Disampaikan pada Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) 2019, Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda DIY-Jateng bekerjasama dengan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud, Yogyakarta, 26 Juni 2019.
Intisari
Generasi milenial sangat penting bagi museum karena masa depan museum sedikit banyak tergantung kepada kelompok ini. Berbagai karakter menciri generasi ini dan memerlukan tindakan khusus dari museum jika akan mengelolanya atau jika museum tetap ingin hidup di masa-masa mendatang. Museum virtual dianggap merupakan salah satu pilihan bagi museum, karena dapat diterima oleh generasi milenial dan juga memiliki landasan museologis. Agar dapat berjalan dengan baik, penerapan museum virtual perlu dipersiapkan dengan seksama.
Kata kunci: museum virtual, generasi milenial, new museology, pengelolaan museum, pameran museum, museum indonesia, trend museum
Penulisan tentang masjid kuno di Indonesia sudah dimulai oleh para peneliti pada masa Hindia-Belanda. Mereka umumnya tertarik dengan bentuk masjid di Jawa dan memperbincangkan bentuk serta asal-usulnya. Tahun 1882, E.B. Kielstra telah menulis “De Mesdjid Raja te Kotta Radja” tentang masjid di Aceh, dan abad berikutnya, tahun 1916, Ph. S. van Ronkel menerbitkan tulisannya, “Moskeen van Batavia” (Masjid-Masjid di Batavia) di majalah Nederlandsch-Indië Oud en Nieuw (N.I.O.N.). Tulisan tersebut merupakan penelitiannya tentang masjid-masjid kuno di Jakarta. Tahun 1927, Stutterheim menulis “Moskee-onderzoek in den Archipel” (“Penelitian Masjid di Nusantara”) yang diterbitkan pada majalah Djawa. Kemudian, salah satu artikel dibuat G.F. Pijper tahun 1947, “Minaret in Java”, yang terkenal karena melakukan identifikasi atas dasar bentuk dan komponen masjid-masjid di Jawa. Artikel tersebut terbit pada buku editan F.D.K. Bosch dkk, India Antiqua. Pijper juga menulis “De Moskeen van Java”, yang diterbitkan dalam buku Studien over de Geschiedenis vande Islam in Indonesia 1900-1950 (1977).
Pada masa Kolonial ini terdapat satu buku yang cukup menarik, “Masdjid dan Makam Doenia Islam”. Buku diterbitkan tahun 1932 oleh Balai Poestaka ini menggunakan dua bahasa dan dua aksara: bahasa Indonesia dengan huruf latin dan bahasa Jawa dengan aksara Jawa pula. Buku yang cenderung merupakan album bergambar ini berisi tentang masjid dan makam di berbagai tempat di dunia, dengan dominasi data dari wilayah Indonesia.
Pascakemerdekaan, para ahli Indonesia memulai penelitian tentang masjid-masjid lama. Aboebakar Atjeh merupakan salah satu tokoh awal yang pada tahun 1955 menerbitkan buku tebal berjudul Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah Didalamnja. Meski buku ini meliputi masjid-masjid di berbagai negara, namun memberikan porsi yang cukup banyak untuk masjid di Nusantara. Masjid terbaru waktu itu yang dibahas adalah Masjid Syuhada, Kotabaru, Yogyakarta. Buku ini cukup istimewa, karena Presiden Soekarno berkenan memberikan kata pengantar dengan tulisan tangan.
Tidak jauh dari tahun tersebut, pada 1963 sejarahwan H.J. de Graaf menulis “The Origins of the Javanese Mosques” pada Journal of Southeast Asian History.
Kajian bibliografi tentang masjid pernah dilakukan oleh Timothy Earl Behrend pada tahun 1984 dengan tulisan “Kraton, Taman, Mesjid: A Brief Survey and Bibliographic Review of Islamic Antiquities in Java”. Tulisan tersebut dimuat dalam jurnal Indonesia and the Malay World. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional menerbitkan bibliografi yang lebih luas, yaitu Bibliografi Sejarah dan Peradaban Islam di Indonesia, tahun 1988. Penulisan buku ini dilakukan antara lain oleh Uka Tjandrasasmita, Taufik Abdullah, dan Hasan M. Ambary. Tidak banyak judul tulisan tentang masjid yang tercantum dalam buku ini.
Pustaka terkait masjid lama selanjutnyapada tautan-tautan berikut.
