Warisan Budaya di DIY dan Pengelolaannya (IV)
/
Disampaikan pada Pelatihan Internalisasi Keistimewaan DIY bagi Pejabat Administrator (Eselon III). Badan Diklat DIY, 9 Oktober 2024.
Isi
- I. Warisan budaya
- II. Warisan budaya di DIY
- III. Mataram Islam
- IV. Sumbu filosofi dan poros imajiner
- V. Upaya pelestarian warisan budaya
IV. Poros Imajiner dan Sumbu Filosofi
Istilah “poros imajiner” dan terutama “sumbu filosofi” tidak asing bagi warga Yogyakarta akhir-akhir ini. Dua istilah ini digunakan untuk menggambarkan hal yang berbeda dalam tata ruang di Yogyakarta.
Setelah palihan nagari, Pangeran Mangkubumi memilih tempat yang kemudian diberi nama Yogyakarta. Dari sisi topografi, Yogyakarta terletak di antara enam sungai yang mengapit berlapis, yaitu Sungai Code dan Winongo di lapis dalam, Sungai Gajahwong dan Kali Bedog di lapis kedua, serta Sungai Opak dan Sungai Progo di pinggir luar. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi yang masih aktif dan di sebelah selatan terdapat Laut Selatan. Pada seting lokasi seperti kota yang dibangun Pangeran Mangkubumi memiliki sumbu/poros imajiner Gunung Merapi–Kraton–Laut Selatan1.
Gunung adalah tempat suci, pemukiman sebagai tempat aktivitas kehidupan manusia, dan laut merupakan tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke laut. Penciptaan sumbu/poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Hitta Karana dan Tri Angga (Parahyangan–Pawongan–Palemahan atau Hulu–Tengah–Hilir serta nilai Utama–Madya–Nistha)1
Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, yang menyandang gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah, konsep filosofi sumbu imajiner yang Hinduistis ini kemudian mengubahnya menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamemayu Hayuning Bawana”, dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”. Seturut dengan Poros Imajiner, menandai sisi utara dan selatan kota adalah dua monumen, yaitu Tugu Golong-Gilig dan Panggung Krapyak.
Letak Tugu Golong-Gilig, Kraton, dan Panggung Krapyak yang berada dalam satu garis lurus merupakan Sumbu Filosofi dari Kraton Yogyakarta. Tugu Golong-Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Bagian atas Tugu Golong-Gilig atas berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig). Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama (point of view) sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara. Dari Tugu Golong-Gilig/Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq (paraning dumadi).1
Hubungan filosofi antara Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”. Filosofi dari Panggung Krapyak ke utara menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning dumadi). Kota Yogyakarta ditata berdasarkan filosofi yang begitu mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, serta cerminan perjalanan hidup manusia sejak lahir
hingga menghadap Sang Khalik, seperti tertuang dalam sumbu filosofis yang menghubungkan Panggung Krapyak–Kraton–Tugu Pal Putih.
Penerapan konsep budaya tersebut (sumbu imajiner dan sumbu filosofis) pada tata ruang DIY merupakan lanskap asosiatif (associative landscape) dalam istilah Unesco, yang merupakan paduan antara unsur budaya bendawi (tangible) dan tak benda (intangible). Oleh karena itu, konsep perancangan dan pendirian Kota Yogyakarta merupakan suatu mahakarya atau “Masterpiece of Creative Genius”. Kota Yogyakarta dibangun berlandas pada konsep filosofi tinggi sehingga sarat dengan makna filosofi. Oleh karena itu, kota ini sangat layak disebut sebagai “City of Philosophy” (Kota Filosofis).2
Pelestarian Kota Yogyakarta sebagai “City of Philosophy” ditujukan terutama kepada keinginan melestarikan nilai luhur Yogyakarta yang dapat diwariskan kepada masyarakat lokal, bangsa Indonesia, dan dunia. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan Kota Yogyakarta sebagai Warisan Dunia (World Heritage). Dengan demikian, Yogyakarta akan dapat memberikan sumbangan berarti bagi peradaban dunia.3
Pemerintah Daerah melakukan upaya-upaya menguatkan DIY sebagai City of Philosophy melalui pelestarian tanda-tanda filosofi Yogyakarta tersebut. Upaya ini telah dilakukan sejak tahun 2014 dengan berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan fisik, hingga tahun 2023 didaftar oleh Unesco dengan judul “The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks”.
