Sawer
|
Komedi atawa lawak di Indonesia rupanya berkembang sedemikian rupa sehingga kadang bikin bingung, mereka itu ngelawak atau menurut teman saya: malah gojek dhewe, ‘malah bercanda sendiri’.
Begitulah, nonton komedi di televisi masa sekarang membuat saya mengenang acara lawak di masa lalu. Sekarang, para penonton yang mendatangi langsung studio tempat acara direkam atau langsung disiarkan, rupanya begitu beruntung. Selain konon dibayar–di awal minggu ini ada artis guyon yang di panggung menyebut bahwa para penonton masing-masing dibayar dua puluh ribu rupiah–mereka juga mendapatkan kesempatan untuk memperoleh berbagai hadiah, baik dari acara (produksi) maupun langsung dari para pemain.
Saya ingat tayangan Sri Mulat di televisi pada masa ‘revitalisasi’ di paruh pertama tahun 1990-an dahulu. Konsepnya masih benar-benar seperti tobong atawa teater dengan tempat penonton yang gelap, panggung tempat pentas yang terpisah dan cukup tinggi dan sebagainya itu. Nah, setiap penonton berkenan dengan lawakan para pemain, justru mereka–para penonton–yang menyawer. Benda-benda semacam uang atau rokok dilempar ke atas panggung oleh penonton. Semakin lucu, semakin banyak seorang pemain menerima lemparan bingkisan.
Tetapi, ya barangkali itu kehendak zaman. Media komersial semacam televisi swasta membuat mungkin acara-acara semacam itu dengan konon rating tinggi–yang berarti pemasukan besar dari iklan–, membuat para pemain kaya, pihak televisi juga kaya, pengiklan juga kaya. Boleh jadi para penonton sekarang merasa berhak mendapat bagian dari perputaran uang di acara guyon semacam itu. Mereka juga merasa menjadi bagian dari panggung atawa layar televisi, ikut diperintah untuk tertawa, tepuk tangan, dan mungkin berdandan secantik atau seaneh mungkin.
Para pelawak dahulu meskipun mereka juga seniman, tetapi adalah bagian tak terpisah dari keseharian masyarakat. Mungkin status ekonomi mereka juga sama, atau bahkan lebih buruk, tetapi tidak kemudian sangat jauh dengan penghasilan yang digembar-gemborkan nilai kontraknya. Mereka barangkali juga menjalani hidup seperti kebanyakan orang, jika siang bertani atau mencari penghasilan dengan cara lain. Oleh karena itu, para penonton akan suka rela memberikan saweran kepada para pelawak itu.
***
Merindu guyon yang cerdas, yang penontonnya suka rela untuk tertawa … Mungkin keinginan ini sulit terwujud karena kesenian kelihatannya memang susah berjaya secara komersial. [z]