Susahnya jadi murid SD zaman sekarang
Anakku yang baru duduk di semester pertama kelas dua sekolah dasar rupanya lagi galau. Mukanya kusut sepulang sekolah. Pagi berikutnya, ia tidak mau sarapan sebelum berangkat.
Rupanya ia tidak sendiri. Teman akrabnya di sekolah juga tidak sarapan hari itu. Bahkan menurut ibunya, pada hari sebelumnya ia muntah-muntah.
Saya bercuriga, mungkin mereka tidak merasa happy di sekolah. Tetapi kenapa? Bulan lalu memang terdengar ada yang mogok sekolah karena pak guru yang baru, pindahan dari kecamatan lain, dikatakan suka njewer telinga para murid. Tetapi hal itu sudah diprotes oleh seorang wali murid.
Barangkali ini penyebabnya: minggu ini mereka harus mengikuti ulangan tengah semester. Sebenarnya ulangan bukan masalah besar bagi anak saya. Biasanya ia mendapat peringkat 1, 2, atau 3 di kelas.
***
Mengintip pelajaran sekolah dasar sekarang, saya tidak yakin dapat mengerjakan dengan baik jika diberikan pada usia saya sekolah di SD dahulu. Memang, anak-anak sekarang lebih pandai dari zaman saya bersekolah. Di usia saya masih bermain layang-layang, mereka sudah bisa utek-utek komputer. Mereka mempelajari teknologi maju ini, dalam batas-batas tertentu, dengan enteng saja.
Pelajaran mereka tidak kurang dahsyatnya. Di kelas dua sekolah dasar (zaman dulu saya masih berkutat dengan “i-n-i i-b-u b-u-d-i” ), kami lihat di LKS1 siswa telah diperintah dengan kata: “deskripsikan”. Mereka juga sudah diberi pelajaran kewarganegaraan, menghafal bahwa kata ‘demokrasi’ berasal dari bahasa Yunani Kuno, dari kata demos yang berarti ‘rakyat’ dan cratein/cratos yang berarti ‘memerintah’. Memikirkan bahwa ada sesuatu yang disebut voting dan dilakukan dengan dua cara, yaitu terbuka dan tertutup.
Setiap malam menemani belajar, kami, ayah dan ibu dari anak yang usianya belum genap delapan tahun itu, selalu geleng-geleng kepala melihat materi yang harus dipelajari. Mungkin kami yang gagap, merasa susah menerangkan pemahaman kami dengan cara yang kami kira ia akan mengerti. Dahulu kami diajari hal-hal semacam itu di SMP atau SMA dengan cara guru sekolah menengah tentunya.
Belum lagi jika melihat buku LKS yang harus dikerjakan sebagai PR. Jika beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan negeri ini dihebohkan dengan beberapa LKS yang secara moral dianggap kurang bertanggung jawab, maka kami menemukan hal-hal lain yang menyulitkan. Selain hal-hal konseptual yang kami rasa ‘ketinggian’ bagi anak-anak seusianya seperti telah disebut di atas, beberapa kali kami temui misalnya hal yang ditanyakan dalam soal ternyata tidak terdapat di dalam bacaan …
***
Oleh karena itu, kami berharap-harap2 akan perubahan kurikulum yang akan segera diberlakukan pemerintah. Semoga dapat membuat anak-anak belajar dengan suka cita. Kami juga dapat menemani belajar dan menjelaskan dengan baik apa yang tidak ia pahami.3 [z]
Catatan Kaki
- LKS = Lembar Kerja Siswa, buku tambahan yang kata anak saya tidak diwajibkan dimiliki, tetapi umumnya guru memberi pekerjaan rumah dari buku tersebut. [↩]
- … disertai sedikit kecemasan tentunya, kelihatannya guru harus menyesuaikan diri kepada sistem pembelajaran yang baru, mengubah kebiasaan pengajaran yang selama ini diterapkan. [↩]
- Update: Melihat perkembangan, kelihatannya kami harus menunggu lebih lama untuk perubahan. Konon, karena masalah persiapan, maka Kurikulum 2013 baru akan diterapkan pada bekas sekolah RSBI!! [↩]