Tinggalan arkeologi yang sering ditemukan di Jawa di antaranya adalah lingga dan yoni. Dalam banyak kasus, kedua objek ini ditemukan terpisah meski tidak jarang pula yang ditemukan secara berpasangan.
Lingga
Arti kata lingga dalam bahasa sanskerta kurang lebih adalah ‘tanda’. Dalam khasanah arkeologi, lingga adalah objek terbuat dari batu berbentuk seperti tugu atau tonggak berukuran kecil, biasanya berukuran tinggi kurang dari satu meter. Bagian bawah objek ini berdenah bujur sangkar, bagian tengah berpenampang segi delapan, sementara bagian atas berbentuk silinder. Sebagai objek religi, bagian bawah lingga yang bersegi empat disebut brahmabhaga, bagian tengah yang berpenampang segi delapan disebut wishnubhaga dan bagian atas disebut rudrabhaga. Pada bagian ini terdapat garis melingkar yang disebut brahmasutra. Dari adanya tiga bagian tersebut, lingga mengandung makna Trimurti.
Hal tersebut didukung oleh beberapa mitologi tentang lingga pada kebudayaan India, yang umumnya mengkaitkan dengan Dewa Syiwa. Oleh karena itu, lingga di Jawa juga dianggap berkait dengan Dewa Syiwa, dan candi-candi dengan lingga dimasukkan ke dalam candi bersifat syiwaistis atau digunakan untuk memuja Dewa Syiwa. Candi-candi demikian juga sering memiliki ikon syiwaistis lain, seperti arca Ganesha, Durga, Agastya, atau Mahakala-Nandiswara.
Pada perkembangannya, lingga sering disebut sebagai perlambang dari phallus, atau alat kelamin laki-laki. Mitologi yang berkembang kemudian terlihat mengkaitkan antara lingga dan Syiwa dalam konteks ini.
Berkait dengan hal ini, terdapat pula lingga yang berbentuk phallus, seperti yang pernah ada di Candi Sukuh, Jawa Tengah. Lingga setinggi hampir dua meter ini sekarang disimpan di Museum Nasional. Dahulu lingga ini diletakkan pada bagian atas candi yang datar, yang sekarang menyisakan lubang. Pada lingga tersebut terdapat tulisan-tulisan Jawa Kuno yang antara lain adalah angka tahun 1362 Saka (1440 Masehi).
Lingga-lingga tersebut merupakan lingga yang biasanya berpasangan dengan yoni. Sementara itu terdapat batu tegak serupa lingga yang dalam khazanah arkeologi di Indonesia sering disebut lingga semu. Lingga semacam ini tidak memiliki bagian-bagian seperti lingga pada umumnya, berdiri sendiri tanpa yoni, dan sering sering digunakan sebagai batu batas wilayah atau penanda area. Mendirikan lingga dapat merupakan hal simbolik yang penting, seperti disebut dalam prasasti Canggal (732 M). Dalam prasasti tersebut Raja Sanjaya disebut mendirikan lingga di Bukit Sthirangga “demi menciptakan ketenangan bagi rakyatnya”.
Yoni
Yoni adalah tinggalan arkeologis yang berbentuk kubus batu dengan cerat di salah satu sisinya. Bagian atas terdapat lubang persegi untuk menempatkan lingga. Pada bagian atas juga terdapat takikan yang mungkin digunakan untuk menampung cairan yang disiramkan pada lingga saat upacara. Cairan itu akan turun keluar melalui cerat yoni.
Kubus adalah bentuk yoni yang umum ditemukan di Jawa. Terdapat beberapa yoni dengan bentuk lain, seperti bundar yang ditemukan di Piyak, Temanggung, yoni berbentuk segi yaitu Yoni Gambar dari Jombang, dan yoni berbentuk persegi panjang di Liyangan, Temanggung, yang bahkan memiliki tiga lingga.
Yoni dapat berornamen atau tidak. Umumnya, hiasan yang ada adalah pelipit-pelipit mendatar yang simetris pada bagian bawah dan atas sisi yoni, atau ditambah dengan “pilaster” yang berposisi tegak.
Cerat sering dihias pada bagian ujungnya dengan bentuk serupa daun atau vagina, sementara bagian bawah terdapat binatang yang menyangga cerat, seperti kepala naga, atau beberapa hewan bertumpukan (kepala naga dan kura-kura).