Sumbu Filosofi memenuhi dua kriteria dari Outstanding Universal Values yang harus dimiliki oleh suatu Warisan Dunia. Kedua kriterion tersebut adalah sebagai berikut.4
Kriterion ii: “untuk menunjukkan pertukaran nilai-nilai kemanusiaan yang penting, dalam rentang waktu tertentu atau dalam suatu wilayah budaya di dunia, pada perkembangan arsitektur atau teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau desain lanskap.”
Poros Kosmologi Yogyakarta dan Landmark Bersejarahnya menunjukkan pertukaran nilai dan gagasan manusia yang penting antara sistem kepercayaan yang berbeda dan tumpang tindih yang berkaitan dengan animisme Jawa dan pemujaan leluhur, Hindu dan Buddha dari India, Islam Sufi, dan pengaruh Barat. Pertukaran nilai yang penting dan kompleks ini telah menciptakan ansambel budaya yang luar biasa dalam perencanaan tata ruang, arsitektur, monumen, upacara, dan elemen warisan takbenda di properti ini
Kriterion iii: “memberikan kesaksian yang unik atau setidaknya luar biasa tentang sebuah tradisi budaya atau peradaban yang masih hidup atau yang telah lenyap”
Poros Kosmologis Yogyakarta dan Landmark Bersejarahnya menjadi saksi yang luar biasa bagi peradaban Jawa dan tradisi budaya yang hidup setelah abad ke-16 Masehi. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah pusat untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban ini melalui berbagai tradisi. Konsep Tata Rakiting Wewangunan yang diwariskan melalui istana-istana Kerajaan Mataram mengatur aspek-aspek yang berwujud dan tidak berwujud dari properti, termasuk bangunan, dekorasi, tanaman, persembahan, upacara, kesenian, dan penggunaan ruang.
Objek pelindungan dari Sumbu Filosofi ini berupa atribut, properti yang dinominasikan, buffer zone, dan wider setting.
Permasalahan yang akan dihadapi oleh sumbu filosofi sudah dibayangkan dalam perencanaan pengelolaannya. Pada naskah Rencana Manajemen sudah ditentukan masalah-masalah yang akan dihadapi dan agen yang harus menanganinya.
Bersambung ke bagian V: Pengelolaan Warisan Budaya
Catatan kaki
Dinas Kebudayaan DIY menerbitkan Majalah Mayangkara edisi tahun 2016 nomor 2 yang mengulas topik utama tentang Sumbu Filosofi. Majalah ini dapat didapatkan secara daring pada situs web Disbud DIY.
- Yuwono Sri Suwito. 2016. “Mengenal Sumbu Imajiner dan Sumbu Filosofi Kraton Yogyakarta”. Mayangkara 2:6-9. [↩] [↩] [↩]
- Dian Lakshmi Pratiwi. 2016. “Yogyakarta City of Philosophy: Pemerintah Daerah DIY dalam Mewujudkan Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia”. Mayangkara 2:10-13. [↩]
- Tim Asistensi Keistimewaan Setda DIY. 2016. “Kebijakan Pemda DIY dalam Mendukung Terwujudnya Yogyakarta City of Philosophy”. Mayangkara 2:14-17. [↩]
- Dian Lakshmi Pratiwi. 2024. “Managing Yogyakarta with a Historic Urban Landscape”. Presentasi pada The Dynamic of Urban Landscape –Urban Resilience Research Center (UREC) Seminar, UGM, June 25, 2024. [↩]