Cagar Budaya di Kulon Progo
Kulon Progo adalah wilayah di sisi barat Provinsi DIY. Dibandingkan dengan daerah lain di Yogyakarta, tidak ada peninggalan arkeologi yang berukuran besar di kabupaten ini. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada peninggalan penting di kawasan ini.
Berikut adalah versi teks atas materi yang disampaikan kepada peserta Workshop Pelestari Cagar Budaya Kabupaten Kulon Progo, diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo, di Wates, 23 April 2019. Para peserta adalah guru dari SD hingga tingkat SMA, dan para murid SMP/SMA.
Cagar Budaya
Menurut undang-undang, cagar budaya adalah “warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.” (Undang-Undang RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 1).
Dalam prosesnya, penetapan dimulai dengan pengkajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya, yang merekomendasikan kepada bupati/walikota untuk menetapkan objek tersebut sebagai cagar budaya. Rekomendasi penetapan tersebut disertai dengan pemeringkatan, yaitu cagar budaya tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, atau tingkat nasional.
Untuk menjadi cagar budaya, suatu objek harus memenuhi kriteria Pasal 5 Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB), kurang lebih adalah berusia atau memiliki masa gaya sekurangnya lima puluh tahun, memiliki nilai penting tertentu (seperti pada definisi CB), serta berguna bagi penguatan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, tidak semua objek dapat menjadi cagar budaya meski telah berusia lebih dari lima puluh tahun.
Di DIY terdapat istilah lain, yaitu “Warisan Budaya” yang diatur dalam Peraturan Daerah. Dalam peraturan tersebut, Warisan Budaya adalah objek yang telah masuk ke dalam Daftar Warisan Budaya. Peraturan tersebut adalah Perda DIY no 6 tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya. Meski belum ditetapkan sebagai cagar budaya, setiap objek yang masuk de dalam Daftar Warisan Budaya diperlakukan seperti cagar budaya.
Potensi Kulon Progo
Melihat dari kondisi alamnya, Kulon Progo potensial untuk memiliki banyak cagar budaya. Bentang lahan yang ada memberikan dukungan bagi penghunian kawasan ini, cukup subur dan memiliki sumber daya alam yang berguna bagi kehidupan. Maka, besar kemungkinan wilayah ini telah dihuni sejak lama dan meninggalkan berbagai objek material.
Kawasan sisi utara berbukit, yaitu Bukit Menoreh, menyimpan cukup banyak tinggalan budaya. Kawasan datar di sisi selatan hingga ke pantai juga memiliki banyak tinggalan.
Sejarah di wilayah Kulon Progo, setidaknya telah terlihat sejak masa Mataram, dilanjutkan masa Kolonial, hingga Kemerdekaan. Pemerintahan Kesultanan dan Pakualaman merentang di lini masa tersebut. Peristiwa-peristiwa pada Masa Klasik (pengaruh Hindu Buddha) pun mungkin dapat dilacak dari prasasti.
Perang Diponegoro menggunakan Kulon Progo dengan cukup intensif sehingga mestinya terdapat banyak tinggalan di kawasan ini. Peperangan setelah Kemerdekaan (Clash II) juga terjadi di sini hingga terdapat berbagai tinggalan penting, tidak saja bagi Kulon Progo tetapi juga bagi bangsa Indonesia.
Tinggalan material di Kulon Progo
Tinggalan dari budaya Megalitik (berkembang sejak masa Prasejarah) di kawasan Menoreh. Pegunungan ini terbagi pada tiga wilayah kabupaten. Pada bagian Purworejo, cukup banyak menyimpan tinggalan prasejarah, seperti menhir, batu lumpang, batu dakon, jambangna batu, batu berelief, menhir berpasangan dengan batu lumpang, lingga berpasangan dengan batu lumpang, dan menhir berpasangan dengan yoni. Tinggalan ini kadang berasosiasi dengan tinggalan masa Hindu-Buddha.
Pada Pebukitan Menoreh bagian Magelang ditemukan dua situs Megalitik berupa punden berundak. Sementara itu, pada perbukitan yang sama di sisi Kulon Progo ditemukan setidaknya lima belas situs, dengan jenis temuan antara lain adalah menhir, lumpang, batu dakon, batu kenong, batu berelief, batu lesung, dan papan batu. Penemuan tersebut merupakan hasil survei oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2008.
Dari masa Klasik terdapat berbagai peninggalan kemindah (portabel) atau pun struktur/bangunan. Terdapat objek seperti arca, lingga, yoni, dan sisa bangunan.
Pemerintahan Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman berbagai wilayah di Kulon Progo, dengan Kabupaten Kulon Progo sebagai milik Kasultanan dan Kabupaten Adikarto sebagai milik Pakualaman. Pusat pemerintahan berpindah-pindah hingga meninggalkan berbagai bangunan bekas kabupaten. Misalnya adalah Pesanggrahan Karang Kemuning yang pernah digunakan sebagai ibukota Adikarto. Beberapa kecamatan sekarang menggunakan bangunan bekas kepanewon, yaitu wilayah setingkat kecamatan.