Yoni Klinterejo selain memiliki hiasan pelipit masih ditambah dengan sulur-sulur gantung dan ornamen lain. Bagian bawah cerat pun terdapat patung kepala naga. Pada salah satu sisi terdapat prasasti, yaitu angka tahun 1294Ç (1372 M). Di Museum Sonobudoyo terdapat yoni dengan gambar garuda pada salah satu sisi, mungkin dahulu adalah sisi depan.
Lubang pada yoni berkait dengan objek pasangannya yang dipasangkan di bagian atas. Umumnya, yoni memiliki lubang cukup dalam yang berbentuk segi empat. Lubang demikian akan tepat jika dipasang lingga. Beberapa yoni memiliki lubang yang berbeda, seperti yang ditemukan di Glonggong, Madiun yang memiliki lubang dangkal berbentuk segi delapan. Sementara itu, yoni di Sitihinggil Keraton Kasepuhan, Cirebon, memiliki lubang berbentuk bulat. Hal ini mungkin berkait dengan lingga berpenampang bulat yang sekarang berdiri di belakang yoni tersebut.
Beberapa yoni berpasangan dengan arca seperti pada candi-candi utama di kompleks Loro Jonggrang (Prambanan). Batu penyangga tiga arca utama bukanlah sekedar pedestal, namun merujuk pada keberadaan cerat, dapat disebut sebagai yoni. Untuk kasus demikian, maka boleh jadi lubang yoni tidak akan persegi, atau bahkan tidak berlubang, hanya takikan yang digunakan untuk meletakkan arca agar tidak bergerak.
Ukuran yoni pun beragam, dari kecil hingga besar. Yoni dari Situs Mintoragan, Blitar, hanya memiliki panjang sisi sekitar 25 cm, sementara yoni di Klinterejo, Mojokerto, berukuran 191×184 cm dan tinggi 122 cm. Umumnya yoni dibuat dari satu batu utuh meski berukuran besar. Akan tetapi, berbeda dari yang lain, yoni persegi panjang di Liyangan, Temanggung, disusun dari banyak potongan batu.
Lingga-Yoni
Yoni menggambarkan perempuan, atau alat kelamin perempuan. Persatuan antara lingga dan yoni adalah gambaran kesuburan. Maka, lingga dan yoni banyak ditemukan di berbagai tempat yang mungkin berkait dengan permintaan atau syukur atas kesuburan tanah pertanian.
Candi Sukuh dengan lingga natural di atasnya, secara struktural dapat dianggap sebagai lingga-yoni dengan bentuk yang lebih bebas. Phallus di bagian atas merupakan lingga yang berpasangan dengan bangunan candi yang berposisi sebagai yoni.
Pasangan laki-laki dan perempuan semacam ini terbawa sampai masa kini. Tugu Monas di Jakarta dinyatakan sebagai gambaran dari persatuan lingga-yoni. Jauh sebelum itu, ada sumbu khayali di Yogyakarta yang menempatkan Tugu (yang menjulang) di sisi utara kota dan Panggung Krapyak (yang lebih kubikal) di sisi selatan. Keduanya juga menyimbolkan laki-laki dan perempuan, sebagaimana lingga dan yoni.
Akan tetapi, kenyataan bahwa kadang lingga dan yoni ditemukan secara terpisah membuat muncul spekulasi bahwa keduanya dipuja secara terpisah pula. Lingga dipuja tersendiri, demikian pula dengan yoni. [z]
Kulon Progo adalah wilayah di sisi barat Provinsi DIY. Dibandingkan dengan daerah lain di Yogyakarta, tidak ada peninggalan arkeologi yang berukuran besar di kabupaten ini. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada peninggalan penting di kawasan ini.
Berikut adalah versi teks atas materi yang disampaikan kepada peserta Workshop Pelestari Cagar Budaya Kabupaten Kulon Progo, diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo, di Wates, 23 April 2019. Para peserta adalah guru dari SD hingga tingkat SMA, dan para murid SMP/SMA.
Cagar Budaya
Menurut undang-undang, cagar budaya adalah “warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.” (Undang-Undang RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 1).
Pintu pada Rumah Arsip Kliripan. 2018.
Dalam prosesnya, penetapan dimulai dengan pengkajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya, yang merekomendasikan kepada bupati/walikota untuk menetapkan objek tersebut sebagai cagar budaya. Rekomendasi penetapan tersebut disertai dengan pemeringkatan, yaitu cagar budaya tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, atau tingkat nasional.
