Kopi-kemopi
\
Meski baru dikenalkan pada masa awal kedatangan langsung pengaruh Barat, yaitu abad ke-17, barang coklat kehitaman satu itu telah melekat erat pada budaya kita. Dari religi hingga keperluan sekuler, kopi dapat dijumpai terlibat. Pendek kata, kita mengenal kopi mulai dari keperluan sacred hingga wujud sachet.
Saat awal tulisan ini dibuat, para mahasiswa Arkeologi sedang mengadakan pameran tentang kopi di teras Gedung Margono. Mereka mengambil judul “Kekopikinian” untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan kopi hari ini, meski tak lupa dengan sejarahnya. Ulasan tentang pameran tersebut ada di sini.
Namun kelihatannya pameran singkat ini terlalu kecil untuk mewadahi gambaran bahwa kopi begitu melekat dalam sejarah dan budaya kita. Terdapat berbagai aspek menarik dari kopi yang membuatnya tak habis dibahas berhari-hari–di warung kopi tentunya. Berikut beberapa hal tentang kopi yang sempat saya temui.
Anak kecil
Ngobrol di dalam ruang, hanya berbatas pintu dengan pameran, Jujun, kolega saya, mengemukakan bahwa zaman ia kecil dahulu terdapat mitos bahwa anak kecil tidak boleh minum kopi karena akan mengakibatkan kebodohan. Dan ia percaya saja. Mungkin karena balas dendam, ia kini minum tiga cangkir kopi sehari …
Saya sendiri pernah sewaktu SMA bertamu di salah satu keluarga. Para hadirin dewasa diberi kopi, tetapi saya hanya diberi teh. Masih kecil, kata nyonya rumah.
Namun kopi tidak lantas bermusuhan dengan anak kecil. Terdapat kepercayaan juga bahwa jika anak kecil minum kopi maka ia akan terhindar dari step, kejang-kejang. Mbak Nia, kolega saya yang lain mengiyakan itu.
Kopi enak
Kopi seperti apa yang enak? Kopi luwak? Kopi specialty lainnya?
Saya menganggap enak dan tidak enak adalah perkara selera. Jika sedang mood, maka kopi “biasa” pun akan menjadi enak saja. Kebiasaan sejak lama juga akan membuat preferensi seseorang terhadap rasa kopi. Dua orang teman tadi pagi tetap bersikukuh pada kopi dengan merek alat transportasi laut itu meski diiming-imingi kopi specialty.
Secara teknis, rasa enak dapat dicipta. Mas Fery, dari Kopi Magistra, kantin Sastra, kemarin menjelaskan cara membuat kopi yang ‘baik’ dan ‘benar’. Tentu agar hasilnya maksimal untuk dinikmati.
Saya sendiri tidak begitu suka dengan jenis arabica meski konon lebih ‘ringan’ dan tidak menyebabkan macam-macam. Bagi saya, rasa robusta lebih menggigit… Sementara itu, pengalaman paling mengesankan adalah menyeruput secangkir kopi, robusta, sambil duduk di salah satu alang milik keluarga Pak Layuk di kompleks Tongkonan Kete Kesu’ di Toraja Utara. Rasanya tidak dapat dikalahkan kopi java yang saya seruput di kedai kopi multinasional yang terkenal itu, di depan Brandenburger Tor Berlin.
Lelet
Berjalan-jalan menelusuri Jalan Daendels, di kota Rembang, mata saya terpaku pada banyak warung kopi yang diberi tulisan “Lelet”. Dalam bacaan saya, lelet adalah ‘lambat’. Apa hubungan antara kopi dan lambat? Bukankah kopi malah mempercepat pikiran kita?
Dengan beberapa teman kami masuk ke salah satu warung untuk memesan kopi. Setelah bertanya kepada pemilik warung, ternyata bukan lelet seperti dugaan saya, melainkan lelet. Bunyi e bukan seperti kepet atau telur, melainkan e pada baret. Artinya, kopi yang dileletkan pada rokok.
Wo.
Di pameran Kekopikinian juga ditampilkan hal serupa, yang disebut cethe. Kali ini e dibaca seperti pada kata lele.. Konon, kebiasaan nyethe ini dibuat oleh orang Tulungagung. Mereka menghias batang rokok dengan leletan sisa kopi, alias cethe itu tadi.
Kopi bukan biji
Kopi identik dengan biji yang disangrai itu. Namun, ternyata terdapat beberapa bagian lain dari pohon kopi yang dapat dikonsumsi. Kopi kawa, menyeduh daun kopi untuk dinikmati sebagai minuman. Kopi daun ini dibuat lantaran konon para pribumi di masa kolonial tidak boleh menkonsumsi kopi yang ditanam para pekebun Belanda.
Membaca Kompas daring, ternyata ada juga ekstrak kulit kayu kopi. Ekstrak ini diekspor ke Amerika Serikat, untuk minuman. Entah kenapa, mungkin karena mereka tidak boleh minum seduhan biji kopi?
Kopi bukan kopi
Dan apa yang disebut kopi? Tanaman atau minuman dari serbuk hitam?
Para petani di Sleman membuat kopi biji salak. Sama-sama hitam karena disangrai. Konon bebas kafein.
Iyalah. Bukan kafein yang dikandung, mungkin salakin.
Demit
Mas Fery dari Kopi Magistra mengemukakan bahwa untuk mengurangi asam (atau kafein, ya… saya lupa) pada kopi, sebaiknya kopi diminum tanpa gula. Nah, kolega saya lantas nyeletuk: minum kopi pahit, teneh kaya dhemit. Emangnya dedemit …
Konon sebagian masyarakat kita menyertakan kopi pahit dalam sesaji.
Hanya terngiang di pikiran jika dulu pernah membaca pernyataan bahwa hanya orang Indonesia yang sanggup minum kopi pahit tanpa gula. Dan ketika sempat mampir ke Eropa, ternyata hanya saya yang minum kopi bergula … Jadi, saya sekarang berpikir bahwa orang Indonesia yang dulu membuat pernyataan itu lebay.
Begitu. [z]