filosofi
Catatan Kaki
- Tahun 2018 Dinas Kebudayaan DIY menerbitkan Majalah Mayangkara nomor 7 dengan topik utama tentang Kerta dan Pleret. Majalah ini dapat diperoleh secara daring di website Disbud DIY.
- Kutipan pada Inajati Adrisijanti. 2018. “Kerta dan Pleret, Dua Ibukota Kerajaan Mataram Islam”. Mayangkara 7: 6-13. [↩]