Untuk menjadi cagar budaya, suatu objek harus memenuhi kriteria Pasal 5 Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB), kurang lebih adalah berusia atau memiliki masa gaya sekurangnya lima puluh tahun, memiliki nilai penting tertentu (seperti pada definisi CB), serta berguna bagi penguatan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, tidak semua objek dapat menjadi cagar budaya meski telah berusia lebih dari lima puluh tahun.
Di DIY terdapat istilah lain, yaitu “Warisan Budaya” yang diatur dalam Peraturan Daerah. Dalam peraturan tersebut, Warisan Budaya adalah objek yang telah masuk ke dalam Daftar Warisan Budaya. Peraturan tersebut adalah Perda DIY no 6 tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya. Meski belum ditetapkan sebagai cagar budaya, setiap objek yang masuk de dalam Daftar Warisan Budaya diperlakukan seperti cagar budaya.
Potensi Kulon Progo
Melihat dari kondisi alamnya, Kulon Progo potensial untuk memiliki banyak cagar budaya. Bentang lahan yang ada memberikan dukungan bagi penghunian kawasan ini, cukup subur dan memiliki sumber daya alam yang berguna bagi kehidupan. Maka, besar kemungkinan wilayah ini telah dihuni sejak lama dan meninggalkan berbagai objek material.
Kawasan sisi utara berbukit, yaitu Bukit Menoreh, menyimpan cukup banyak tinggalan budaya. Kawasan datar di sisi selatan hingga ke pantai juga memiliki banyak tinggalan.
Sejarah di wilayah Kulon Progo, setidaknya telah terlihat sejak masa Mataram, dilanjutkan masa Kolonial, hingga Kemerdekaan. Pemerintahan Kesultanan dan Pakualaman merentang di lini masa tersebut. Peristiwa-peristiwa pada Masa Klasik (pengaruh Hindu Buddha) pun mungkin dapat dilacak dari prasasti.
Perang Diponegoro menggunakan Kulon Progo dengan cukup intensif sehingga mestinya terdapat banyak tinggalan di kawasan ini. Peperangan setelah Kemerdekaan (Clash II) juga terjadi di sini hingga terdapat berbagai tinggalan penting, tidak saja bagi Kulon Progo tetapi juga bagi bangsa Indonesia.
Tinggalan material di Kulon Progo
Tinggalan dari budaya Megalitik (berkembang sejak masa Prasejarah) di kawasan Menoreh. Pegunungan ini terbagi pada tiga wilayah kabupaten. Pada bagian Purworejo, cukup banyak menyimpan tinggalan prasejarah, seperti menhir, batu lumpang, batu dakon, jambangna batu, batu berelief, menhir berpasangan dengan batu lumpang, lingga berpasangan dengan batu lumpang, dan menhir berpasangan dengan yoni. Tinggalan ini kadang berasosiasi dengan tinggalan masa Hindu-Buddha.
Pada Pebukitan Menoreh bagian Magelang ditemukan dua situs Megalitik berupa punden berundak. Sementara itu, pada perbukitan yang sama di sisi Kulon Progo ditemukan setidaknya lima belas situs, dengan jenis temuan antara lain adalah menhir, lumpang, batu dakon, batu kenong, batu berelief, batu lesung, dan papan batu. Penemuan tersebut merupakan hasil survei oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2008.
Dari masa Klasik terdapat berbagai peninggalan kemindah (portabel) atau pun struktur/bangunan. Terdapat objek seperti arca, lingga, yoni, dan sisa bangunan.
Pemerintahan Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman berbagai wilayah di Kulon Progo, dengan Kabupaten Kulon Progo sebagai milik Kasultanan dan Kabupaten Adikarto sebagai milik Pakualaman. Pusat pemerintahan berpindah-pindah hingga meninggalkan berbagai bangunan bekas kabupaten. Misalnya adalah Pesanggrahan Karang Kemuning yang pernah digunakan sebagai ibukota Adikarto. Beberapa kecamatan sekarang menggunakan bangunan bekas kepanewon, yaitu wilayah setingkat kecamatan.
Dari kedua pemerintahan tersebut juga dibangun beberapa fasilitas seperti pusat pengepul nila di Bulurejo (Pengasih), pasar (misal Pasar Galur), serta gedung sekolah (misal SD Butuh).
Masa Kolonial meninggalkan berbagai jejak seperti jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap dengan beberapa stasiun perhentian. Jalur kereta ini digunakan juga untuk mengangkut hasil alam (seperti mineral mangaan yang ditambang di daerah Kliripan), serta gula dari pabrik gula Sewu Galur.