Dari kedua pemerintahan tersebut juga dibangun beberapa fasilitas seperti pusat pengepul nila di Bulurejo (Pengasih), pasar (misal Pasar Galur), serta gedung sekolah (misal SD Butuh).
Masa Kolonial meninggalkan berbagai jejak seperti jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap dengan beberapa stasiun perhentian. Jalur kereta ini digunakan juga untuk mengangkut hasil alam (seperti mineral mangaan yang ditambang di daerah Kliripan), serta gula dari pabrik gula Sewu Galur.
Kawasan kota Wates menyimpan banyak bangunan yang didirikan (dan bergaya) Kolonial. Di sebelah timur Alun-alun terdapat berbagai bangunan, seperti Kantor Polsek Wates, Media Center, dan Bale Agung. Di sekitar kawasan itu juga ditemukan tugu peringatan 25 tahun bertahtanya Pakualam VII, sekaligus seratus tahun Kadipaten Pakualaman. Tugu tersebut didirikan oleh orang-orang Tionghoa di Wates, sehingga tidak mengherankan jika bergaya seperti pagoda.
Fasilitas keagamaan (gereja), kesehatan, serta pendidikan juga dibangun pada masa Kolonial. Terdapatlah kompleks misionaris Boro, kompleks Bopkri II di Wates yang berseberangan dengan GKJ Wates.
Makam Belanda merupakan tinggalan yang penting, yaitu makam Jonkheer Hermanus Folkert van Ingen yang berada di Jatisarono, Nanggulan. Cerita tentang tokoh ini dimuat pada Indisch Militair Tijdschrift, 01/07/1941, dengan cukup rinci. Dia adalah tentara Belanda pada Perang Diponegoro, dan terbunuh ketika berjalan-jalan di luar benteng.
Pelestarian
Setelah mengetahui beragam tinggalan, maka perlu pengertian akan tindakan pelestarian. Menurut UUCB, pelestarian meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pelindungan dapat dilakukan dengan konservasi dan penetapan sebagai cagar budaya. Pengembangan dilakukan dengan melakukan kajian, sementara pemanfaatan dapat dilakukan dengan langkah adaptive reuse.
Dalam pelindungan, para guru dan murid dapat berperan dengan mengenali objek-objek diduga cagar budaya untuk dilaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang. Selain itu, para guru dan murid dapat turut menjaga kelestarian dengan tidak merusak dan memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang objek tersebut dan perlunya pelestarian.
Dari sisi pemanfaatan, penggunaan cagar budaya untuk keperluan baru dapat dilakukan, tentu dengan persetujuan pemilik, penggunaan yang tidak merusak, serta sesuai dengan marwah cagar budaya yang bersangkutan.
Selain digunakan secara langsung (use, reuse), cagar budaya juga dapat memberikan inspirasi bagi berbagai ciptaan seperti motif batik. Langkah-langkah yang dapat diambil adalah a) mencari inspirasi dari cagar budaya, b) membuat abstraksi, c) membuat penggayaan atau stilasi, d) membuat kombinasi, e) membuat teselasi.
Para guru dapat menggunakan cagar budaya sebagai alternatif dalam pengajaran sejarah. Para murid dapat diajak mengunjungi tempat bersejarah (misalnya Jembatan Bantar, atau Kamar Sandi dalam kaitan dengan Clash II) atau mengunjungi Kantor Dinas Kebudayaan untuk melihat beragam lingga dan yoni. Guru dapat membuat buku-buku berisi sejarah lokal atau budaya lokal untuk diajarkan kepada para murid.
Sumber informasi
Untuk dapat memanfaatkan cagar budaya, para guru dan siswa dapat mencari informasi langsung pada situs-situs terkait, di museum-museum, institusi pengelolaan, pelestarian, dan penelitian (misalnya Dinas Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Arkeologi), serta institusi pendidikan dan penelitian (seperti Departemen Arkeologi FIB UGM). Selain melakukan observasi langsung kepada objek, informasi dapat diperoleh pada berbagai media seperti media daring (Internet), buku-buku terbitan, jurnal, juga terbitan publikasi yang lain.
Lembaga-lembaga tersebut kadang juga menyelenggarakan pameran untuk menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat termasuk guru dan siswa. Selain dapat melihat objek secara langsung, baik asli maupun replika, biasanya pada pameran terdapat informasi-informasi yang disampaikan dalam bentuk liflet, poster, dan sebagainya.
Penutup
Kunci dari pelestarian sekarang adalah pemanfaatan. Hal ini adalah paradigma baru pelestarian yang dianut dalam UUCB. Jika masyarakat merasakan dampak positif dari pelestarian, yaitu dengan dapat memanfaatkan cagar budaya, maka upaya pelestarian mestinya akan lebih mudah dilakukan. Cagar Budaya di Kulon Progo memiliki potensi untuk dimanfaatkan sesuai keperluan pada masa sekarang.
Peningalan tersebut juga akan dapat lebih lestari jika para warga (termasuk guru dan murid) menggunakannya untuk keperluan pembelajaran di sekolah. [z]
Rujukan
Peraturan Daerah DIY nomor 6 tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya
Undang-Undang RI nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.