Kawasan kota Wates menyimpan banyak bangunan yang didirikan (dan bergaya) Kolonial. Di sebelah timur Alun-alun terdapat berbagai bangunan, seperti Kantor Polsek Wates, Media Center, dan Bale Agung. Di sekitar kawasan itu juga ditemukan tugu peringatan 25 tahun bertahtanya Pakualam VII, sekaligus seratus tahun Kadipaten Pakualaman. Tugu tersebut didirikan oleh orang-orang Tionghoa di Wates, sehingga tidak mengherankan jika bergaya seperti pagoda.
Fasilitas keagamaan (gereja), kesehatan, serta pendidikan juga dibangun pada masa Kolonial. Terdapatlah kompleks misionaris Boro, kompleks Bopkri II di Wates yang berseberangan dengan GKJ Wates.
Makam Belanda merupakan tinggalan yang penting, yaitu makam Jonkheer Hermanus Folkert van Ingen yang berada di Jatisarono, Nanggulan. Cerita tentang tokoh ini dimuat pada Indisch Militair Tijdschrift, 01/07/1941, dengan cukup rinci. Dia adalah tentara Belanda pada Perang Diponegoro, dan terbunuh ketika berjalan-jalan di luar benteng.
Pelestarian
Setelah mengetahui beragam tinggalan, maka perlu pengertian akan tindakan pelestarian. Menurut UUCB, pelestarian meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pelindungan dapat dilakukan dengan konservasi dan penetapan sebagai cagar budaya. Pengembangan dilakukan dengan melakukan kajian, sementara pemanfaatan dapat dilakukan dengan langkah adaptive reuse.
Dalam pelindungan, para guru dan murid dapat berperan dengan mengenali objek-objek diduga cagar budaya untuk dilaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang. Selain itu, para guru dan murid dapat turut menjaga kelestarian dengan tidak merusak dan memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang objek tersebut dan perlunya pelestarian.
Dari sisi pemanfaatan, penggunaan cagar budaya untuk keperluan baru dapat dilakukan, tentu dengan persetujuan pemilik, penggunaan yang tidak merusak, serta sesuai dengan marwah cagar budaya yang bersangkutan.
Selain digunakan secara langsung (use, reuse), cagar budaya juga dapat memberikan inspirasi bagi berbagai ciptaan seperti motif batik. Langkah-langkah yang dapat diambil adalah a) mencari inspirasi dari cagar budaya, b) membuat abstraksi, c) membuat penggayaan atau stilasi, d) membuat kombinasi, e) membuat teselasi.
Para guru dapat menggunakan cagar budaya sebagai alternatif dalam pengajaran sejarah. Para murid dapat diajak mengunjungi tempat bersejarah (misalnya Jembatan Bantar, atau Kamar Sandi dalam kaitan dengan Clash II) atau mengunjungi Kantor Dinas Kebudayaan untuk melihat beragam lingga dan yoni. Guru dapat membuat buku-buku berisi sejarah lokal atau budaya lokal untuk diajarkan kepada para murid.
Sumber informasi
Untuk dapat memanfaatkan cagar budaya, para guru dan siswa dapat mencari informasi langsung pada situs-situs terkait, di museum-museum, institusi pengelolaan, pelestarian, dan penelitian (misalnya Dinas Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Arkeologi), serta institusi pendidikan dan penelitian (seperti Departemen Arkeologi FIB UGM). Selain melakukan observasi langsung kepada objek, informasi dapat diperoleh pada berbagai media seperti media daring (Internet), buku-buku terbitan, jurnal, juga terbitan publikasi yang lain.
Lembaga-lembaga tersebut kadang juga menyelenggarakan pameran untuk menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat termasuk guru dan siswa. Selain dapat melihat objek secara langsung, baik asli maupun replika, biasanya pada pameran terdapat informasi-informasi yang disampaikan dalam bentuk liflet, poster, dan sebagainya.
Penutup
Kunci dari pelestarian sekarang adalah pemanfaatan. Hal ini adalah paradigma baru pelestarian yang dianut dalam UUCB. Jika masyarakat merasakan dampak positif dari pelestarian, yaitu dengan dapat memanfaatkan cagar budaya, maka upaya pelestarian mestinya akan lebih mudah dilakukan. Cagar Budaya di Kulon Progo memiliki potensi untuk dimanfaatkan sesuai keperluan pada masa sekarang.
Peningalan tersebut juga akan dapat lebih lestari jika para warga (termasuk guru dan murid) menggunakannya untuk keperluan pembelajaran di sekolah. [z]